Latest Post

Minggu, 24 Mei 2015

Fotografer Minahasa Merekam Sejarah Indonesia

|1 komentar
Mereka fotografer asal Minahasa. Pernah bekerja di media Belanda dan Jepang, tapi merekam peristiwa-peristiwa heroik Indonesia.

Dari Kawangkoan ke Batavia
Dari arah Tomohon, pas di ujung Kawangkoan, Minahasa sebelah kiri jalan ada sebuah rumah panggung. Di depannya ada patung dua orang berdiri di atas kamera besar. Itulah Museum dan tugu “Mendur Bersaudara”, Alex dan Frans Mendur. Museum dan tugu tersebut mengenang kakak beradik wartawan foto di masa kemerdekaan dan revolusi Indonesia, Alexius Impurung Mendur dan adiknya Frans Soemarto Mendur.

Prasasti Mendur Bersaudara ditandangani oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada perayaan puncak Hari Pers Nasional yang dilaksanakan di Sulawesi Utara pada 11 Februari 2013. Di meseum yang berbentuk rumah panggung khas Minahasa itu, orang-orang dapat menyaksikan foto-foto bersejarah karya Mendur bersaudara.  

Tugu dan Museum itu dibangun di kampung kelahiran Alex dan Frans, Kawangkoan. Kota kecil ini juga tempat kelahiran Justus dan Frans ‘Nyong” Umbas, kakak beradik fotografer IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) bersama Alex dan Frans. 

Alex anak pertama dan Frans anak keempat dari pasangan August Mendur dan Ariantje Mononimbar. Keseluruhan anak August dan Ariantje berjumlah 11 orang.

Alex lahir di Kawangkoan pada 7 November 1907 dan  meninggal di Bandung 31 Desember 1984. Istrisnya bernama Innes Mandoinsong. Anak-anak mereka Lexy Rudolf Mendur, Yvone Marlene Mendur, dan Maya Mayon Mendur.

Frans lahir di Kawangkoan pada 16 April 913. Ia menikah dengan Jamailah binti Sariih. Dari perkawinan mereka lahir anak-anak, Jian Samartini Mendur, Johny Sumanjono Mendur, Zakaria, dan Juni Prihatini. Frans meninggal di Jakarta, 16 April 1971. Konon, nama tengah Frans, “Soemarto” diberikan oleh ayah angkatnya di Jawa.

Ivan R.B. Kaunang, sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado mengatakan, Agust, ayah Alex dan Frans, di Kawangkoan semasa hidup memiliki kemampuan mengobati orang sakit dengan obat ‘makatana.” Ia meramu akar-akar dan dedaunan untuk dijadikan obat. Kemampuan itu diwarisi dari ayah Agust.

Di usia remaja Alex dan Frans merantau ke Jawa. Mula-mula di Surabaya lalu ke Batavia. Di Surabaya pernah  bergabung dengan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pimpinan Dr. Soetomo. Alex mulai bekerja sebagai wartawan foto di koran berbahasa Belanda, De Java Bode sejak tahun 1932.

De Java Bode adalah koran tertua di Batavia. Terbit mulai tanggal 11 Agustus 1852. Ia merupakan penerus mingguan Bataviasch Advertentie-Blad yang muncul sejak 1 November 1851 dan diterbitkan oleh W. Bruining dari Rotterdam. Pada mulanya cuma terbit dua kali seminggu (setiap Rabu dan Sabtu) dengan 4 halaman. Ukurannya seperti tabloid. Alex bekerja di koran ini sampai tahun 1935. Di masa pendudukan Jepang, koran ini tidak terbit. Nanti terbit lagi sesudah kemerdekaan, sampai tahun 1958.

Frans kemudian mengikuti jejak kakaknya bekerja di koran itu. Ia mulai bekerja tahun 1935. Frans belajar fotografi dari kakaknya. Frans memulai karir di dunia fotografi ketika ia menguji hasil belajar dari kakaknya dengan mengirim foto karyanya ke De Java Bode dan mingguan Werelnieuws. Hasilnya ia diterima bekerja sebagai pembantu wartawan foto.

Di tahun 1945, Alex bekerja di kantor berita milik Jepang,  Domei. Kantor berita yang menjalankan kepentingan politik pemerintah Jepang berdiri di negeri asalnya pada tahun 1935. Di saat proklamasi, Alex sebagai kepala bagian fotografi di kantor berita itu.

“Sebenarnya, Alex sudah bekerja sebagai wartawan foto sejak tahun 1931. Ia menjadi wartawan di Majalah Actueel Wereld Nieuws En Sport In Beeld,” kata Kaunang. 

Frans di saat itu bekerja di koran Asia Raja (Asia Raya). Koran yang mulai terbit 29 April 1942 ini dipakai sebagai alat propaganda Jepang. Pada tanggal 12 Maret 1945, Asia Raja mengadakan konferensi meja bundar di Hotel Miyako di Batavia. Sejumlah pembicara dari Gerakan Hidoep Baroe yang dipimpin Soekarno dan Mohammad Hatta mendiskusikan cara memperkuat gerakan kemerdekaan. Selain di koran Asia Raja dia juga bekerja di Jawa Shimbun Sha, semacam Sarekat Penerbit Suratkabar di masa itu.

Tiga Foto Bersejarah
Kalau bukan Alex dan Frans, kita mungkin tidak akan melihat bagaimanan Soekarno dan Hatta membacakan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Merah-Putih di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat, 17 Agustus 1945.

Kristupa Saragih dalam Mendur Bersaudara, Pejuang Bersenjatakan Kamera, di kompasiana.com mengisahkan bagaimana Alex dan Frans ada di momen itu dan melakukan sesuatu yang luar biasa di masa itu.

“Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur Bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Soekarno, ” tulis Kristupa.

Menuju ke rumah Soekarno tidak gampang. Waktu itu patroli Jepang yang bersenjata lengkap berjaga-jaga. Tapi Alex dan Frans, dengan naluri kewartawanan, mereka nekat menuju ke rumah Soekarno.

“Mendur Bersaudara berhasil merapat ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta tatkala jam masih menunjukkan pukul 5 pagi, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945,” tulis Kristupa.

Saat itu, Soekarno yang akan membacakan teks proklamasi masih tidur karena kena gejala malaria. Nanti kira-kira pukul 9, minum obat, Soekarno pun bangun. Pada pukul 10, hari Jumat, 17 Agustus 1945,  Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa besar itu berlangsung sangat sederhana. Dan, hanya Alex dan Frans, fotografer yang hadir waktu itu. Kamera Leica Leitz bergantungan dileher mereka siap membidik moment bersejarah. 

Frans kemudian mengabadikan peristiwa itu dengan tiga bidikan, tiga foto. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera. Alex juga melakukan melakukan pemotretan.

“Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa.“ tulis Kristupa.

Usai itu mereka segera meninggalkan kediaman Soekarno. Tentara Jepang memburu mereka. Sialnya, Alex  berhasil ditangkap tentara Jepang. Foto-foto hasil bidikannya semuanya disita dan dimusnakan.

Adiknya, Frans yang beruntung. Ia lolos dari kejaran tentara Jepang. Negatif fotonya dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Nanti beberapa hari kemudian baru diambil. Ketika didatangani tentara Jepang, Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor. Maka, selamatlah negatif foto itu.

Namun, ini bukan perjuangan akhir Frans dan Alex. Mencuci dan mencetak foto di masa darurat itu tidak mudah.  Alex dan Frans  harus diam-diam menyelinap di malam hari, panjat pohon dan lompati pagar di sampaing kantor Domei (sekarang kantor Antara).

“Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Resiko bagi Mendur Bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati,” tulis Kristupa.

Meski foto-foto sudah dicetak, namun mereka belum bisa mempublikasikannya di media.  Jepang melakukan pengawasan ketat terhadap semua media. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat tanpa foto di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945.

Nanti 6 bulan kemudian, 20 Februari 1946 foto-foto proklamasi 17 Agustus 1945 karya Frans baru bisa dipublikasikan. Pertama kali terbit halaman muka Harian Merdeka, koran tempat Alex bekerja.

Alex banyak menghasilkan karya foto jurnalistik. Salah satu foto monumental lain karya Alex adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto Soekarno yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.

IPPHOS yang Revolusioner
Setelah setahun Indonesia merdeka, tepatnya 2 Oktober 1946, Alex dan Frans, “Mendur besaudara” bersama Justus dan Frans ‘Nyong” Umbas,  “Umbas bersaudara”, juga Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan Malvin Jacob, mereka kemudian mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Mereka adalah pemuda-pemuda Minahasa yang tergabung di KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta.

Piet Mendur, keponakan Alex dan Frans, generasi terakhir di IPPHOS, bergabung bersama mereka di awal tahun 1950-an. Saat itu usianya baru 17 tahun.

"Saya dipanggil ke Jakarta untuk menjadi wartawan di IPPHOS tempat Alex dan Frans bekerja. Itu adalah sebuah kebanggana bagi saya karena diberikan kesempatan bekerja dengan mereka," ujar Piet kepada Tribun Manado News.

IPPHOS punya peran penting di masa revolusi. Para fotografer handal asal Minahasa ini mengabadikan peristiwa-peristiwa penting di masa transisi itu. Yudhi Soerjoatmodjo, seorang fotografer dan kurator pemeran foto mengatakan, IPPHOS adalah revolusioner!

"Yang revolusioner dari IPPHOS bukan cuma pilihan mereka untuk berjuang membela republik, tapi cara mereka memperlihatkan hidup dengan mata dan hati yang terbuka lebar," kata Yudhi pada Temu Wicara IPPHOS remastered Ivaa, Yogyakarta, 7 Maret 2014.

Menurut Yudhi, sikap revolusioner IPPHOS adalah perjuangan demi kemanusiaan dan kebenaran serta toleransi.   

"Tapi yang paling revolusioner dari IPPHOS adalah bagaimana mereka mengguratkan cita-cita tentang Indonesia dan manusia Indonesia yang cerdas, moderen dan inklusif dalam karya-karyanya – yang berjuang bukan cuma atas nama kemerdekaan dan keadilan bagi dirinya sendiri namun juga demi kemanusiaan, kebenaran, dan toleransi terhadap semua manusia," kata Yudhi.

Yudhi menunjukkan bagaimana sikap revolusioner “tole-tole” Minahasa ini di IPPHOS. Alex, kata Yudhi, adalah seorang profesional “ mencampakkan segala kenyamanan yang bisa ia capai sebagai pegawai Belanda demi membela sebuah republik kere.” Frans,  ‘si pelarian politik membangun ketrampilan melawan penjajah justru dengan bekerja untuk penjajah. Justus Umbas, seorang akuntan serius,  “yang diam-diam seorang aktivis yang ditakuti Belanda. Dan “Nyong” Umbas yang melawan Belanda dengan menjadikan Belanda kawannya."

Sampai akhir hayat, para ‘revolusioner’ ini tetap konsisten pada idealisme jurnalisme. Mereka tetap independen. Tidak memilih menjadi pegawai negeri pada Kementerian Penerangan RI, meski peluang itu sangat terbuka lebar.

“IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur Bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing,” tulis Kristupa.

Piet Mendur, generasi terakhir di IPPHOS menuturkan kepada Sinar Harapan, dengan jumlah koleksi foto IPPHOS pada 1945-1949 sebanyak 23.000 bingkai, sebetulnya IPPHOS bisa hidup dari royalti koleksi foto-foto itu. Tapi pendataannya tidak terlalu bagus.

Kantor IPPHOS di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta ditutup pada 2003. Tidak ada lagi aktivitas di dalamnya.

“Sekarang sudah jadi lahan parkir gedung itu, sayang sekali. Tapi ya, kami tidak bisa bikin apa-apa karena gedung itu dianggap milik negara dan negara bisa pindah tangankan ke pihak lain,” kata Piet. (Denni Pinontoan)



Jumat, 15 Juni 2012

Kisah “Rumah Jiwa” di Tepi Zaman

|0 komentar

Minahasa Hari Ini: Waruga, Baliho Pilkada, Gereja..(Kiawa, Sabtu, 24 Maret 2012)
MAWALE, begitu warga Langowan menyebut lokasi pemukiman itu. Ia berada di wanua Tounelet. Diapit oleh persawahan. Sore itu, pemandangan padi yang mulai menguning dan menara-menara gereja yang terdapat di hampir setiap arah pandangan, menampilkan sesuatu yang khas Langowan. Namun, ia kontras dengan sebuah waruga yang berada di tepi jalan, yang salah satu bagian alasnya menjadi dinding saluran air.

Mawale adalah sebuah pemukiman tua. Menurut sejarah setempat, sebagian besar wanua di Langowan, penduduk pertamanya berasal dari Mawale. Sebelum Mawale, mereka menetap di Palamba. Penduduk yang tinggal di Palamba kemudian menjadikan Mawale sebagai lokasi perkebunan. Di sekitar tahun 1600-an Mawale menjadi pemukiman.

Saya, dan beberapa teman dari Mawale Cultural Center (MCC), sore itu datang ke Mawale karena ada kabar, di pemukiman itu baru ditemukan sebuah waruga.  Waruga itu, katanya ditemukan saat warga menggali saluran air. Bertepatan hari itu, Sabtu, 9 Juni 2012, MCC menggelar temu Mawale di wanua Koyawas. Yonathan Kembuan mengundang kami untuk diskusi di sana. Kembuan, aktif di Gerakan Mahasiswa Minahasa, selain ia sebagai tokoh mahasiswa di UKIT.

Di Mawale memang ada waruga. Sampai saat ini ada dua yang diketahui oleh warga. Waruga yang satu berada di halaman Kantor Desa Tounelet. Yang satu lagi, terdapat pas di tepi jalan. Sebagian tubuhnya menjadi dinding saluran air. Kondisi waruga itu sungguh sangat memperihatinkan. Tidak lagi berwujud. Bagian alasnya yang sudah rata jalan yang masih tampak. Penutup dan badannya tak lagi berbentuk. Kata beberapa warga di Mawale yang kami temui saat sedang mengerjakan saluran air, waruga itu sebenarnya sudah lama diketahui warga. Namun, nanti baru ketika dilakukan penggalian tanah untuk drainase baru menjadi perhatian.

Ada yang menarik dari percakapan singkat dengan beberapa orang  di kompleks waruga itu. Seorang lelaki, yang kira-kira berusia 60-an tahun mengatakan, kondisi waruga yang seperti ini antara lain karena warga di situ sudah tak lagi memberi perhatian terhadap benda-benda peninggalan. ”Ini terjadi sejak injil masuk ke daerah sini,” ujar lelaki itu.

Tapi, sebenarnya mereka sadar, benda-benda peninggalan, macam waruga memiliki arti sejarah dan budaya. Itu tampak ketika dengan penuh kebanggaan mereka menceritakan waruga yang dipindahkan di halaman kantor desa itu.

”Kalo komang tu waruga di kantor desa masih bagus,” ujarnya lagi.

Kami memang tak sempat singgah di waruga depan kantor desa. Namun, dari kira-kira jarak 25 meter, waktu kami berjalan menuju ke lokasi waruga ini, tampak waruga di depan kantor desa itu memang terurus dengan baik. Sangat berbeda dengan  waruga yang satu ini.

Beberapa warga yang kami temui itu sempat menyebut mengenai waruga yang satu berada di kantor desa. ”Waruga itu kurang da kase pindah kwa di kantor desa. Waktu da kase pindah dulu, ada minta tua-tua yang masih mangarti da ator supaya gampang mo angka,” ujar salah satu warga.

Soal waruga yang ini, kata mereka, membutuhkan biaya besar untuk menatanya kembali. ”Apa lei depe kondisi so bagini. Butuh biaya basar mo kase ator deng kase pindah,” kata warga.

Warga di situ juga tampak masih mewarisi simbol-simbol kultural Minahasa lainnya. Misalnya tentang arti kata wanua ”Tounelet.’ ”Kalo Tounelet  sandiri, depe arti ’orang yang ba lewet (menyeberang). Karena dari Mawale ini, torang pe tua-tua dulu ba lewet atau menyeberang ke pemukiman yang disebut Tounelet sekarang. Ada kwa kuala besar di belakang Mawale ini,” ujar salah seorang dari mereka.

Tentang arti ”Waruga”, Jessy Wenas, budayawan Minahasa dalam tulisannya Orang Minahasa Masih Menggunakan Waruga Sampai Tahun 1908, menyebutkan, ia terbentuk dari dari dua kata, wale artinya rumah dan  ruga atau roga artinya terbongkar hancur. Jadi, ”waruga” artinya wale-ruga, ”rumah tempat menghancurkan jasad tubuh manusia menjadi tulang-belulang sebagai proses pemakaman pertama, pemakaman kedua adalah mengambil tulang-belulang itu untuk dimasukkan kedalam peti kayu yang disebut ’Walongsong’.”

C.T. Bertling di tahun 1931 dalam tulisannya De Minahasische ”Waroega" en ”Hockerbestattung" pada Nederlatuhch-Indie Oud en Nieuw XVI, menyebutkan, kata Waruga berasal dari kata "wa" (singkatan dari kata"wawa") yang berarti ”sempurna, benar” dan kata "roega" (ruga) yang berarti ”dikenakan pakaian”; ”tubuh yang terlarut.” ”Waroega akan menjadi tempat di mana seluruh tubuh menjadi hancur,” tulisnya.

Orang Minahasa percaya, bahwa tubuh memang bisa hancur, namun jiwa atau gegenang/mukur tetap hidup, dan ia akan berpindah ke suatu tempat. Waruga yang badannya berbentuk kubus dengan atap yang berbentuk segitiga (seperti lazimnya atap rumah) disimbolkan sebagai rumah bagi jiwa. Orang yang meninggal dimasukan di dalam badan waruga. Biasanya, jenasanya diatur dalam posisi duduk. Bagian luarnya dihiasi dengan relief-relief. Di Sawangan, Airmadidi, Minahasa Utara, waruga-waruga yang dikumpul di satu lokasi tampak indah dengan relief-relief atau ukiran-ukiran yang bermacam-macam motif. Di beberapa tempat di daera Toutemboan, waruga-waruganya sangat sederhana. Hanya ada semacam garis-garis yang menyimbolkan sesuatu.

Sekarang ini banyak dijumpai waruga dalam keadaan memperihatinkan. Selain karena banyak warga yang tidak lagi peduli, namun juga karena ulah para pencuri dan pencari harta karun. Banyak waruga antara badan dan penutupnya sudah terpisah. Jangan berharap kita akan melihat kerangka atau benda-benda peninggalan dari orang yang menghuni waruga itu. Bagian dalamnya sudah kosong. Kerangka dari si empunya waruga memang sudah menjadi abu, menyatu kembali dengan bumi. Benda-benda yang biasanya diikutsertakan pada orang yang dikubur itu mungkin sudah dibawa lari, dicuri. Bahkan, waktu lalu sempat heboh, di Sawangan ada beberapa arca sebagai hiasan waruga dicuri orang dan dijual ke luar daerah.

Sebelum ke Mawale kami cukup lama berdiskusi dengan beberapa orang muda di wanua Koyawas dan Lowian. Topik diskusi berkisar pada persoalan orang muda Langowan dan kebudayaan Minahasa. Beberapa hal sempat terungkap dalam diskusi tersebut. Saya bertanya kepada mereka, apakah bisa dikatakan sedang terjadi degradasi kebudayaan Minahasa di kalangan anak muda? Mungkin istilah ”degradasi” terlalu ekstrim untuk menyebut persoalan kebudayaan di Langowan. Namun, ada beberapa jawaban menarik yang dikemukakan oleh orang-orang muda di situ.

”Iya, bisa jadi seperti itu. Buktinya, di wanua Lowian, Koyawas, Tounelet dan sekitarnya sudah jarang orang muda yang bisa berbahasa Toutemboan secara fasih. Orang Langowan mungkin termasuk terbuka pada budaya luar karena perjumpaannya dengan orang-orang lain. Mereka juga suka merantau, banyak yang sekarang menetap di Amerika,” ujar Stenly, pemuda yang sehari-hari sebagai penyiar di radio Trivana, Langowan.

”Atau, mungkin juga karena kekristenan. Menarik untuk mencari tahu mengapa zending memilih Langowan sebagai pusat penginjilan dengan dihadirkannya Zendeling Johann Gottlieb Schwarz pada tahun 1830-an,” saya menggoda dengan pertanyaan yang agak nakal.

Tapi, pertanyaan ini sebenarnya bersesuain dengan kenyataan. Percakapan singkat dengan beberapa warga di Mawale, mungkin sebagai bukti sementara tesis saya itu. Hari ini, Langowan adalah kotanya ”seribu gereja”. Kiri kanan, muka- belakang gedung-gedung gereja dari berbagai denominasi menghiasi kota itu. Saya menyebut Langowan sebagai kota, karena teringat pada diskusi yang kemudian meluas ke masalah politik. Ada salah satu dari antara mereka yang sempat berujar, kalau soal pemekaran Langowan dari Kabupaten Minahasa, ”kota Langowan harga mati!”

Gereja GMIM Sentrum di pusat kota Langowan, yang berjarak sekitar satu kilometer dari wanua Koyawas dan mungkin 500 meter dari Mawale, menurut sejarah, dulunya tumbuh sebuah pohon besar yang bagian batang utamanya terdapat lubang. Pohon itu, konon menjadi tempat ritual agama tua Minahasa untuk menyembah kepada Amang Kasuruan. Dari situlah asal kata Langowan diambil. Dalam bahasa Tontemboan, lubang disebut rangow. Di kemudian hari, oleh orang-orang Belanda mengejanya menjadi Langowan. Zendeling Schwarz-lah yang mengubah tempat ritual agama Minahasa itu menjadi gereja untuk ritual Kristen.

Zendeling Schwarz adalah seorang Kristen taat yang lahir dari keluarga yang berlatar belakang pietis Jerman. Ia dilahirkan di Koningsberg (sekarang masuk di wilayah Polandia) pada tanggal 21 April 1800. Bertha Pantow mengkaji peran Zendeling Schwarz, dalam disertasinya pada Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia (1994) yang berjudul, Beberapa Perubahan Kebudayaan di Minahasa Tengah 1829-1859. Mengenai biografi Schwarz, Pantow  mengutip Hiebink, direktur Zending dan sekaligus sebagai tim redaksi pada MNZG, yang menulis biografi Schwarz pada majalah itu. Hiebink menuliskan, tiga hari setelah dilahirkan orang tuanya membawanya ke gereja untuk dibaptis.

Hiebink mengutip pengakuan iman Schwarz, ”Orang tua saya, yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, dan takut akan Tuhan, tidak menganggap saya sebagai milik mereka, tetapi sebagai milik Tuhan, dan akan selalu mendoakan saya.”

Pantow mencatat beberapa perubahan yang dilakukan oleh kerja penginjilan Schwarz selama ia bekerja sebagai zendeling di Langowan dan beberapa wilayah Minahasa Tengah lainnya. Selain peubahan yang dinilai positif, misalnya modernisasi pendidikan, kesehatan dan tata sosialnya, namun hal yang mendasar adalah perubahan di ranah mentifak. Schwarz, sebagaimana ajaran pietisme yang sangat mempengaruhinya, menolak praktek religi tua Minahasa.

”Secara tulus J.G. Schwarz mempunyai cita-cita untuk meningkatkan kehidupan orang Minahasa setelah melalui apa yang disebut proses pertotaban dan mengaku menjadi Kristen, sesuai dengan ajaran Pietis,” tulis Pantow.

Namun, selain krisenisasi ada juga faktor lain, yaitu perubahan zaman yang kian cepat. Budaya Minahasa, seolah terpinggir dari arus deras zaman. Sama seperti waruga di Mawale, ”rumah jiwa” itu, yang kini harus menerima nasibnya, rata dengan tanah di pinggir jalan. Meski begitu, ia masih berguna sebagai salah satu bagian dinding saluran air.

Apakah itu artinya, waruga ini mengingatkan kewajiban untuk melanjutkan tradisi, seperti air yang terus mengalir? Entahlah.

Minggu, 03 Juni 2012

Minahasa Menggugat

|0 komentar
Oleh Denni Pinontoan

Foto Eka Egeten
menggebleng rakjatperkuda organisasiperkedok partai,
terus teruskan itumuliakan dirikelilingdjemulaparhaus kebebasanrindukan stabilisasi tiga zaman sudah pergijang ketiga lebih gilademikian dialami

Begitu J F Malonda, pengarang  asal Minahasa mengeluhkan keadaan Tanah Minahasa, Tou, Tanah dan  Adatnya. Ia menulis sajak yang berjudul "Biadab" itu tahun 1951 (J.F. Malonda, Membuka Tudung Dinamika Filsafat Purba Minahasa, Manado: Jajasan  Budaja "W'ongken Werun", 1952).  Sebagaimana sajak itu ada, "Biadab" ini juga sedang merefleksikan sesuatu. Sesuatu itu bisa mengenai yang hidup, bernafas dan berpikir bisa juga yang  tidak bergerak, diam dan membisu. Bisa  soal kedukaan, bisa juga soal kesukacitaan. .
Kentara sekali, Malonda ada dalam suatu keprihatinan yang mendalam, sehingga menggugat.  Sudah pasti, yang sedang menjadi keprihatinannya adalah Tou, Tanah dan Adat Minahasa. Situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sedang dalam keadaan terdesak, adalah realitas semasa Malonda hidup. Realitas, sejatinya bersifat empiris. Tapi, realitas tidak berdiri sendiri. la dibangun oleh berbagai kepentingan yang bisa baik, tapi juga kebanyakan di antaranya ada yang jahat. Realitas kemiskinan, peperangan dan ketidakadilan misalnya, sudah jelas dibangun oleh berbagai kepentingan penguasa dan pemilik modal yang jahat .
Di  bagian lain tulisannya dalam buku itu, Malonda menilai bangsa Barat – yang adalah penjajah- yang  merasa diri superior dengan segala arogansi intelektualnya dan hegemonistik,  pada akhirnya memang menindas bangsa Timur, termasuk Minahasa. Katanya, "Memang pinter sekali pribadi-pribadi Barat memakai kebudajaan-kebudajaan  Timur yang terkenal mendalam dan kehalusannya, sebagai alat. ... Sesudah membawa perobahan dalam kebudajaan-kebudajaan Timur sesuai dengan kehendak mereka, kebudajaan-kebudajaan itu dikembalikan ke Timur, untuk menindas masjarakat Timur".
Tapi, dia mencatat perlawanan Tou Minahasa terhadap keadaan yang menindas tadi itu. Sejumlah peperangan Tou Minahasa melawan bangsa penjajah, dalam refleksi kita sekarang adalah untuk menggugat ketidakadilan dan untuk mengumumkan kepada dunia bahwa, "Kami  Tou Miinahasa adalah manusia merdeka. Masyarakat Kami demokratis dan egaliter. Sehingga penjajahan dalam bentuk apapun harus dihapus!”
Tapi jauh sebelum Malonda menulis tentang protesnya terhadap bangsa Barat yang barangkali hampir tidak ada bedanya dengan kekristenan pada waktu itu, N Graafland, di pertengahan dan penghujung abad 19, mengungkapkan dengan pujian tentang peran kekristenan yang dibawa masuk oleh bangsa Barat itu. Katanya: ”Apakah segala sesuatu yang telah dicapai orang-orang Kristen itu masih kurang’, ‘Untuk menangkis anggapan seperti itu saya hanya mengajukan pertanyaan, ‘Dari mana daerah-daerah ini - di mana paham Kristiani bukan saja memegang peranan yang menentukan,  melainkan juga telah dipeluk oleh semua orang – memperoleh persedian makanan? Dari mana orang Kakas memperoleh makanan yang dibutuhkan, dan dari mana Negeri Kawangkoan dan apalagi negeri Wuwuk berserta beberapa negeri yang berada di sekitarnya memperoleh beras dan jagung yang kemudian dijual ke Amurang? 'Daerah pesisir Tondano yang khususnya dihuni orang-orang Kristen, sering kali memenuhi kebutuhan Negeri Tondano pada masa-masa paceklik..”

Graafland, sebenarnya ingin mengatakan bahwa kemajuan dan harapan kemakmuran di Tanah Minahasa adalah jasa dari Kekristenan. Kalau begitu, siapa yang benar dan siapa yang salah, Malonda dengan protesnya atau Graafland dengan pujiannya?
Kita sebenarnya tidak sedang bicara benar atau salah. Karena ternyata kebenaran sejatinya ada dalam ketidakbenaran. Tapi kita bicara tentang keberadaan tanah kita Minahasa. Karena di satu pihak, kekristenan yang dibawa oleh bangsa Barat di abad-abad lampau telah cukup memberi peran untuk kemajuan negeri ini. Tapi, di pihak lain, perjumpaan  kekristenan dan keminahasaan yang kadang tidak terjadi secara dialogis telah menyebabkan terkikisnya nilai-nilai budaya peninggalan leluhur. Pada beberapa hal, keberadaan Tanah Minahasa menjadi kabur. Identitas Minahasa yang berbudaya, demokratis dan egaliter, vis-a-vis dengan nilai-nilai Barat yang telah menformat sedemikiaan rupa nilai-nilai kekristenan yang mestinya penuh kasih, bersahabat dan membebaskan menjadi superior, hegemonisrik dan feodalistik

Sehingga yang ingin saya katakan, bahwa persoalan kita bukan pada nilai-nilai kekristenannya, yang sekarang secara lembaga banyak dianut oleh Tou Minahasa melainkan ada pada paradigma atau pandangan hidup orang-orang yang membawanya masuk pada abad-abad lampau itu. Riedel, Schwarz, Graafland dan penginjil-penginjil lain berbangsa Barat yang membawa masuk kekristenan di Tanah Minahasa, datang dengan satu semangat yaitu mengkristenkan Tou Minahasa, yang menurut paradigma yang sedang laku dunia mereka, sebagai orang-orang kafir, bodoh dan itu yang mereka sebut alifuru. Di luar dunia Barat, menurut mereka adalah berdosa sehingga perlu ditobatkan.

Nilai-nilai kekristenan akhimya  memang mengalami pergeseran. Dari nilai yang penuh kasih, bersahabat dan membebaskan, ketika diambil alih oleh Barat dan kemudian diformulasi dengan paradigmanya yang mengagungkan subjek-objek, akhimya menjadi superior, hegemonistik, feodal, dan kebenaran menjadi tunggal. Sampai saat ini pun kita Tou Minahasa masih berada dalam pengaruh paradigma itu. Alhasilnya, Tou, Tanah dan Adat Minahasa, menjadi abu-abu, antara kebarat-baratan dengan paradigmanya itu dan keminahasaan, yang terkesan memaksa diri untuk mempertahankan apa pesan leluhur. Itu antara lain persoalan kita.

Sementara kita masih bersoal dengan itu, kita pun berhadapan dengan hegemonisasi budaya Jawa dan budaya lain yang juga feodalistik. Ini persoalan kita yang lain. Persoalan ini kompleks. Karena dia bukan saja murni gerakan budaya, tapi telah tampil bersimbiosis mutualis dengan sistem politik, sosial dan ekonomi Negara. Dia hampir masuk ke semua lini kehidupan. Nyong dan Nona Minahasa yang nanti mengangggap diri modern  ketika menyebut nyaku dengan gue, angko dengan loe, inang dan amang dengan nyokap dan bokap, dan lain-lain adalah contoh nyata hal itu. Juga, pemerintah kita yang mengganti sistem pemerintahan wanua/roong dengan desa atau kelurahan.  dan kepala pemerintahanya dari hukum tua, menjadi kepala desa  dan lurah  Sebelumnya, sebutan ukung untuk menunjuk kepala pemerintahan di tingkat wanua/roong juga telah dirubah menjadi hukum tua.

Belum lagi kalau kita berjalan-jalan di Boulevard malam atau siang harinya. Makanan khas kita, tinutuan/pedaal harus kalah bersaing dengan mie bakso, soto makassar dan cap cae. Atau antara RW, tinoransak dan ragey dengan KFC, ayam kalasan, dan lain-lain.
Hegemoni budaya Jawa dan lain-lain itu, pada akhimya memang telah bercampur baur dengan sistem negara kita yang kemudian menjadi sentralistik. Apakah karena kebanyakan pemimpin negara ini ditingkat pusat orang adalah orang orang Jawa yang lama hidup dengan sistem dan nilai budayanya yang feodalisitik (kita ingat, di Jawa dulunya banyak kerajaan yang bercokol) atau karena persoalan kekuasaan yang harus direbut dan dipertahankan. Belum terlalu jelas. Yang pasti, Tou, Tanah dan Adat Minahasa, sedang dalam keadaan terancam keberadaannya

Dengan mempersoalkan pengaruh bangsa Barat yang telah mendesain sedemikian rupa nilai-nilai kekristenan sesuai kepentigannya dan hegemoni budaya juga agama, bukan berarti saya sedang menolak perubahan atau keberadaan yang lain. Keprihatinan kita bersama adalah soal ancaman punahnya identitas dan harga diri Tou, Tanah dan Adat Minahasa. Kalau tidak disikapi secara serius, hal-hal ini memang akhimya akan menjadi penyebab dan mengancam.

Saya sadar, bahwa Tou Minahasa  ada dalam perubahan, yang antara  lain karena tuntutan perubahan dunia. Globalisasi telah membuat bumi yang kita pijaki ini mirip sebuah dusun kecil. Karenanya, pengaruh-pengaruh luar, baik yang positif maupun yang negatif akhirnya memang menjadi realitas kehidupan. Belum lagi semangat liberalisme dalam bidang ekonomi, yang merupakan tantangan sekaligus peluang. Pluralitas dalam berbagai hal, mestinya menghasilkan paradigma yang pluralis (pluralisme). Dan hal itu, mestinya tidak  serta-merta membuat Tou, Tanah dan Adat Minahasa menjadi relatif karena perjumpaan dengan yang lain.

Perjumpaan harus aktif dalam memaknai perbedaan. Kalau sudah begini pemahaman kita, maka Tou, Tanah dan Adat Minahasa, yang dalam diskusi kita sedang dalam kepungan hegemoni budaya bangsa Barat, yang kini kebanyakan di antaranya masih tampil dengan superioritas dan arogansi intelektualrrya juga budaya lain yang feodalistik, harus tampil dengan suara-suaranya yang menggugat. Salah satu bentuk gugatan itu, pertama-tama adalah membuat autokritik tentang keberadaan Minahasa kita, kemudian bertanya, apa yang  telah Tou Minahasa buat berhadapan dengan realitas yang mengancam itu? Dari mana kita memulainya? Apa kekuatan kita untuk melawannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan  terjawab kalau kita bersatu dalam  kepelbagaian dengan cara saling  berdialog/berdialektika. Kemudian dilanjutkan dengan membangun kekuatan bersama secara politik, sosial, ekonomi dan tentu budaya. Minahasa harus tampil sama tinggi dan besar dengan bangsa-bangsa lain. Minahasa harus menggugat.

Karena Minahasa, menurut Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, seperti dikutip Malonda dalam bukunya itu adalah, ” Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.”

Jumat, 11 Mei 2012

Bahasa yang Hampir Terbisukan

|2 komentar


Oleh Denni Pinontoan

YOGYAKARTA, AWAL OKTOBER 2011. Hari sudah malam. Saat yang tepat untuk berkeliling kota Yogyakarta. Dua teman dari Solo mengajak saya pesiar keliling-keliling kota itu. Dua teman saya itu, Pendeta Setyo Budi Utomo dan ustad Muh. Luqman Arifin. Mereka berdua dari Solo. Yang satu pendeta, yang satu lagi ustad. Keduanya tampak akrab sekali.

Mereka fasih bicara bahasa Jawa. Saya, orang Minahasa tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa. Nanti ketika pembicaraan melibatkan atau dimaksudkan untuk saya, mereka baru bebicara dalam bahasa Indonesia.

"Den, kamu suatu waktu harus ke Solo. Satu minggu saja kamu di sana sudah bisa berbicara bahasa Jawa," ujar Pdt. Setyo.

Kedua teman saya itu agaknya sedang membuktikan, bahwa budaya melampaui perbedaan agama. Mereka akrab sekali, meski kasus-kasus kekerasan atas nama agama sedang marak-maraknya. Agama tidak selamanya menjadi perekat yang kuat. Bahkan dia terkadang bisa menyebabkan keretakan. Dalam kultur dan bahasa yang sama, dua orang yang berbeda agama bisa akrab.

Di Tanah Minahasa, bahasa ibu terbagi pada empat dialek utama. Yaitu, Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Tolour. Kemudian jenis bahasa yang agak berbeda yaitu, Pasan, Ratahan, Bantik, Ponosakan, Babontehu dan lain sebagainya. Empat dialek utama bisa saling mengerti. Yang lain memang berbeda.

Bahasa tana' (bahasa ibu) Minahasa yang bermacam-macam dialek itu dalam prakteknya bukan hanya sebagai alat komunikasi verbal. Bahasa tana' juga untuk mengungkapkan keakraban. Namun kini semakin jarang orang Minahasa, terutama kaum muda yang berbicara dalam bahasa Minahasa.

Misalnya, orang Kampung Jawa Tondano yang Islam dengan orang Tondano lainnya yang Kristen menjalin keakraban dengan berbicara dalam bahasa Tolour. Begitu juga orang Kampung Tomohon dengan orang-orang Tomohon yang lain. Mereka akrab dalam berbicara Tombulu.

Pada umumnya, orang-orang Minahasa berbicara dalam bahasa Melayu Manado. Bahasa ini menjadi bahasa umum di antara orang-orang Minahasa yang beragam subetnis. Di ranah formal, seperti rapat, seminar, kelas sekolah dan kuliah, atau di ruang publik di mana terdapat orang-orang bukan dari Minahasa, biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Untuk kalangan remaja dan pemuda 'gaul', bahkan bahasa popular adalah bahasa prokem ala Jakarta.

"Gua sih gak apa-apa, loe tre no."

"Nglogat-nglogat, kage tre muntah bete." Begitu orang suka menyindir anak-anak muda ini yang tampil gaul dengan bahasa Jakarta itu.

Logat Jakarta menyebar di kalangan orang muda Minahasa melalui budaya popular yang ditampilkan media cetak maupun elektronik. Orang Minahasa sudah mengenal televisi hitam putih sejak akhir tahun 1970-an. Tepatnya tahun 1978 ketika untuk pertama kalinya stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Manado mengudara. Secara nasional, siaran televisi di Indonesia dimulai pada tahun 1962.

Film-film bertema percintaan anak muda, bintang-bintangnya seperti Rano Karno, Yessy Gusman, Eva Arnas, Roy Marthen, dan lain sebagainya sudah menghiasi bioskop-bioskop di Kota Manado sejak awal 1980-an. Ada bioskop Plaza di jalan Dr. Sutomo, bioskop Mitra di jalan Bethesda, bioskop Manado di kompleks pasar Kanaka, bioskop Benteng di jalan Sarapung, bioskop Benteng dan bioskop Presiden di Pasar 45.

Bioskop-bioskop ini sudah lama ada di Manado ketika pecah pergolakan Permesta. Sebab, film To Hell and  Back sudah diputar oleh bioskop-bioskop di Manado jelang Permesta. Film ini berkisah tentang pengalaman hidup Audie Murphy (yang menjadi pemeran atas nama dirinya sendiri) sebagai  prajurit angkatan darat Amerika pada perang dunia ke-II. Film ini telah mengilhami lambang dan badge Corps Tentara Pelajar (CTP)  Permesta dengan dasar hitam garis lima merah diagonal. CTP dipimpin  Jimmy Noya, seorang  pemuda asal Ambon (Maluku) serta Wilson H. Buyung.

Sementara bioskop Gembira di Kawangkoan, kemungkinan besar sudah ada sejak tahun 1960-an bahkan 1950-an.  Namun, bioskop itu kini tidak ada lagi. Ia terbakar kira-kira pertengahan 1990-an. Tinggal bagian depannya yang tampak berdiri.

Trend bioskop kemudian digantikan dengan munculnya VCD dan DVD. Orang-orang tidak lagi harus bersusah-susah ke bioskop, beli karcis dan duduk tidak nyaman di kursi yang gatal karena kutu busuk. Perubahan berikut menyusul bermunculannya televisi-televisi swasta. RCTI mulai mengudara November 1988. Namun, ia nanti melakukan siaran bebas pada akhir 1991. Era 2000-an muncul banyak tv swasta. TV kabel kemudian marak di Minahasa. Sinetron yang bercerita tentang cinta, perselingkuhan, perebutan harta dan dinamika kehidupan ibu kota menjadi santapan harian warga Minahasa.

Radio juga menjadi media anak muda Minahasa mengekspresikan kemudaanya. Radio Memora FM dikenal anak-anak muda Kota Manado hingga pelosok tanah Minahasa sebagai radio yang menyajikan informasi dan hiburan bagi mereka. Penyiar radio ini fasih bicara “loe”, “gue”, atau kata-kata dan kalimat logat Jakarta. Anak-anak putih abu-abu atau kuliahan menjadikan radio Memora ini sebagai refrensi musik dan gaya hidup terbaru.

Greenhill Weol, penyair dan director Mawale Cultura Center mengenang gaya hidup anak muda di awal 1990-an, waktu itu dia masih SMA. Sebuah puisi berbahasa Melayu Manadonya berjudul “Retro Epic”, menyebut radio nama radio Memora.

Torang ley blum bawa-bawa hp
So mujur tu ada telpon ruma
Kalo perlu kurang cari saratus
Kong lari-lari ka telepon umum
For mo telepon kape-kape Memora
Itu komang torang sorasa

Ali Swastika editor pada Newsletter Kunci menulis perubahan gaya hidup pada anak muda di Indonesia akibat pengaruh budaya pop ala ibu kota, Jakarta. Anak muda kota, tulis Swastika, selalu punya cara untuk tampil beda. Biasanya, itu ditiru dari tampilan gaya hidup para selebritis yang ditayangkan di televisi atau majalah. “Dan bahasa, salah satu hal yang akan memberikan ciri khusus pada pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam berbicara adalah salah satu dari usaha anak kota untuk memberi citra tertentu dari penampilannya,” tulis Swastika.

Tahun 1977 terbit majalah remaja pria, Hai.   Nama yang dikenal publik di majalah itu, Arswendo Atmowiloto. Ia adalah penulis dan wartawan yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar.  

Pembaca majalah Hai adalah remaja pria. Setiap terbitannya memuat dinamika dunia dan gaya hidup remaja.  Mulai dari musik, film, pendidikan, tempat nongkrong, fesyen, teknologi, olahraga, psikologi, pendidikan seks, dan tentu saja cerita pendek dan komik.

Di majalah Hai rutin dimuat cerita serial Lupus karya Hilman Hariwijaya. Lupus, tokoh bergaya slenge’an, gondrong dengan jambul di bagian depannya. Bercelana jeans, kaos oblong, kadang-kadang mengenakan kemeja yang tidak dikancing dan kedodoran. Permen karet yang dibuat balon kecil di mulut tak pernah ketinggalan. Sepatunya kets dan senang dengan sepeda. Popularitas Lupus makin melejit ketika ia dilayarlebarkan. Bintang Lupusnya Ryan Hidayat dan pacarnya Popi, dibintangi Nike Ardile. Mereka, kemudian menjadi artis yang mati muda.

Sebelum Lupus ada film remaja lainnya yang juga top di layar lebar, Catatan si Boy. Bintangya Ongky Alenxander. Boy anak orang kaya, Lupus anak pengusaha katering. Dua film remaja ini menggambarkan gaya hidup anak remaja ibu kota di masa itu, akhir 1980-an.

Lupus dan “Catatan si Boy juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya,” tulis Swastika.

Novel dan film Lupus sangat khas dengan bahasa prokem remaja. Kata “gua” untuk menyebut diri dan “elu” untuk lawan bicara menjadi kata ganti diri khas Lupus.

”Yo-i! Kalo bergaul sama kelasnya Gusur dan Lupus, mana lo berkembang? Gue baru aja ditelepon Nadya.”
“Nadya mana?” tanya Boim bloon.
“Nadya mana lagi…Nadya Hutagalung, so pasti! Dia mau ngajak gue jadi VJ di MTV.”
Boim terperangah. Mulutnya sampe menganga.

Dialog itu dapat dibaca di Lupus seri “Kutukan Bintik Merah” terbitan Gramedia, Jakarta tahun 1998.

Generasi kelahiran pertengahan 1970-an dan awal 1980-an ingat betul cerita dan tokoh Lupus bikinan Hilman itu. Saya menulis status di Facebook, “Ada yang masi inga deng novel atau Film Lupus?” Muncul komentar:

“Lupus... ! gula-gula goro denga jambul muka belakang...!!” kata Iezha d'Minahasa. Kata Iezha lagi, “lupus itu karakter yang kompleks dalam kemasan yang sederhana...!!konyol n ceplas ceplos tapi kadang berbobot, imajinatif. Hilman seperti mengadopsi karakter Lupus dari kebiasaan luar, karena sosok lupus, kalau dalam konteks anak muda ibukota terkesan baru..!! makanya jadi trendsetter..!!“

 “LUpa PUlang Skolah, hehe, film anak skolahan doeloe pak”, komentar Ady Ras Hannas

Ada, ya. Yang qta ingat gaya rambutnya yang panjang... Deng lengan baju sekolah ja kase lipa...” kata Sofie Paat.

Lalu, Jumat, 27 Januari 2012 tanpa sengaja saya membaca sebuah cerita bersambung di harian Manado Post berjudul “Temanku Hantu”. Pengarangnya Tika Muchtar, siswi SMAN 1 Airmanadidi, Minahasa Utara. Dialog-dialognya kental bahasa gaul kosmopolitan Jakarta. Mirip dialog-dialog dalam Lupus.

“Kenapa sih, nggak’ percaya amat kalo gue hantu!” Ucap Fedora.
“abisnya loe tuh aneh!”
“oh iya…kenapa sih loe tuh nggak’ punya teman sama sekali di sekolah.”
“gue lebih suka sendiri. Egh tapi kok loe tahu”?

Logat gaul Jakarta itu ada di halaman “Road to School” Manado Post. Koran ini bagian dari Jawa Post Group, sebuah koran yang punya pembaca cukup banyak di Minahasa dan Sulawesi Utara. Sementara penyiar-penyiar radio swasta bersegmen remaja, meski terkesan dipaksa, menyapa pendengar remaja di kamar kost atau di angkot dengan “loe”, “gue”, “nggak”, “capek deh.”

“Harus diakui, bahasa anak muda Jakartalah yang selama ini mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia,” Swastika menyimpulkan.

Swastika juga menambahkan, proses menyebarnya bahasa prokem Jakarta itu adalah melalui media massa yang kebanyakan berkedudukan di Jakarta. Jakarta, sebagai pusat kekuasaan dianggap rujukan banyak hal, termasuk gaya berbahasa dan berbusana.  TV dan radio, menurut Swastika telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang dianggap paling keren dan enak didengar dan diucap oleh anak-anak muda Indonesia. Radio-radio remaja yang dominan dengan hiburan musik, penyiar-penyiarnya berbicara dalam dialek yang sama, dialek Jakarta.

“Seola-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda,” tandas Swastika.


TANGGAL 20 JANUARI 1869, terbit sebuah koran berbahasa Melayu di Tanawangko, sebuah wilayah pesisir pantai Manado. Nama koran itu, Tjahaja Sijang. Tagline edisi pertamanya tertulis “Kertas Chabar Minahasa”. Pelopornya adalah Nicolaus Graafland, seorang zendeling utusan NZG yang kala itu bekerja sebagai guru di sekolah zending di sana.

Graafland lahir pada 2 Maret 1827 di negeri Belanda. Ia belajar teologi  di Rotterdam. Kemudian diutus oleh NZG, pertama-tama sebagai penginjil di Sonder, Minahasa, kemudian menjadi guru. Dia pertama kali datang Jakarta pada tanggal 8 November 1848.  Pada 16 Maret 1851 ia tiba di Sonder dan segera setelah itu membuka sekolah guru. Murid pertamanya berjumlah 4 orang.  Pada tahun 1854 sesudah libur, ia bertugas di Tanawangko, sekolah guru itu dipindahkannya kesana.

Di Tanawangko,  pada tahun 1862 Graafland mulai mempersiapkan media terbitan untuk kepentingan misi dan pendidikan bagi orang-orang Minahasa. Edisi perkenalan Tjahaja Sijang terbit September tahun 1868. Nanti mulai Januari tahun 1869 terbit perbulan secara rutin. Bahasa yang digunakan dalam setiap terbitan adalah bahasa Melayu.

Tahun 1983, seorang dosen Fakultas sastra Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, Geraldine Ivonne Jane Manoppo-Watupongoh menyelesaikan disertasi  yang berjudul Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada abad ke-19. Watupongoh meneliti tentang penggunaan bahasa Melayu dalam surat kabar terbitan tersebut.

Para zendeling yang menyebarkan agama Kristen di Minahasa dihadapkan dengan persoalan bahasa. Watupongoh menuliskan, waktu itu mereka harus memilih satu dari tiga bahasa yang akan digunakan untuk penginjilan: bahasa Minahasa, bahasa Belanda atau bahasa Melayu. Memilih bahasa Minahasa, agak sulit mengingat keberagaman dialek dan ragam di masing-masing subetnis. Memilih bahasa Belanda juga tidak mungkin. Pilihan jatuh pada bahasa Melayu, yang sudah menjadi lingua franca di nusantara sejak lama.

“Sebagai pertimbangan psikologis politis, Belanda berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dan Minahasa yang berbeda kedudukan dan bahasa, lebih menguntungkan bila digunakan bahasa yang ketiga yang tidak dikuasai oleh kedua belah pihak oleh karena dalam berbahasa daerah, Belanda dapat membuat kesalahan, sedangkan di pihak Minahasa, dengan berbahasa daerah ia akan menutup diri bagi Belanda,” Watupongoh menyimpulkan alasan para zendeling memilih bahasa Melayu.

Sekolah-sekolah zending, guru-guru, Tjahaja Sijang dan terbitan lainnya yang berbahasa Melayu telah berperan dalam memasyarakatkan bahasa Melayu di kalangan orang-orang Minahasa. Bahkan, dalam sebuah edisi, disebutkan koran ini telah dibaca oleh orang-orang yang berada di luar Minahasa, seperti Makassar, Palembang, Kupang, Babau, Oisappe, Ambarawa, Gorontalo hingga Surabaya.

Tentang maksud penerbitan koran ini Graafland menuliskannya pada edisi perdana, 20 Januari 1869:

”Pada menjatakan gunanja kertas chabar ini pada segala guru. Adapun kertas chabar ini berguna bagi samowa orang jang hendak bertambhakn pengetahuawannja, tagal itu terlebih pula pada segala guru jang yang harus bertambah-tambah pengatahuwannja pada sedekala waktu sopaja marika itu boleh hentar orang dan anak-anak dan bertambahkan terang antara kaum.”

Harry Kawilarang, seorang mantan wartawan dalam artikelnya Sejarah Singkat Pertumbuhan Bahasa Indonesia Melalui Alkitab memuji guru-guru asal Minahasa lulusan sekolah-sekolah guru zendeling. “Proses bahasa Indonesia berkembang melalui guru-guru Minahasa jebolan sekolah guru di Minahasa sejak pertengahan abad ke-19,” tulis Kawilarang.

Tapi Kawilarang tidak teliti. Sesungguhnya, bahasa yang digunakan oleh guru-guru Minahasa waktu itu adalah bahasa Melayu, bukan (belum) bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia jelas nanti ada ketika ditetapkan di batang tubuh UUD 1945, bersamaan dengan kelahiran negara Indonesia.

Mengenai ragam bahasa Melayu yang digunakan di Tjahaja Sijang, Watupongoh, menyebutkan tiga ragam bahasa, yaitu ragam Melayu Gunung, ragam Melayu Pasar dan ragam Melayu Campuran.

Bahasa Spanyol dan Portugis cukup memengaruhi pembentukan bahasa Melayu ala Tjahaja Sijang. Serapan dari bahasa Portugis, misalnya “roda”, “somber”, “kintal”, “kadera”, “medja.” Dari Bahasa Spanyol, “peda”, “maradju”, “fresco”, “furu-furu”, “horas”. Sapaan untuk anak perempuan dan laki-laki juga diserap dari bahasa Portugis, misalnya “nona” untuk anak perempuan, “sinyo” untuk anak laki-laki, dan nyonya besar disebut “nyora.”

Selain bahasa Portugis dan Spanyol, juga diserap bahasa China, misalnya “kongsi” dan “top”. Bahasa daerah tetangga, seperti Ternate dan Galela tidak ketinggalan. Misalnya, yang diserap dari bahasa Ternate, “gonone, “tusa”, “dodoku”, “guhi”, “paniki”, “songara”, “ngana”, dan lain sebagainya. Bahasa Galela misalnya “gomala”, “deho”,  “rica”, “gomutu”

Pantasan saja, orang tua Minahasa dalam ungkapannya kepada anak-anak memakai kalimat, “Eh, Alo, jang duduk di meja ngana, nanti ngana pe panta mo ba luka.” Atau, “Kalo kerja, jang suka mamaraju, soe tu dia.”


OKTOBER 1928. Di depan Gedung Gemeente Bioscoop, Manado (sekarang Bioskop Presiden di Pasar 45, Manado) masyarakat dan Pemuda berkumpul. Di antara kerumunan banyak orang itu, seorang perempuan muda bernama Sofie Kornelia Pandean dengan berani tampil ke muka ikut membacakan hasil kongres pemuda di Batavia. Ia satu-satunya perempuan, tiga temannya yang lain laki-laki. Waktu itu usianya baru 17 tahun. Di sekitar kerumunan itu, tentara Belanda berjaga-jaga.

Sudah menjadi resiko, Pandean akhirnya ditahan oleh tentara kolonial Belanda. Tapi, lantaran pamannya seorang jaksa, jadi dia bisa dibebaskan dengan segera.

Di Batavia, seorang perempuan Minahasa lainnya, pada tanggal 27-28 Oktober tahun yang sama hadir pada kongres Pemuda ke-II yang dilaksanakan di gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplesin Noord, Batavia. Perempuan muda itu bernama Johana Masdani-Tumbuan. Waktu Kongres Pemuda ke-II usianya baru memasuki 18 tahun. Ia lahir 28 November 1910 di Amurang, Minahasa Selatan. Kongres Pemuda inilah yang mengikrarkan antara lain bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama.

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menulis, sejarah bahasa Indonesia bermula dari bahasa Melayu. Proses sehingga bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Indonesia, secara singkat dijelaskan Ricklefs, ini terkait dengan semakin berkembangnya kesastraan baru di masa itu yang didasarkan pada bahasa Melayu sebagai lingua franca di nusantara sejak berabad-abad sebelumnya.  Kenapa bahasa Melayu yang dipilih, menurut Ricklefs, “…bahasa itu bukan bahasa Jawa sehingga tidak membawa implikasi dominasi suku Jawa.”

Kongres Pemuda ke-II 1928 di kemudian hari dirujuk sebagai sejarah nasionalisasi bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. “Satu bahasa, Bahasa Indonesia,” begitu para pemuda berikrar di masa itu. Bahasa Indonesia yang dimaksud, jelas adalah bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di nusantara.

“Tetapi bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu, dengan arti bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangannya, bahasa Indonesia mempunyai penemuan-penemuan dan sejarah yang tersendiri,” tulis Ajip Rosidi dalam Kapankah Kesustraan Indonesia Lahir?. Rosidi adalah mantan wartawan cum sastrawan di era 1950-an.

Rosidi menulis itu ketika ia sedang membahas tentang kelahiran kesusasteraan Indonesia. Di satu pihak adalah fakta sejarah bahwa bahasa Indonesia bermula dari bahasa Melayu, namun, di lain pihak, secara politis, bahasa Indonesia adalah bahasa dari sebuah negara bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Rosidi menyebut Hang Tuah dan Sejarah Melayu, buah tangan Radja Ali Hadji, Hamzah Fansuri, para pengarang Melayu itu untuk membandingkan dengan karya yang lahir era pra Indonesia dan era Indonesia sebagai negara.

“Setelah bahasa Indonesia tumbuh dengan pesat, bahasa Melayu yang lain terus juga hidup di wilayah Melayu (Riau, Sumatera Timur) dan di Semenanjung ia mempunyai pertumbuhan dan perkembangan tersendiri pula, yang oleh para penelaah sastra (baik di Indonesia maupun di Persekutuan Tanah Melayu) dipisahkan dari pertumbuhan bahasa dan sastera Indonesia,” urai Rosidi.

Rosidi mengutip artikel Umar Junus yang dimuat pada Majalah Medan Ilmu Pengetahuan tahun 1960 untuk memperkuat argumennya. Junus berkesimpulan bahwa antara “sastera Melayu” dan “sastera Indonesia” masing-masing berbeda. Sastera Indonesia nanti ada setelah bahasa Indonesia ada, dan itu merujuk pada ikrar para pemuda dalam Kongres Pemuda ke-II Oktober 1928.

“Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928 untuk bertukar nama dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia,” tulis Junus seperti dikutip Rosidi.

Rosidi sendiri menegaskan, bahasa Indonesia itu nanti ada ketika ada pengakuan terhadap bahasa tersebut, yaitu pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Namun, seperti pendapat umum, dia mengakui juga bahwa bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. “Tetapi, juga dengan lahirnya bahasa Indonesia, bahasa Melayu tidaklah mati atau ‘berakhir’,” tegas Rosidi.

Bahasa Indonesia lahir dari sebuah proses yang politis. Lantaran, ia ada di zaman penjajahan. Kolonialisme adalah masalah bagi bangsa-bangsa di nusantara di zaman itu. Kongres Pemuda Oktober 1928, menjadi ajang perjumpaan aspirasi yang sama dari bangsa-bangsa yang beragam di nusantara. Prosesnya politis, dan inilah cara kaum muda di masa itu berjuang membebaskan kaumnya dari penjajahan. Apa yang menjadi simbol perlawanan itu? Ya, penegasan semangat yang bersatu: “Satu Tanah Air , Satu Bangsa, dan Satu Bahasa”, semuanya menunjuk pada yang dulunya hanya sebagai istilah etnografis, yaitu Indonesia.

“Pada pendapat saya, kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi bapak yang sah dari kelahiran bahasa Indonesia yang beribukan bahasa Melayu itu. Kesadaraan kebangsaan yang saya maksudkan ialah kesadaran kebangsaan Indonesia, karena itu bahasa Melayu yang tumbuh serta berasal dari bahasa Melayu yang sama juga tapi tidak berbapakan (kita teruskan saja perumpaan ini) kesadaran kebangsaan Indonesia, bukanlah bahasa Indonesia,” Rosidi menyimpulkan.

Rosidi memang menyadari kelahiran bahasa Indonesia sebagai proses politis, meski ia agak berhati-hati. “Dengan dasar pikiran seperti itu bukanlah sekali-kali maksud saya hendak memperpolitik kesusasteraan atau mencapur-baurkan persoalan kesusteraan dengan persoalan politik, melainkan karena memang persoalan tersebut tidak bisa dipandang secara lain, lantaran nama ‘Indonesia’ sendiri pertama-tama adalah suatu pengertian politik. ‘Indonesia’ sebagai nama sebuah negara dan suatu kesatuan geografis ataupun administrasi baru setelah ada pengertian ‘Indonesia’ yang berdasarkan suatu cita-cita dan kesadaran kebangsaan (nasionalisma) yang subjektif dan bersifat politis, yaitu lahir dari perasaan bangsa yang merasa tidak menjadi tuan rumah di tanah airnya sendiri sebagai akibat cenkeraman penjajahan Belanda.”

Rosidi atau sastrawaan pergerakan lainnya tidak selamanya benar. Di Minahasa misalnya – atau juga di daerah lain di masa kolonial – pilihan kolonial untuk menggunakan bahasa Melayu tidak hanya alasan karena bahasa ini sudah dikenal umum. Namun, ini terutama di belakangnnya ada maksud politik. Bahasa adalah alat komunikasi politik. Sederhananya begitu. Ya, agar perintah, kebijakan dan doktrin kolonial dapat dengan mudah disampaikan dan diterima, tentu bukan dengan bahasa Belanda, tapi bahasa Melayu. Bahasa daerah, bukan cuma sulit dipelajari oleh aparat-aparat kolonial, namun, bahasa daerah setidaknya menyimpan pengetahuan dan spirit masyarakatnya. Belanda takut jangan kemudian timbul perlawanan. Bahasa Melayu sudah umum, dan dengan demikian penaklukan wacana dan fisik oleh kolonial terhadap pribumi menjadi muda.

Demi maksud itu, pemerintah kolonial bahkan mendirikan Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakjat) pada tanggal 14 September 1908. Ia semacam perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara pemerintah kolonial. Pada 22 September 1917 ia berubah nama menjadi “Balai Poestaka." Balai ini didirikan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda, seperti  bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Salah satu Novel berbahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu adalah  Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau. Balai ini memiliki peran besar dalam mempopulerkan bahasa Melayu, juga Jawa, Sunda dan Melayu.

Benny H. Hoed, Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim dalam buku bersama mereka Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa: Kajian Semiotik atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto Dan Selebaran Gerakan Mahasiswa (2004) mengkaji secara kritis bahasa Indonesia di ranah politik. Menurut mereka, kesadaran pemerintah  rezim Orde Baru Soeharto menggunakan bahasa sebagai alat kepentingan kekuasaannya telah muncul sejak awal tahun 1970-an. Ini menunjuk pada Amanat Kenegaraan hari kemerdekaan Indonesia tahun 1972. Waktu itu, Soeharto mengungkapkan sikapnya terhadap bahasa Indonesia sebagai kunci keberhasilan pembangunan.

Hoed dan kawan-kawannya menegaskan, bahwa pada saat Kongres Pemuda Oktober 1928 sebenarnya belum ada pembicaraan tentang bahasa negara karena Hindia-Belanda masih merupakah koloni Belanda. Namun, dengan dijadikannya bahasa sebagai hal penting dari hasil kongres itu – meski seperti sudah diketahui bahwa teks itu adalah rumusan Yamin – ini berarti bahasa adalah alat politik. Sepuluh tahun setelah kongres pemuda itu, di Solo dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia I. “Dari keputusan KB I terlihat betapa kuatnya upaya pembakuan bahasa Indonesia, seperti menyusun tata bahasa baru  (gramatika) dan meminta dukungan pada guru, dan membuat bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi di berbagai bidang, seperti politik (di Volksraad), pendidikan, media,  dan bahkan perundang-undangan.”

Ada sesutu yang agak kontadiktif terkait dengan hal bahasa di masa itu, sebagaimana diungkap Hoed dan kawan-kawan. Menurut mereka, di masa itu justru sejumlah tokoh mengemukakan pentingnya menguasai bahasa Belanda sebagai “gerbang menuju Barat.” Namun pendapat ini tidak didukung oleh pemerintah Belanda. Alasan pemerintah Belanda, bahasa Belanda hanya untuk elit pribumi. Untuk rakyat banyak, dibiarkan menggunkan bahasa Melayu. “Pemerintah kolonial pada  masa itu menganggap bahwa penguasaan bahasa Belanda oleh pribumi berbahaya karena akan lebih muda mendorong pertumbuhan nasionalisme dibandingkan dengan bahasa Melayu,” tulis Hoed dan kawan-kawan.

Tahun 2009 saya mendapat teks lengkap hasil Kongres Pemuda ke-II dari Matulandi Supit, Ketua Majelis Adat Nusantara Sulawesi Utara. Di paragraf pertama tertulis:

“Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.”

Perhatikan kata “kebangsaan” yang menunjuk pada perkumpulan-perkumpulan pemuda yang disebut itu. Jadi, yang berkumpul itu adalah pemuda-pemudi dari kelompok-kelompok gerakan yang bergerak dengan semangat kebangsaannya masing-masing.

Lalu, salah satu hasil, yang entah bagaimana prosesnya sehingga kemudian disebut sebagai “Sumpah Pemuda”, adalah soal bahasa. Lengkapnya rumusan itu berbunyi begini:

“Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Rumusan ketiga ini mengungkapkan semangat zamannya. Para pemuda yang berkongres berada di tengah zaman penjajahan, zaman di mana butuh sikap dan semangat. “Mendjoendjoeng” jelas berbeda dengan “bersoempah.”

Teks itu adalah rumusan Mohammad Yamin yang hadir dalam kongres tersebut atas nama Jong Soematra. Ia di masa itu tercatat sebagai mahasiswa pada Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Yamin memimpin sidang pertama. Ia membawakan makalah dengan judul “Persatoean dan Kebangsaan Indonesia.” Parakitri Tahi Simbolon, yang menulis Menjadi Indonesia, buku setebal 846 halaman yang terbit tahun 2006, mencatat adanya perubahan orientasi berpikir Yamin dibandingkan ceramahnya pada Kongres Pemuda 1 tahun 1926. Pada kongres pertama itu, bagi Yamin bahasa Melayu adalah bahasa kebudayaan Indonesia, belum sebagai bahasa persatuan yang politis. Sementara pada Kongres ke-II ini bagi Yamin bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan.

“Yamin berpandangan bahwa masa depan Indonesia akan direkatkan oleh satu bahasa, yakni bahasa Indonesia,” begitu artikel di situs www.tokohindonesia.com menulis biografi Yamin. Wajar saja kalau Yamin kemudian yakin pentingnya bahasa di era penjajahan itu. Ia seorang sastrawan. Enam tahun sebelumnya, Yamin menulis puisi, “Tanah Air”. Tanah airnya adalah Sumatera. “Tanah Air”, adalah puisi berbahasa Melayu.

Namun Wikipedia menyebut Yamin sebagai “pencipta mitos” yang utama kepada Presiden Sukarno. Yamin “pencipta mitos”?

Andreas Harsono, wartawan yang bekerja di Yayasan Pantau dan giat melakukan kajian mengenai nasionalisme meminjam pendapat sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan, salah satu orang yang banyak menciptakan "sejarah yang bercorak nasional" alias propaganda adalah Muhammad Yamin.

Yamin, menurut Harsono, menciptakan mitos, bahwa Indonesia dijajah Belanda 350 tahun dan tentang Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit yang bikin Sumpah Palapa. Yamin, menjadikan kemampuan sastranya yang berdasarkan imajinasi untuk mengkonstruksi wacana atau propaganda tentang sejarah Indonesia. Parahnya, di tahun 1950-an, Yamin jadi Menteri Pendidikan.

“Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya. Artinya, kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi. Geli tapi juga sedih,” tulis Harsono.

Gawat, teks hasil Kongres Pemuda ke-II dirumuskan oleh seorang “pendongeng”.

“Terinspirasi oleh Sumpah Palapa Gaja Mada, Muhammad Yamin membuat konsep ikrar Sumpah Pemuda untuk dibacakan sebagai hasil Kongres Pemuda II,“ tulis tokohindonesia.com.

Pada saat yang sama, Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku.  Sajak-sajaknya waktu itu sudah bernuasa “Indonesia” yang diimajinasikan sebagai yang tak terpisah dengan Melayu. Padahal, budaya nusantara sangat beragam. Simak penggalan sajaknya ini:

Adapun kami anak sekarang
Mari berjejrih berbanting tulang
Menjaga kemegahan jangalah hilang,
Supaya lepas ke padang yang bebas
Sebagai poyangku masa dahulu,
Karena bangsaku dalam hatiku
Turunan Indonesia darah Melayu

Suatu hari di akhir Januari 2012, di dalam mobil Avansa, Fahri Salam, wartawan yang tinggal di Jakarta, berujar kepada saya dengan sinis, “Aneh ya, kongres kok disebut Sumpah Pemuda?” Dia bicara soal Kongres Pemuda itu yang dalam bahasa sekarang umum disebut Sumpah Pemuda. Lantaran “Sumpah Pemuda” itulah sehingga bahasa Melayu diindonesiasisasi.

Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Sekitar 17 tahun dari pembacaan ikrar pemuda tersebut – yang teksnya dirumuskan oleh seorang pembuat mitos – bahasa  Indonesia dicatumkan dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945, pasal 36: “Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.” 

Namun, bahasa Melayu benar-benar menjadi “Indonesia” nanti pada tahun 1972. Yaitu ketika pada 23 Mei 1972 terjadi kesepakatan antara Menteri Pelajaran Malaysia Tuan Hussein Onn dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia masa itu, Mashuri. Kedua pejabat yang mewakili negara masing-masing bersepakat melaksanakan apa yang disebut “Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan”. Di Indonesia, istilah yang umum adalah “EYD” kependekan dari istilah yang dipakai dalam kesepakatan itu.

Tanggal 16 Agustus 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres Nomor 57 Tahun 1972 tentang “Peresmian Berlakunja ‘Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan’". Mulai saat itu dipopulerkan istilah “Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar”.

Cendekiawan  yang berperan penting dalam memasyarakatkan EYD adalah Jusuf Sjarif Badudu. Laki-laki kelahiran Gorontalo, 19 Maret 1926 itu seorang pakar bahasa Indonesia dan  Guru Besar Linguistika pada Universitas Padjadjaran. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai pembawa acara Pembinaan Bahasa Indonesia antara tahun 1974 sampai 1979 di TVRI.

Yus Badudu, begitu ia dikenal popular, pernah mengkritik cara berbahasa Soeharto. Soeharto sering menyebut sufiks “kan” dengan “ken” dalam nada medok Jawa. Akibat kritik itu, program acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Badudu dihentikan.


TAHUN 2003, seorang sastrawan Minahasa, Fredy Wowor menulis puisi berbahasa Melayu Manado, “Menifesto Minahasa.” Ini puisi pertamanya yang berbahasa Melayu Manado:

Indonesia bukang bangsa
Qta pe bangsa Minahasa
I Yayat U Santi!

Ia kemudian bersama Greenhill Weol, Candra Rooroh, Alfrits Oroh, Charlie Samola, Andre GB, giat menulis dan menerbitkan buku-buku puisi berbahasa Melayu Manado. Menurut Fredy, ini sebagai salah satu cara mereka untuk mempopulerkan bahasa Manado. Fredy adalah seorang sastrawan dan budawayan Minahasa. Ia lulusan Fakultas Sastra Unsrat, kajian bahasa Indonesia.

Wowor  mengaku sudah menulis puisi dalam bahasa Melayu Manado sejak tahun 2003. "Tahun 2003 qta so batulis mar nanti kaluar buku torang sebagai sebuah gerakan bersama sastra bahasa Malayu Manado tahun 2005," balas Fredy melalui Blacberry Massage ketika saya tanya kapan mereka mulai menulis puisi dalam bahasa Melayu Manado.

Menulis dalam bahasa Melayu Manado, bagi Fredy dan kawan-kawannya tidak hanya sekadar untuk menulis dalam variasi lain, selain bahasa Indonesia. Namun, ini soal identitas. “Bahasa adalah pintu maso untuk identitas. Batulis pake bahasa Manado adalah awal for pahami jati diri. Lewat bahasa Manado torang bisa menggali ingatan kolektif untuk lebih jauh lagi memahami bahasa tana dan cara berpikir torang sebagai sebuah pribadi bahwa torang adalah turunan Karema-Lumimuut-Toar. Puisi adalah pernyataan sikap sebagai satu identitas : masing-masing ada depe tiap-tiap. Untuk memahami torang sebagai orang Minahasa, orang laeng musti memahami dahulu bagaimana torang memandang orang laeng,” jawab Fredy lagi.

Christofel Manopo, seorang lulusan sastra Jerman pada Fakultas Sastra Unsrat Manado, beberapa tahun ini juga rajin menulis puisi. Banyak puisinya dalam bahasa Melayu Manado. Beberapa buku puisi sudah dia terbitkan.

“Karena bahasa Melayu Manado qta pe bahasa pertama. Dapa rasa lebe jujur n langsung. Maar sebnarnya kalu qta rasa depe feel dapa di bahasa itu, ya qta tulis dalam itu bahasa. Kebtulan qta multilingual jadi banya opsi,” sms Christofel kepada saya. Saya tanya dia soal alasan menulis puisi dalam bahasa Melayu Manado.

Di masyarakat umum, bahasa Melayu Manado, selain sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, juga banyak ditemukan dalam syair lagu-lagu pop Manado. Penyanyi seperti, Connie Maria Mamahit dan grup musik seperti Makantar, serta banyak lagi lainnya, suka menyanyikan lagu-lagu pop dalam bahasa Melayu Manado. Connie Maria Mamahit pernah menyanyikan lagu “Nyanda Mo Balaeng”.

“Lantaran ngana
cuma dengar orang bacarita
dorang nyanda kaseh
nyanda suka torang dua baku saying”

Di Kota Manado misalnya, lagu-lagu dalam bahasa Melayu Manado dapat didengar di angkot-angkot. Mulai dari jenis lagu pop sampe rap, sering menjadi hiburan para sopir untuk penumpangnya.

Situs www.minahasajo.info mencatat, trend lagu berbahasa Manado mulai tampak di paruh terakhir dasawarsa 70-an. Penyanyi yang populer waktu itu antara lain Vivi Sumanti dan Frans Daromes. “Vivi Sumanti punya satu album diiringi kolintang, yang salah satu lagunya kerap membuat orang tua yang mendengar tersipu-sipu.”

Lirik lagunya lucu,
“Kita lia-lia, om lia-lia-lia,
dia pegang kita punya kita lei ba pegang...
“Om om om, ka kanan sadiki,
om om om, kakiri sadiki”

Vivi Sumanti artis top di era 1970-an. Ia lahir di Minahasa. Tempo terbitan 16 Maret 1974 menyebut Vivi sebagai “biduanita genit”. Tempo edisi itu memberitakan tentang sebuah acara Kawanua, di Jakarta. Vivi dan sejumlah penyayi serta bintang film asal Minahasa hadir di acara itu. “Acara malam gembira ini untuk memperkenalkan kesenian Minahasa kepada masyarakat ibukota,” tulis Tempo mengutip F. Sumanti seorang Laksamana Muda Laut masa itu, yang bertindak sebagai ketua panitia di saat membuka acara.

Vivi lah yang mempopulerkan sampai ke Jakarta lagu berbahasa Melayu Manado “Sapa Suruh Datang Jakarta.” Lagu ini berkisah kehidupan para perantau luar Jakarta melawan kejamnya ibu kota. Ini petikan lirik lagunya:

Hidup akan merana, Tinggalkan kampung desa
dapatkan gubuk di kota, Ado kasian ye mama
Jauh-jauh merantau, mancari hidup mama
nasib tidak beruntung, Sapa suru datang Jakarte
Sapa suru datang Jakarte, Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang

Bahasa Melayu Manado juga banyak digunakan dalam cerita humor atau istilah orang Minahasa “grap-grap.” Di warung kopi, warung “cap tikus”, perempatan jalan hingga di “dotcom”, cerita “grap-grap” berbahasa Melayu Manado, ada. Ada sebuah cerita humor yang umum di Minahasa. Ceritanya berjudul “Salah Sambung”:

Amper satu Indonesia dapa virus mati lampu. PLN rupa hobi semati lampu, nda terkecuali di Utu pe kampung, Utu so grel lantaran de pe TV ada rusak karena nih mati lampu-mati lampu. Kong Utu ba telepon pa PLN mo ba klak.

Utu: Pak, kiapa ni lampu mati-mati terus, so rusak ta pe TV satu. Ngoni kira murah tu TV itu? Ngoni mo ganti itu?
Petugas: Maaf pak salah sambung.
Utu: Bukang cuman TV, kita pe lampu so berapa yang nda mo manyala, kulkas amper lewat. Ngoni kira tu doi ja jatung dari langit mo beli tu barang-barang.
Petugas: Maaf pak salah sambung, ini bukan PLN, ini PELNI pak…
(Oooppss Utu ta kage, so batoreba salah sambung lei…)
Utu: Iyo, sama lei ngoni, beli tiket jam 4 baru berangkat jam 10 malam …

Tahun 1981, FS. Watuseke, sejarawan Minahasa menulis di Jurnal terbitan KITLV Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde sebuah artikel berjudul Het Minahasa of Manado-Maleis. Watuseke mengulas soal bahasa Melayu Manado.  Dalam tulisannya, dia mencamtumkan contoh tulisan berbahasa Melayu Manado berbentuk cerita yang didiktekan kepadanya oleh istrinya, W. B. Watuseke-Politton. Judul ceritanya “Kita pe Tikus”. Dari ejaannya, dapat dipastikan cerita ini ditulis sebelum tahun 1981. Berikut kutipan paragraf pertamanya:

“Tu Tikus itu kita sajang skali. Skarang kua' bagini: Tempo dong kase pa kita tu barang pe katjiil skali, kuruus lei. Deri kapala sampe diekor itang. Kong dia pe ekor lei pe alus rupa lidi pe udjung. Dong kira tantu kita nemau piara pa dia deri dua djalan lei dia mo hidup truus ka trada. “

Bahasa Melayu Manado, hingga hari ini masih sebagai bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat Minahasa dan Sulawesi Utara umumnya. Ia berusaha merangkak dalam puisi-puisi, lirik-lirik lagu dan cerita “grap-grap.” Sementara bahasa daerah yang banyak dialek dan ragamnya itu semakin hilang dari keseharian. Nyong dan nona-nona Minahasa lebih suka “berbahasa Indonesia yang baik dan benar” atau berbicara seenaknya dengan “loe”, “gue”, ketimbang menyebut “kita”, sebagai “saya” atau “aku” dalam bahasa Melayu Manado atau “ngana.” Bahkan semakin sunyi dalam percakapan sehari-hari kata-kata “nyaku” dan “angko,” “aku” dan “kamu” dalam bahasa ibu Minahasa.

“Bahasa Minahasa misalnya. Bahasa yang ditinggal. Akankah nasib bahasa ini berakhir seperti permainan tempurung?” tulis Sonny Mumbunan dalam catatannya Minahasa dalam Tempurung tahun 2008. Mumbunan adalah seorang intelektual muda asal Tonsea, Minahasa Utara, doktor ilmu ekonomi dari Universitaet Leipzig, Jerman.

Orang-orang Minahasa mungkin perlu menonton lagi “Di Sekitar Kita”, sebuah program acara berbahasa Melayu Manado di TVRI Manado yang rutin siar di era 1980-an. Nama-nama tokoh seperti Mien, Kale, Kadi, Papa Nialo, Rombe dan Bu Tahanusang akrab di kalangan orang Minahasa yang kebanyakan masih menonton tv hitam putih masa itu. Setiap episodenya menampilkan tema-tema hidup keseharian orang-orang biasa. Para pemerannya lucu-lucu. Namun, ketika tv-tv swasta merajalela dan tv kabel menawarkan pilihan siaran hampir tanpa batas, TVRI Manado kalah bersaing. Program acaranya hilang dari layar-layar tv orang Minahasa. Pilihan program acara jatuh pada sinetron dan telenovela serta berita-berita pertarungan politik di Jakarta yang diberitakan oleh tv-tv swasta.