YOGYAKARTA, AWAL OKTOBER 2011. Hari sudah malam.
Saat yang tepat untuk berkeliling kota Yogyakarta. Dua teman dari Solo mengajak saya pesiar
keliling-keliling kota
itu. Dua teman saya itu, Pendeta Setyo Budi Utomo dan ustad Muh. Luqman Arifin.
Mereka berdua dari Solo. Yang satu pendeta, yang satu lagi ustad. Keduanya
tampak akrab sekali.
Mereka fasih bicara bahasa Jawa. Saya, orang Minahasa tidak
mengerti sama sekali bahasa Jawa. Nanti ketika pembicaraan melibatkan atau
dimaksudkan untuk saya, mereka baru bebicara dalam bahasa Indonesia.
"Den, kamu suatu waktu harus ke Solo. Satu minggu saja
kamu di sana sudah
bisa berbicara bahasa Jawa," ujar Pdt. Setyo.
Kedua teman saya itu agaknya sedang membuktikan, bahwa budaya
melampaui perbedaan agama. Mereka akrab sekali, meski kasus-kasus kekerasan
atas nama agama sedang marak-maraknya. Agama tidak selamanya menjadi perekat
yang kuat. Bahkan dia terkadang bisa menyebabkan keretakan. Dalam kultur dan
bahasa yang sama, dua orang yang berbeda agama bisa akrab.
Di Tanah Minahasa, bahasa ibu terbagi pada empat dialek
utama. Yaitu, Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Tolour. Kemudian jenis bahasa
yang agak berbeda yaitu, Pasan, Ratahan, Bantik, Ponosakan, Babontehu dan lain
sebagainya. Empat dialek utama bisa saling mengerti. Yang lain memang berbeda.
Bahasa tana'
(bahasa ibu) Minahasa yang bermacam-macam dialek itu dalam prakteknya bukan
hanya sebagai alat komunikasi verbal. Bahasa tana' juga untuk mengungkapkan keakraban. Namun kini semakin jarang
orang Minahasa, terutama kaum muda yang berbicara dalam bahasa Minahasa.
Misalnya, orang Kampung Jawa Tondano yang Islam dengan orang
Tondano lainnya yang Kristen menjalin keakraban dengan berbicara dalam bahasa
Tolour. Begitu juga orang Kampung Tomohon dengan orang-orang Tomohon yang lain.
Mereka akrab dalam berbicara Tombulu.
Pada umumnya, orang-orang Minahasa berbicara dalam bahasa
Melayu Manado. Bahasa ini menjadi bahasa umum di antara orang-orang Minahasa yang
beragam subetnis. Di ranah formal, seperti rapat, seminar, kelas sekolah dan kuliah,
atau di ruang publik di mana terdapat orang-orang bukan dari Minahasa, biasanya
menggunakan bahasa Indonesia.
Untuk kalangan remaja dan pemuda 'gaul', bahkan bahasa popular adalah bahasa prokem ala Jakarta.
"Gua sih gak apa-apa, loe tre no."
"Nglogat-nglogat, kage tre muntah bete." Begitu
orang suka menyindir anak-anak muda ini yang tampil gaul dengan bahasa Jakarta itu.
Logat Jakarta menyebar di kalangan orang muda Minahasa melalui
budaya popular yang ditampilkan media cetak maupun elektronik. Orang Minahasa
sudah mengenal televisi hitam putih sejak akhir tahun 1970-an. Tepatnya tahun
1978 ketika untuk pertama kalinya stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Manado mengudara. Secara
nasional, siaran televisi di Indonesia
dimulai pada tahun 1962.
Film-film bertema percintaan anak muda, bintang-bintangnya
seperti Rano Karno, Yessy Gusman, Eva Arnas, Roy Marthen, dan lain sebagainya
sudah menghiasi bioskop-bioskop di Kota Manado sejak awal 1980-an. Ada bioskop
Plaza di jalan Dr. Sutomo, bioskop Mitra di jalan Bethesda, bioskop Manado di
kompleks pasar Kanaka, bioskop Benteng di jalan Sarapung, bioskop Benteng dan
bioskop Presiden di Pasar 45.
Bioskop-bioskop ini sudah lama ada di Manado ketika pecah pergolakan Permesta.
Sebab, film To Hell and Back sudah diputar oleh bioskop-bioskop
di Manado jelang Permesta. Film ini berkisah tentang pengalaman hidup Audie
Murphy (yang menjadi pemeran atas nama dirinya sendiri) sebagai prajurit angkatan darat Amerika pada perang
dunia ke-II. Film ini telah mengilhami lambang dan badge Corps Tentara Pelajar
(CTP) Permesta dengan dasar hitam garis lima merah diagonal. CTP
dipimpin Jimmy Noya, seorang pemuda asal Ambon
(Maluku) serta Wilson H. Buyung.
Sementara bioskop Gembira di Kawangkoan, kemungkinan besar
sudah ada sejak tahun 1960-an bahkan 1950-an.
Namun, bioskop itu kini tidak ada lagi. Ia terbakar kira-kira
pertengahan 1990-an. Tinggal bagian depannya yang tampak berdiri.
Trend bioskop kemudian digantikan dengan munculnya VCD dan
DVD. Orang-orang tidak lagi harus bersusah-susah ke bioskop, beli karcis dan
duduk tidak nyaman di kursi yang gatal karena kutu busuk. Perubahan berikut
menyusul bermunculannya televisi-televisi swasta. RCTI mulai mengudara November
1988. Namun, ia nanti melakukan siaran bebas pada akhir 1991. Era 2000-an
muncul banyak tv swasta. TV kabel kemudian marak di Minahasa. Sinetron yang
bercerita tentang cinta, perselingkuhan, perebutan harta dan dinamika kehidupan
ibu kota
menjadi santapan harian warga Minahasa.
Radio juga menjadi media anak muda Minahasa mengekspresikan
kemudaanya. Radio Memora FM dikenal anak-anak muda Kota Manado hingga pelosok
tanah Minahasa sebagai radio yang menyajikan informasi dan hiburan bagi mereka.
Penyiar radio ini fasih bicara “loe”, “gue”, atau kata-kata dan kalimat logat Jakarta. Anak-anak putih
abu-abu atau kuliahan menjadikan radio Memora ini sebagai refrensi musik dan gaya hidup terbaru.
Greenhill Weol, penyair dan director Mawale
Cultura Center
mengenang gaya
hidup anak muda di awal 1990-an, waktu itu dia masih SMA. Sebuah puisi
berbahasa Melayu Manadonya berjudul “Retro Epic”, menyebut radio nama radio Memora.
Torang ley blum
bawa-bawa hp
So mujur tu ada telpon
ruma
Kalo perlu kurang cari
saratus
Kong lari-lari ka
telepon umum
For mo telepon
kape-kape Memora
Itu komang torang
sorasa
Ali Swastika editor pada Newsletter Kunci menulis perubahan gaya hidup
pada anak muda di Indonesia
akibat pengaruh budaya pop ala ibu kota, Jakarta. Anak muda kota, tulis Swastika,
selalu punya cara untuk tampil beda. Biasanya, itu ditiru dari tampilan gaya hidup para selebritis
yang ditayangkan di televisi atau majalah. “Dan bahasa, salah satu hal yang
akan memberikan ciri khusus pada pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam
berbicara adalah salah satu dari usaha anak kota untuk memberi citra tertentu dari
penampilannya,” tulis Swastika.
Tahun 1977 terbit majalah remaja pria, Hai. Nama yang dikenal
publik di majalah itu, Arswendo Atmowiloto. Ia adalah penulis dan wartawan yang
aktif di berbagai majalah dan surat
kabar.
Pembaca majalah Hai
adalah remaja pria. Setiap terbitannya memuat dinamika dunia dan gaya hidup remaja. Mulai dari musik, film, pendidikan, tempat
nongkrong, fesyen, teknologi, olahraga, psikologi, pendidikan seks, dan tentu
saja cerita pendek dan komik.
Di majalah Hai rutin
dimuat cerita serial Lupus karya Hilman
Hariwijaya. Lupus, tokoh bergaya slenge’an,
gondrong dengan jambul di bagian depannya. Bercelana jeans, kaos oblong,
kadang-kadang mengenakan kemeja yang tidak dikancing dan kedodoran. Permen
karet yang dibuat balon kecil di mulut tak pernah ketinggalan. Sepatunya kets
dan senang dengan sepeda. Popularitas Lupus makin melejit ketika ia
dilayarlebarkan. Bintang Lupusnya Ryan Hidayat dan pacarnya Popi, dibintangi
Nike Ardile. Mereka, kemudian menjadi artis yang mati muda.
Sebelum Lupus ada
film remaja lainnya yang juga top di layar lebar, Catatan si Boy. Bintangya Ongky Alenxander. Boy anak orang kaya,
Lupus anak pengusaha katering. Dua film remaja ini menggambarkan gaya hidup anak remaja ibu kota di masa itu, akhir 1980-an.
Lupus dan “Catatan si Boy juga memberi kita
gambaran bagaimana anak kota
menghabiskan waktu luang: clubbing di
tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya,” tulis Swastika.
Novel dan film Lupus
sangat khas dengan bahasa prokem remaja. Kata “gua” untuk menyebut diri dan
“elu” untuk lawan bicara menjadi kata ganti diri khas Lupus.
”Yo-i! Kalo bergaul sama kelasnya Gusur dan Lupus, mana lo
berkembang? Gue baru aja ditelepon Nadya.”
“Nadya mana?” tanya Boim bloon.
“Nadya mana lagi…Nadya Hutagalung, so pasti! Dia mau ngajak
gue jadi VJ di MTV.”
Boim terperangah. Mulutnya sampe menganga.
Dialog itu dapat dibaca di Lupus seri “Kutukan Bintik Merah”
terbitan Gramedia, Jakarta
tahun 1998.
Generasi kelahiran pertengahan 1970-an dan awal 1980-an
ingat betul cerita dan tokoh Lupus bikinan Hilman itu. Saya menulis status di
Facebook, “Ada
yang masi inga deng novel atau Film Lupus?” Muncul komentar:
“Lupus... ! gula-gula goro denga jambul muka belakang...!!”
kata Iezha d'Minahasa. Kata Iezha lagi, “lupus itu karakter yang kompleks dalam
kemasan yang sederhana...!!konyol n ceplas ceplos tapi kadang berbobot,
imajinatif. Hilman seperti mengadopsi karakter Lupus dari kebiasaan luar,
karena sosok lupus, kalau dalam konteks anak muda ibukota terkesan baru..!!
makanya jadi trendsetter..!!“
“LUpa PUlang Skolah,
hehe, film anak skolahan doeloe pak”, komentar Ady Ras Hannas
“Ada,
ya. Yang qta ingat gaya
rambutnya yang panjang... Deng lengan baju sekolah ja kase lipa...” kata Sofie
Paat.
Lalu, Jumat, 27 Januari 2012 tanpa sengaja saya membaca
sebuah cerita bersambung di harian Manado Post berjudul “Temanku Hantu”.
Pengarangnya Tika Muchtar, siswi SMAN 1 Airmanadidi, Minahasa Utara.
Dialog-dialognya kental bahasa gaul kosmopolitan Jakarta. Mirip dialog-dialog dalam Lupus.
“Kenapa sih, nggak’ percaya amat kalo gue hantu!” Ucap
Fedora.
“abisnya loe tuh aneh!”
“oh iya…kenapa sih loe tuh nggak’ punya teman sama sekali di
sekolah.”
“gue lebih suka sendiri. Egh tapi kok loe tahu”?
Logat gaul Jakarta itu ada di
halaman “Road to School” Manado
Post. Koran ini bagian dari Jawa Post Group, sebuah koran yang punya pembaca
cukup banyak di Minahasa dan Sulawesi Utara. Sementara penyiar-penyiar radio
swasta bersegmen remaja, meski terkesan dipaksa, menyapa pendengar remaja di
kamar kost atau di angkot dengan “loe”, “gue”, “nggak”, “capek deh.”
“Harus diakui, bahasa anak muda Jakartalah yang selama ini
mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia,” Swastika menyimpulkan.
Swastika juga menambahkan, proses menyebarnya bahasa prokem Jakarta itu adalah melalui media massa
yang kebanyakan berkedudukan di Jakarta.
Jakarta, sebagai pusat kekuasaan dianggap
rujukan banyak hal, termasuk gaya
berbahasa dan berbusana. TV dan radio,
menurut Swastika telah membuat logat Jakarta
menjadi logat yang dianggap paling keren dan enak didengar dan diucap oleh
anak-anak muda Indonesia.
Radio-radio remaja yang dominan dengan hiburan musik, penyiar-penyiarnya
berbicara dalam dialek yang sama, dialek Jakarta.
“Seola-olah, kalau tidak memakai gaya
Jakarta, itu bukan gaya anak muda,” tandas Swastika.
TANGGAL 20 JANUARI
1869, terbit sebuah koran berbahasa Melayu di Tanawangko, sebuah wilayah
pesisir pantai Manado.
Nama koran itu, Tjahaja Sijang. Tagline
edisi pertamanya tertulis “Kertas
Chabar Minahasa”. Pelopornya adalah Nicolaus Graafland, seorang zendeling
utusan NZG yang kala itu bekerja sebagai guru di sekolah zending di sana.
Graafland lahir
pada 2 Maret 1827 di negeri Belanda. Ia belajar teologi di Rotterdam. Kemudian diutus oleh NZG,
pertama-tama sebagai penginjil di Sonder, Minahasa, kemudian menjadi guru. Dia
pertama kali datang Jakarta pada tanggal 8 November 1848. Pada 16 Maret 1851 ia tiba di Sonder dan
segera setelah itu membuka sekolah guru. Murid pertamanya berjumlah 4 orang. Pada tahun 1854 sesudah libur, ia bertugas di
Tanawangko, sekolah guru itu dipindahkannya kesana.
Di
Tanawangko, pada tahun 1862 Graafland mulai
mempersiapkan media terbitan untuk kepentingan misi dan pendidikan bagi
orang-orang Minahasa. Edisi perkenalan Tjahaja
Sijang terbit September tahun 1868. Nanti mulai Januari tahun 1869 terbit
perbulan secara rutin. Bahasa yang digunakan dalam setiap terbitan adalah
bahasa Melayu.
Tahun 1983,
seorang dosen Fakultas sastra Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, Geraldine
Ivonne Jane Manoppo-Watupongoh menyelesaikan disertasi yang berjudul Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada abad ke-19. Watupongoh
meneliti tentang penggunaan bahasa Melayu dalam surat kabar terbitan tersebut.
Para zendeling yang
menyebarkan agama Kristen di Minahasa dihadapkan dengan persoalan bahasa.
Watupongoh menuliskan, waktu itu mereka harus memilih satu dari tiga bahasa
yang akan digunakan untuk penginjilan: bahasa Minahasa, bahasa Belanda atau
bahasa Melayu. Memilih bahasa Minahasa, agak sulit mengingat keberagaman dialek
dan ragam di masing-masing subetnis. Memilih bahasa Belanda juga tidak mungkin.
Pilihan jatuh pada bahasa Melayu, yang sudah menjadi lingua franca di nusantara sejak lama.
“Sebagai pertimbangan psikologis politis, Belanda
berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dan Minahasa yang berbeda kedudukan dan
bahasa, lebih menguntungkan bila digunakan bahasa yang ketiga yang tidak
dikuasai oleh kedua belah pihak oleh karena dalam berbahasa daerah, Belanda
dapat membuat kesalahan, sedangkan di pihak Minahasa, dengan berbahasa daerah
ia akan menutup diri bagi Belanda,” Watupongoh menyimpulkan alasan para
zendeling memilih bahasa Melayu.
Sekolah-sekolah zending, guru-guru, Tjahaja Sijang dan terbitan lainnya yang berbahasa Melayu telah
berperan dalam memasyarakatkan bahasa Melayu di kalangan orang-orang Minahasa.
Bahkan, dalam sebuah edisi, disebutkan koran ini telah dibaca oleh orang-orang
yang berada di luar Minahasa, seperti Makassar, Palembang, Kupang, Babau,
Oisappe, Ambarawa, Gorontalo hingga Surabaya.
Tentang maksud penerbitan koran ini Graafland menuliskannya
pada edisi perdana, 20 Januari 1869:
”Pada menjatakan gunanja kertas chabar ini pada segala guru.
Adapun kertas chabar ini berguna bagi samowa orang jang hendak bertambhakn
pengetahuawannja, tagal itu terlebih pula pada segala guru jang yang harus
bertambah-tambah pengatahuwannja pada sedekala waktu sopaja marika itu boleh
hentar orang dan anak-anak dan bertambahkan terang antara kaum.”
Harry Kawilarang, seorang mantan wartawan dalam artikelnya Sejarah Singkat Pertumbuhan Bahasa Indonesia
Melalui Alkitab memuji guru-guru asal Minahasa lulusan sekolah-sekolah guru
zendeling. “Proses bahasa Indonesia berkembang melalui guru-guru Minahasa
jebolan sekolah guru di Minahasa sejak pertengahan abad ke-19,” tulis
Kawilarang.
Tapi Kawilarang tidak teliti. Sesungguhnya, bahasa yang digunakan
oleh guru-guru Minahasa waktu itu adalah bahasa Melayu, bukan (belum) bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia jelas nanti ada ketika ditetapkan di batang tubuh UUD 1945,
bersamaan dengan kelahiran negara Indonesia.
Mengenai ragam bahasa Melayu yang digunakan di Tjahaja Sijang, Watupongoh, menyebutkan
tiga ragam bahasa, yaitu ragam Melayu Gunung, ragam Melayu Pasar dan ragam
Melayu Campuran.
Bahasa Spanyol dan Portugis cukup memengaruhi pembentukan
bahasa Melayu ala Tjahaja Sijang.
Serapan dari bahasa Portugis, misalnya “roda”, “somber”, “kintal”, “kadera”,
“medja.” Dari Bahasa Spanyol, “peda”, “maradju”, “fresco”, “furu-furu”,
“horas”. Sapaan untuk anak perempuan dan laki-laki juga diserap dari bahasa
Portugis, misalnya “nona” untuk anak perempuan, “sinyo” untuk anak laki-laki,
dan nyonya besar disebut “nyora.”
Selain bahasa Portugis dan Spanyol, juga diserap bahasa China,
misalnya “kongsi” dan “top”. Bahasa daerah tetangga, seperti Ternate dan Galela
tidak ketinggalan. Misalnya, yang diserap dari bahasa Ternate, “gonone, “tusa”,
“dodoku”, “guhi”, “paniki”, “songara”, “ngana”, dan lain sebagainya. Bahasa
Galela misalnya “gomala”, “deho”,
“rica”, “gomutu”
Pantasan saja, orang tua Minahasa dalam ungkapannya kepada
anak-anak memakai kalimat, “Eh, Alo, jang duduk di meja ngana, nanti ngana pe
panta mo ba luka.” Atau, “Kalo kerja, jang suka mamaraju, soe tu dia.”
OKTOBER 1928. Di
depan Gedung Gemeente Bioscoop, Manado (sekarang
Bioskop Presiden di Pasar 45, Manado)
masyarakat dan Pemuda berkumpul. Di antara kerumunan banyak orang itu, seorang
perempuan muda bernama Sofie Kornelia Pandean dengan berani tampil ke muka ikut
membacakan hasil kongres pemuda di Batavia.
Ia satu-satunya perempuan, tiga temannya yang lain laki-laki. Waktu itu usianya
baru 17 tahun. Di sekitar kerumunan itu, tentara Belanda berjaga-jaga.
Sudah menjadi resiko, Pandean akhirnya ditahan oleh tentara
kolonial Belanda. Tapi, lantaran pamannya seorang jaksa, jadi dia bisa
dibebaskan dengan segera.
Di Batavia, seorang perempuan Minahasa lainnya, pada tanggal
27-28 Oktober tahun yang sama hadir pada kongres Pemuda ke-II yang dilaksanakan
di gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplesin Noord, Batavia. Perempuan muda
itu bernama Johana Masdani-Tumbuan. Waktu Kongres Pemuda ke-II usianya baru
memasuki 18 tahun. Ia lahir 28 November 1910 di Amurang, Minahasa Selatan.
Kongres Pemuda inilah yang mengikrarkan antara lain bahasa Indonesia sebagai
bahasa bersama.
M.C. Ricklefs dalam Sejarah
Indonesia
Modern 1200-2008 (2008) menulis, sejarah bahasa Indonesia bermula dari
bahasa Melayu. Proses sehingga bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Indonesia,
secara singkat dijelaskan Ricklefs, ini terkait dengan semakin berkembangnya
kesastraan baru di masa itu yang didasarkan pada bahasa Melayu sebagai lingua franca di nusantara sejak
berabad-abad sebelumnya. Kenapa bahasa
Melayu yang dipilih, menurut Ricklefs, “…bahasa itu bukan bahasa Jawa sehingga
tidak membawa implikasi dominasi suku Jawa.”
Kongres Pemuda ke-II 1928 di kemudian hari dirujuk sebagai
sejarah nasionalisasi bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. “Satu bahasa, Bahasa
Indonesia,” begitu para pemuda berikrar di masa itu. Bahasa Indonesia yang
dimaksud, jelas adalah bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di nusantara.
“Tetapi bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu, dengan arti
bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangannya, bahasa Indonesia mempunyai
penemuan-penemuan dan sejarah yang tersendiri,” tulis Ajip Rosidi dalam Kapankah Kesustraan Indonesia Lahir?. Rosidi adalah
mantan wartawan cum sastrawan di era 1950-an.
Rosidi menulis itu ketika ia sedang membahas tentang
kelahiran kesusasteraan Indonesia.
Di satu pihak adalah fakta sejarah bahwa bahasa Indonesia bermula dari bahasa
Melayu, namun, di lain pihak, secara politis, bahasa Indonesia adalah bahasa
dari sebuah negara bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Rosidi menyebut Hang Tuah dan Sejarah Melayu, buah tangan Radja Ali Hadji, Hamzah Fansuri, para
pengarang Melayu itu untuk membandingkan dengan karya yang lahir era pra
Indonesia dan era Indonesia sebagai negara.
“Setelah bahasa Indonesia tumbuh dengan pesat, bahasa Melayu
yang lain terus juga hidup di wilayah Melayu (Riau, Sumatera Timur) dan di
Semenanjung ia mempunyai pertumbuhan dan perkembangan tersendiri pula, yang
oleh para penelaah sastra (baik di Indonesia maupun di Persekutuan Tanah
Melayu) dipisahkan dari pertumbuhan bahasa dan sastera Indonesia,” urai Rosidi.
Rosidi mengutip artikel Umar Junus yang dimuat pada Majalah Medan Ilmu Pengetahuan tahun 1960 untuk
memperkuat argumennya. Junus berkesimpulan bahwa antara “sastera Melayu” dan
“sastera Indonesia”
masing-masing berbeda. Sastera Indonesia
nanti ada setelah bahasa Indonesia ada, dan itu merujuk pada ikrar para pemuda
dalam Kongres Pemuda ke-II Oktober 1928.
“Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928 untuk bertukar nama
dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia,”
tulis Junus seperti dikutip Rosidi.
Rosidi sendiri menegaskan, bahasa Indonesia itu nanti ada
ketika ada pengakuan terhadap bahasa tersebut, yaitu pada Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Namun, seperti pendapat umum, dia mengakui juga bahwa bahasa
Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. “Tetapi, juga dengan lahirnya bahasa Indonesia,
bahasa Melayu tidaklah mati atau ‘berakhir’,” tegas Rosidi.
Bahasa Indonesia lahir dari sebuah proses yang politis.
Lantaran, ia ada di zaman penjajahan. Kolonialisme adalah masalah bagi
bangsa-bangsa di nusantara di zaman itu. Kongres Pemuda Oktober 1928, menjadi
ajang perjumpaan aspirasi yang sama dari bangsa-bangsa yang beragam di
nusantara. Prosesnya politis, dan inilah cara kaum muda di masa itu berjuang
membebaskan kaumnya dari penjajahan. Apa yang menjadi simbol perlawanan itu?
Ya, penegasan semangat yang bersatu: “Satu Tanah Air , Satu Bangsa, dan Satu
Bahasa”, semuanya menunjuk pada yang dulunya hanya sebagai istilah etnografis,
yaitu Indonesia.
“Pada pendapat saya, kesadaran kebangsaan itulah yang
menjadi bapak yang sah dari kelahiran bahasa Indonesia yang beribukan bahasa
Melayu itu. Kesadaraan kebangsaan yang saya maksudkan ialah kesadaran
kebangsaan Indonesia, karena itu bahasa Melayu yang tumbuh serta berasal dari
bahasa Melayu yang sama juga tapi tidak berbapakan (kita teruskan saja perumpaan
ini) kesadaran kebangsaan Indonesia, bukanlah bahasa Indonesia,” Rosidi
menyimpulkan.
Rosidi memang menyadari kelahiran bahasa Indonesia sebagai
proses politis, meski ia agak berhati-hati. “Dengan dasar pikiran seperti itu
bukanlah sekali-kali maksud saya hendak memperpolitik kesusasteraan atau
mencapur-baurkan persoalan kesusteraan dengan persoalan politik, melainkan
karena memang persoalan tersebut tidak bisa dipandang secara lain, lantaran
nama ‘Indonesia’
sendiri pertama-tama adalah suatu pengertian politik. ‘Indonesia’ sebagai nama
sebuah negara dan suatu kesatuan geografis ataupun administrasi baru setelah
ada pengertian ‘Indonesia’ yang berdasarkan suatu cita-cita dan kesadaran
kebangsaan (nasionalisma) yang subjektif dan bersifat politis, yaitu lahir dari
perasaan bangsa yang merasa tidak menjadi tuan rumah di tanah airnya sendiri
sebagai akibat cenkeraman penjajahan Belanda.”
Rosidi atau sastrawaan pergerakan lainnya tidak selamanya
benar. Di Minahasa misalnya – atau juga di daerah lain di masa kolonial –
pilihan kolonial untuk menggunakan bahasa Melayu tidak hanya alasan karena
bahasa ini sudah dikenal umum. Namun, ini terutama di belakangnnya ada maksud
politik. Bahasa adalah alat komunikasi politik. Sederhananya begitu. Ya, agar
perintah, kebijakan dan doktrin kolonial dapat dengan mudah disampaikan dan
diterima, tentu bukan dengan bahasa Belanda, tapi bahasa Melayu. Bahasa daerah,
bukan cuma sulit dipelajari oleh aparat-aparat kolonial, namun, bahasa daerah
setidaknya menyimpan pengetahuan dan spirit masyarakatnya. Belanda takut jangan
kemudian timbul perlawanan. Bahasa Melayu sudah umum, dan dengan demikian
penaklukan wacana dan fisik oleh kolonial terhadap pribumi menjadi muda.
Demi maksud itu, pemerintah kolonial bahkan mendirikan Commissie voor de Volkslectuur (Komisi
untuk Bacaan Rakjat) pada tanggal 14 September 1908. Ia semacam perusahaan
penerbitan dan percetakan milik negara pemerintah kolonial. Pada 22 September
1917 ia berubah nama menjadi “Balai Poestaka." Balai ini didirikan untuk
mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan
bahasa Madura. Salah satu Novel berbahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala
itu adalah Siti Noerbaja karangan Marah Roesli,
seorang penulis dari Minangkabau. Balai ini memiliki peran besar dalam
mempopulerkan bahasa Melayu, juga Jawa, Sunda dan Melayu.
Benny H. Hoed, Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim
dalam buku bersama mereka Bahasa Negara
Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa: Kajian Semiotik atas Teks-Teks Pidato Presiden
Soeharto Dan Selebaran Gerakan Mahasiswa (2004) mengkaji secara kritis
bahasa Indonesia di ranah politik. Menurut mereka, kesadaran pemerintah rezim Orde Baru Soeharto menggunakan bahasa
sebagai alat kepentingan kekuasaannya telah muncul sejak awal tahun 1970-an.
Ini menunjuk pada Amanat Kenegaraan hari kemerdekaan Indonesia tahun 1972. Waktu itu,
Soeharto mengungkapkan sikapnya terhadap bahasa Indonesia sebagai kunci
keberhasilan pembangunan.
Hoed dan kawan-kawannya menegaskan, bahwa pada saat Kongres
Pemuda Oktober 1928 sebenarnya belum ada pembicaraan tentang bahasa negara
karena Hindia-Belanda masih merupakah koloni Belanda. Namun, dengan
dijadikannya bahasa sebagai hal penting dari hasil kongres itu – meski seperti
sudah diketahui bahwa teks itu adalah rumusan Yamin – ini berarti bahasa adalah
alat politik. Sepuluh tahun setelah kongres pemuda itu, di Solo dilaksanakan
Kongres Bahasa Indonesia I.
“Dari keputusan KB I terlihat betapa kuatnya upaya pembakuan bahasa Indonesia,
seperti menyusun tata bahasa baru
(gramatika) dan meminta dukungan pada guru, dan membuat bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi di berbagai bidang, seperti politik (di Volksraad),
pendidikan, media, dan bahkan
perundang-undangan.”
Ada
sesutu yang agak kontadiktif terkait dengan hal bahasa di masa itu, sebagaimana
diungkap Hoed dan kawan-kawan. Menurut mereka, di masa itu justru sejumlah
tokoh mengemukakan pentingnya menguasai bahasa Belanda sebagai “gerbang menuju
Barat.” Namun pendapat ini tidak didukung oleh pemerintah Belanda. Alasan
pemerintah Belanda, bahasa Belanda hanya untuk elit pribumi. Untuk rakyat
banyak, dibiarkan menggunkan bahasa Melayu. “Pemerintah kolonial pada masa itu menganggap bahwa penguasaan bahasa
Belanda oleh pribumi berbahaya karena akan lebih muda mendorong pertumbuhan
nasionalisme dibandingkan dengan bahasa Melayu,” tulis Hoed dan kawan-kawan.
Tahun 2009 saya mendapat teks
lengkap hasil Kongres Pemuda ke-II dari Matulandi Supit, Ketua Majelis Adat
Nusantara Sulawesi Utara. Di paragraf pertama tertulis:
“Kerapatan Pemoeda-Pemoeda
Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang
berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen Bond
(Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong
Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.”
Perhatikan kata “kebangsaan”
yang menunjuk pada perkumpulan-perkumpulan pemuda yang disebut itu. Jadi, yang
berkumpul itu adalah pemuda-pemudi dari kelompok-kelompok gerakan yang bergerak
dengan semangat kebangsaannya masing-masing.
Lalu, salah satu hasil, yang
entah bagaimana prosesnya sehingga kemudian disebut sebagai “Sumpah Pemuda”,
adalah soal bahasa. Lengkapnya rumusan itu berbunyi begini:
“Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Rumusan ketiga ini mengungkapkan
semangat zamannya. Para pemuda yang berkongres
berada di tengah zaman penjajahan, zaman di mana butuh sikap dan semangat.
“Mendjoendjoeng” jelas berbeda dengan “bersoempah.”
Teks itu adalah rumusan Mohammad Yamin yang hadir dalam
kongres tersebut atas nama Jong Soematra. Ia di masa itu tercatat sebagai
mahasiswa pada Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Yamin memimpin sidang pertama.
Ia membawakan makalah dengan judul “Persatoean dan Kebangsaan Indonesia.” Parakitri Tahi Simbolon,
yang menulis Menjadi Indonesia, buku
setebal 846 halaman yang terbit tahun 2006, mencatat adanya perubahan orientasi
berpikir Yamin dibandingkan ceramahnya pada Kongres Pemuda 1 tahun 1926. Pada
kongres pertama itu, bagi Yamin bahasa Melayu adalah bahasa kebudayaan Indonesia,
belum sebagai bahasa persatuan yang politis. Sementara pada Kongres ke-II ini
bagi Yamin bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan.
“Yamin berpandangan bahwa masa depan Indonesia akan direkatkan oleh satu bahasa,
yakni bahasa Indonesia,”
begitu artikel di situs www.tokohindonesia.com
menulis biografi Yamin. Wajar saja kalau Yamin kemudian yakin pentingnya bahasa
di era penjajahan itu. Ia seorang sastrawan. Enam tahun sebelumnya, Yamin
menulis puisi, “Tanah Air”. Tanah airnya adalah Sumatera. “Tanah Air”, adalah
puisi berbahasa Melayu.
Namun Wikipedia menyebut
Yamin sebagai “pencipta mitos” yang utama kepada Presiden Sukarno. Yamin
“pencipta mitos”?
Andreas Harsono, wartawan yang bekerja di Yayasan Pantau dan
giat melakukan kajian mengenai nasionalisme meminjam pendapat sejarawan Asvi
Warman Adam menyebutkan, salah satu orang yang banyak menciptakan "sejarah
yang bercorak nasional" alias propaganda adalah Muhammad Yamin.
Yamin, menurut Harsono, menciptakan mitos, bahwa Indonesia
dijajah Belanda 350 tahun dan tentang Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit yang
bikin Sumpah Palapa. Yamin, menjadikan kemampuan sastranya yang berdasarkan
imajinasi untuk mengkonstruksi wacana atau propaganda tentang sejarah Indonesia.
Parahnya, di tahun 1950-an, Yamin jadi Menteri Pendidikan.
“Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya. Artinya,
kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada
fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi.
Geli tapi juga sedih,” tulis Harsono.
Gawat, teks hasil Kongres Pemuda ke-II dirumuskan oleh
seorang “pendongeng”.
“Terinspirasi oleh Sumpah Palapa Gaja Mada, Muhammad Yamin
membuat konsep ikrar Sumpah Pemuda untuk dibacakan sebagai hasil Kongres Pemuda
II,“ tulis tokohindonesia.com.
Pada saat yang sama, Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya
yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Sajak-sajaknya waktu itu sudah bernuasa “Indonesia”
yang diimajinasikan sebagai yang tak terpisah dengan Melayu. Padahal, budaya
nusantara sangat beragam. Simak penggalan sajaknya ini:
Adapun kami anak
sekarang
Mari berjejrih
berbanting tulang
Menjaga kemegahan jangalah
hilang,
Supaya lepas ke padang yang bebas
Sebagai poyangku masa
dahulu,
Karena bangsaku dalam
hatiku
Turunan Indonesia darah
Melayu
Suatu hari di akhir Januari 2012, di dalam mobil Avansa, Fahri Salam, wartawan yang
tinggal di Jakarta, berujar kepada saya dengan sinis, “Aneh ya, kongres kok
disebut Sumpah Pemuda?” Dia bicara soal Kongres Pemuda itu yang dalam bahasa
sekarang umum disebut Sumpah Pemuda. Lantaran “Sumpah Pemuda” itulah sehingga
bahasa Melayu diindonesiasisasi.
Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Sekitar 17 tahun
dari pembacaan ikrar pemuda tersebut – yang teksnya dirumuskan oleh seorang
pembuat mitos – bahasa Indonesia
dicatumkan dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945, pasal 36: “Bahasa Negara
ialah bahasa Indonesia.”
Namun, bahasa Melayu benar-benar menjadi “Indonesia” nanti pada tahun 1972.
Yaitu ketika pada 23 Mei 1972 terjadi kesepakatan antara Menteri Pelajaran
Malaysia Tuan Hussein Onn dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
masa itu, Mashuri. Kedua pejabat yang mewakili negara masing-masing bersepakat
melaksanakan apa yang disebut “Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan”. Di
Indonesia, istilah yang umum adalah “EYD” kependekan dari istilah yang dipakai
dalam kesepakatan itu.
Tanggal 16 Agustus 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan
Kepres Nomor 57 Tahun 1972 tentang “Peresmian Berlakunja ‘Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan’". Mulai saat itu dipopulerkan istilah
“Berbahasa Indonesia
yang Baik dan Benar”.
Cendekiawan yang
berperan penting dalam memasyarakatkan EYD adalah Jusuf Sjarif Badudu.
Laki-laki kelahiran Gorontalo, 19 Maret 1926 itu seorang pakar bahasa Indonesia
dan Guru Besar Linguistika pada
Universitas Padjadjaran. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai
pembawa acara Pembinaan Bahasa Indonesia antara tahun 1974 sampai 1979 di TVRI.
Yus Badudu, begitu ia dikenal popular, pernah mengkritik
cara berbahasa Soeharto. Soeharto sering menyebut sufiks “kan” dengan “ken” dalam nada medok Jawa.
Akibat kritik itu, program acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang dibawakan oleh
Badudu dihentikan.
TAHUN 2003,
seorang sastrawan Minahasa, Fredy Wowor menulis puisi berbahasa Melayu Manado,
“Menifesto Minahasa.” Ini puisi pertamanya yang berbahasa Melayu Manado:
Indonesia bukang bangsa
Qta pe bangsa Minahasa
I Yayat U Santi!
Ia kemudian bersama Greenhill Weol, Candra Rooroh, Alfrits
Oroh, Charlie Samola, Andre GB, giat menulis dan menerbitkan buku-buku puisi
berbahasa Melayu Manado. Menurut Fredy, ini sebagai salah satu cara mereka
untuk mempopulerkan bahasa Manado.
Fredy adalah seorang sastrawan dan budawayan Minahasa. Ia lulusan Fakultas
Sastra Unsrat, kajian bahasa Indonesia.
Wowor mengaku sudah
menulis puisi dalam bahasa Melayu Manado sejak tahun 2003. "Tahun 2003 qta
so batulis mar nanti kaluar buku torang sebagai sebuah gerakan bersama sastra
bahasa Malayu Manado tahun 2005," balas Fredy melalui Blacberry Massage ketika saya tanya kapan mereka mulai menulis
puisi dalam bahasa Melayu Manado.
Menulis dalam bahasa Melayu Manado, bagi Fredy dan
kawan-kawannya tidak hanya sekadar untuk menulis dalam variasi lain, selain
bahasa Indonesia.
Namun, ini soal identitas. “Bahasa adalah pintu maso untuk identitas. Batulis
pake bahasa Manado
adalah awal for pahami jati diri. Lewat bahasa Manado torang bisa menggali ingatan kolektif
untuk lebih jauh lagi memahami bahasa tana dan cara berpikir torang sebagai
sebuah pribadi bahwa torang adalah turunan Karema-Lumimuut-Toar. Puisi adalah
pernyataan sikap sebagai satu identitas : masing-masing ada depe tiap-tiap.
Untuk memahami torang sebagai orang Minahasa, orang laeng musti memahami dahulu
bagaimana torang memandang orang laeng,” jawab Fredy lagi.
Christofel Manopo, seorang lulusan sastra Jerman pada
Fakultas Sastra Unsrat Manado, beberapa tahun ini juga rajin menulis puisi.
Banyak puisinya dalam bahasa Melayu Manado. Beberapa buku puisi sudah dia
terbitkan.
“Karena bahasa Melayu Manado qta pe bahasa pertama. Dapa
rasa lebe jujur n langsung. Maar sebnarnya kalu qta rasa depe feel dapa di
bahasa itu, ya qta tulis dalam itu bahasa. Kebtulan qta multilingual jadi banya
opsi,” sms Christofel kepada saya.
Saya tanya dia soal alasan menulis puisi dalam bahasa Melayu Manado.
Di masyarakat umum, bahasa Melayu Manado, selain sebagai
bahasa komunikasi sehari-hari, juga banyak ditemukan dalam syair lagu-lagu pop Manado. Penyanyi seperti, Connie
Maria Mamahit dan grup musik seperti Makantar, serta banyak lagi lainnya, suka
menyanyikan lagu-lagu pop dalam bahasa Melayu Manado. Connie Maria Mamahit
pernah menyanyikan lagu “Nyanda Mo Balaeng”.
“Lantaran ngana
cuma dengar orang
bacarita
dorang nyanda kaseh
nyanda suka torang dua
baku saying”
Di Kota Manado misalnya, lagu-lagu dalam bahasa Melayu
Manado dapat didengar di angkot-angkot. Mulai dari jenis lagu pop sampe rap,
sering menjadi hiburan para sopir untuk penumpangnya.
Situs www.minahasajo.info
mencatat, trend lagu berbahasa Manado
mulai tampak di paruh terakhir dasawarsa 70-an. Penyanyi yang populer waktu itu
antara lain Vivi Sumanti dan Frans Daromes. “Vivi Sumanti punya satu album
diiringi kolintang, yang salah satu lagunya kerap membuat orang tua yang
mendengar tersipu-sipu.”
Lirik lagunya lucu,
“Kita lia-lia, om
lia-lia-lia,
dia pegang kita punya
kita lei ba pegang...
“Om om om, ka kanan
sadiki,
om om om, kakiri
sadiki”
Vivi Sumanti artis top di era 1970-an. Ia lahir di Minahasa.
Tempo terbitan 16 Maret 1974 menyebut
Vivi sebagai “biduanita genit”. Tempo
edisi itu memberitakan tentang sebuah acara Kawanua, di Jakarta. Vivi dan
sejumlah penyayi serta bintang film asal Minahasa hadir di acara itu. “Acara
malam gembira ini untuk memperkenalkan kesenian Minahasa kepada masyarakat
ibukota,” tulis Tempo mengutip F. Sumanti
seorang Laksamana Muda Laut masa itu, yang bertindak sebagai ketua panitia di
saat membuka acara.
Vivi lah yang mempopulerkan sampai ke Jakarta lagu berbahasa Melayu Manado “Sapa
Suruh Datang Jakarta.” Lagu ini berkisah kehidupan para perantau luar Jakarta melawan kejamnya ibu kota. Ini petikan lirik lagunya:
Hidup akan merana, Tinggalkan
kampung desa
dapatkan gubuk di kota,
Ado kasian ye
mama
Jauh-jauh merantau, mancari
hidup mama
nasib tidak beruntung,
Sapa suru datang Jakarte
Sapa suru datang
Jakarte, Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang
Bahasa Melayu Manado juga banyak digunakan dalam cerita
humor atau istilah orang Minahasa “grap-grap.” Di warung kopi, warung “cap
tikus”, perempatan jalan hingga di “dotcom”, cerita “grap-grap” berbahasa
Melayu Manado, ada. Ada
sebuah cerita humor yang umum di Minahasa. Ceritanya berjudul “Salah Sambung”:
Amper satu Indonesia
dapa virus mati lampu. PLN rupa hobi semati lampu, nda terkecuali di Utu pe
kampung, Utu so grel lantaran de pe TV ada rusak karena nih mati lampu-mati
lampu. Kong Utu ba telepon pa PLN mo ba klak.
Utu: Pak, kiapa ni lampu
mati-mati terus, so rusak ta pe TV satu. Ngoni kira murah tu TV itu? Ngoni mo
ganti itu?
Petugas: Maaf pak salah
sambung.
Utu: Bukang cuman TV,
kita pe lampu so berapa yang nda mo manyala, kulkas amper lewat. Ngoni kira tu
doi ja jatung dari langit mo beli tu barang-barang.
Petugas: Maaf pak salah
sambung, ini bukan PLN, ini PELNI pak…
(Oooppss Utu ta kage,
so batoreba salah sambung lei…)
Utu: Iyo, sama lei ngoni,
beli tiket jam 4 baru berangkat jam 10 malam …
Tahun 1981, FS. Watuseke, sejarawan Minahasa menulis di
Jurnal terbitan KITLV Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde sebuah artikel berjudul Het Minahasa of Manado-Maleis. Watuseke mengulas soal bahasa Melayu
Manado. Dalam tulisannya, dia
mencamtumkan contoh tulisan berbahasa Melayu Manado berbentuk cerita yang
didiktekan kepadanya oleh istrinya, W. B. Watuseke-Politton. Judul ceritanya
“Kita pe Tikus”. Dari ejaannya, dapat dipastikan cerita ini ditulis sebelum
tahun 1981. Berikut kutipan paragraf pertamanya:
“Tu Tikus itu kita
sajang skali. Skarang kua' bagini: Tempo dong kase pa kita tu barang pe katjiil
skali, kuruus lei. Deri kapala sampe diekor itang. Kong dia pe ekor lei pe alus
rupa lidi pe udjung. Dong kira tantu kita nemau piara pa dia deri dua djalan
lei dia mo hidup truus ka trada. “
Bahasa Melayu Manado, hingga hari ini masih sebagai bahasa
pergaulan sehari-hari masyarakat Minahasa dan Sulawesi Utara umumnya. Ia berusaha
merangkak dalam puisi-puisi, lirik-lirik lagu dan cerita “grap-grap.” Sementara
bahasa daerah yang banyak dialek dan ragamnya itu semakin hilang dari
keseharian. Nyong dan nona-nona Minahasa lebih suka “berbahasa Indonesia yang
baik dan benar” atau berbicara seenaknya dengan “loe”, “gue”, ketimbang
menyebut “kita”, sebagai “saya” atau “aku” dalam bahasa Melayu Manado atau
“ngana.” Bahkan semakin sunyi dalam percakapan sehari-hari kata-kata “nyaku”
dan “angko,” “aku” dan “kamu” dalam bahasa ibu Minahasa.
“Bahasa Minahasa misalnya. Bahasa yang ditinggal. Akankah
nasib bahasa ini berakhir seperti permainan tempurung?” tulis Sonny Mumbunan
dalam catatannya Minahasa dalam Tempurung
tahun 2008. Mumbunan adalah seorang intelektual muda asal Tonsea, Minahasa
Utara, doktor ilmu ekonomi dari Universitaet Leipzig, Jerman.
Orang-orang Minahasa mungkin perlu menonton lagi “Di Sekitar
Kita”, sebuah program acara berbahasa Melayu Manado di TVRI Manado yang rutin
siar di era 1980-an. Nama-nama tokoh seperti Mien, Kale, Kadi, Papa Nialo,
Rombe dan Bu Tahanusang akrab di kalangan orang Minahasa yang kebanyakan masih
menonton tv hitam putih masa itu. Setiap episodenya menampilkan tema-tema hidup
keseharian orang-orang biasa. Para pemerannya
lucu-lucu. Namun, ketika tv-tv swasta merajalela dan tv kabel menawarkan
pilihan siaran hampir tanpa batas, TVRI Manado kalah bersaing. Program acaranya
hilang dari layar-layar tv orang Minahasa. Pilihan program acara jatuh pada
sinetron dan telenovela serta berita-berita pertarungan politik di Jakarta yang diberitakan
oleh tv-tv swasta.