Kamis, 14 Juli 2011

Dari Waruga sampe Parigi

 Laporan: Denni Pinontoan
Beberapa rumah panggung di ujung Kelurahan Woloan, Tomohon, tampak masih sementara dibangun, yang lainnya sudah selesai. Tidak tampak kesibukan pagi itu. Cuma, jalan raya yang menghubungkan Woloan dengan pusat Kota Tomohon sudah ramai dengan lalu lalang mobil dan sepeda motor.
Mawale Movement yang terdiri dari Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Frisky Tandaju, Fredy Wowor dan saya sendiri, pagi itu (Senin, 8.03/2010), melewati kawasan pembuatan rumah tradisonal Minaahsa. Waktu itu. kami sedang dalam perjalanan untuk  melakukan ziarah cultural, dengan rute yang direncanakan Woloan, Tanawangko, Lelema dan ke Sonder melalui jalan lama dari Maruasey.
Beberapa menit dari kawasan itu, terdapat sebuah gereja yang berdiri megah dan anggun. Di gerdung gedung gereja itulah Jemaat GMIM “Ebenhaezer” Woloan beribadah, Menariknya, tepat di depan gedungnya terdapat sebuah waruga. Sangat sederhana waruga itu. Tidak tampak tulisan yang jelas ataupun hiasan seperti waruga-waruga di Airmadidi, Tonsea.  Kami termasuk beruntung. Karena di seberang jalan gedung gereja itu, Om Buce, kostor selaku kostor gereja sedang berdiri. Dia ternyata sedang membuang sampah-sampah dari gedung gereja.
Kami pun bisa leluasa masuk ke halaman gereja. Waruga tersebut agaknya memang diurus oleh warga. Menariknya, waruga itu memang berada di dalam halaman gedung gereja. Kata Om Buce, waruga di dalamnya terdapat jasad Dotu Supit. Sayang Om Buce tidak bercerita banyak soal siapa Dotu Supit itu.
Dari Woloan ke terus ke arah Tanawangko, melewati Tatara-tara, Lemoh, dan Tombariri, Ranotongkor. Jalannya memang hanya sekira 5 meter lebarnya. Sesekali kami melawati ruas jalan yang berlubang. Kiri dan kanan, tampak pohon kelapa, dan cengkih. Para petani sibuk dengan pekerjaannya. Hampir tidak terlihat lahan tidur. Di bagian Ranotongkor beberapa bangunan setinggi kira-kira sepuluh meter dibuat sebagai sarang Walet.
Di Desa Sarani Tumani, sebuah jembatan tua yang tidak dipakai lagi masih berdiri. Meski tiang-tiangnya tampak sudah miring, tapi tampak masih utuh, kecuali lantainya yang sudah tidak ada. Di kedua ujung jembatan tua itu berdiri bangunan. Di bagian Selatannya, sepertinya kantin, di ujungnya yang lain gedung semi permanen. “Pokoknya, kita tahu kamari orang, ni jembatan so ada. Nda tahu dari tempo apa dia ada,” ujar seorang lelaki berusia kira-kira 30-an tahun warga di situ.
Kami tidak mendapatkan informasi yang memuaskan dari beberapa orang yang kami temui, termasuk seorang lelaki kira-kira berusia 70-an tahun. Hukum tua, yang menurut mereka tahu sejarah jembatan itu dicari kesana kemari tak ditemukan. Sayang sekali, kami tak bisa menguak secuilpun perihal jembatan kuno tersebut.
Rombongan sepeda motor Mawale Movementpun tertarik pada sebuah waruga di depan balai desa yang belum selesai dibangun itu. Kamipun singgah. Seorang lelaki kira-kira berusia 40-an tahun sedang mencuci mobil pas di samping balai desa tersebut. “Nda tahu dotu sapa pe waruga itu. Cuma yang kita tahu waruga itu kurang da se pindah. Dia dari arah sana,” kata lelaki itu  sambil tanganya menunjuk ke sebuah lokasi perkebunan di belakang  balai desa.
Dugaan kami, waruga ini dipindahkan dari kampung lama desa tersebut. Bisa saja dia dotu yang mendirikan kampung itu, atau salah satu dari leluhur mereka. “Kiapa so banyak orang sini yang nda tahu depe sejarah benda-benda bersejarah di sini kang,” tanya Rikson. Sebuah pertanyaan yang memang butuh diskusi panjang, tapi menyiratkan sebuah persoalan kebudayaan Minahasa hari ini. Entah kepada siapa pertanyaan itu dituju, yang jelas kami sempat memperhatikan pertanyaan itu, tanpa mengeluarkan jawaban apa-apa. Mungkin, ziarah kultual ini sebuah proses mencari jawaban salah satu dari sekian banyak persoalan kebudayaan Minahasa hari ini.
Perjalananpun dilanjutkan. “Torang mo ka parigi (sumur) Pingkan deng batu Sumanti di Ranowangko,” ujar Bode. Ketiga sepeda motor yang kami tumpangi segera menancapkan gasnya menuju ke tempat yang Bode sebut. Suara deru sepeda motor kami terdengar seolah mengeluh. Entah apa isyaratnya.
Hanya sekira 10 menit kamipun sampai di salah satu lorong di desa Ranowangko. Dari mulut lorong itu terlihat sebuah waruga lagi. Kami terkejut, ternyata ada waruga di situ. Waruga itu berdiri pas di belokan lorong kecil menuju batu Sumanti. Waruga ini tu terletak di sudut sebuah kantin dan warung yang dikelolah oleh warga sekitar.
“Ini waruga Dotu Lokon. Kalo tu parigi Pingkan di belakang sini,” kata seorang lelaki berbadan “sehat”, sambil tangan kanannya menunjuk ke arah selatan. Dia bersama dua lelaki lainnya dan seorang perempuan yang mengelolah kantin dan warung itu. Mereka saat kami temui sedang duduk di dalam kantin. Mungkin baru selesai smokol “midal” (Mie Pedaal/Tinutuan campur Mie).
Waruga itu setinggi badan Bode. Bagian atapnya tampak sudah tidak asli. “Ini gubernur Worang da pugar dulu. Gubernur Worang kan dulu suka-suka tu barang-barang bagini,” ujar  Jan Rengkung, warga setempat yang dulunya sebagai aparat pemerintah desa. Kami pun memeriksa waruga itu layaknya seperti arkeolog-arkeolog saja.
Setelah itu, kami menuju ke parigi  Pingkan. Tanpa diminta Jan Rengkung bersedia mengantar kami ke parigi Pingkan yang Cuma berjarak 20 meter dari waruga itu. Di setapak menuju ke parigi Pingkan, seorang perempuan muda terdengar berbicara, “Oh, mo cari harta karun?” Frisky Tandaju tersenyum geli. Dalam hati, aku berkata, mungkin juga mereka berpikir kami sedang mencari jimat. “Iyo. Mo cari harta pengetahuan torang,” aku balas berkata spontan.
Parigi Pingkan tampak sederhana. Hanya berbentuk seperti sumur air lazimnya, kecuali di depannya ada sumur yang bikinan manusia dari semen. “Waktu zaman gubernur Worang, ini kurang da tambah (maksudnya, sebuah tempat penampungan air yang mengalir dari sumur Pingkan). Tu tangga ini lei da beking zaman itu. Tu depe air dari parigi ini, mo panas panjang, mo musim ujang, nda pernah kering,” ujar Rengkung menerangkan.
Menurut Rengkung, berdasarkan cerita di kampung ini, sumur tersebut terbentuk ketika suatu waktu kampung ini mengalami kekeringan karena musim kemarau berkepanjangan. Untuk mendapatkan air, maka si Pingkan, yang kemudian kawin dengan Matindas dari Mongondow itu menusukkan kerisnya di tempat itu untuk mendapat air. “Sampe sekarang air dari parigi ini ba bagitu trus. Nda pernah abis. Dulu tre ada orang-orang, kebanyakan dari Tomohon yang ja dating ambe air sini voor kata mo se bae saki. Maar lantaran katu so lebe Kristen, jadi so nyanda ada ja kamari,” kata Rengkung.
Tampaknya, warga sekitar parigi itu sudah menjadikan air sumur ini untuk mencuci pakaian dan air bersih. Di sebelah parigi ada sejenis pondok yang biasa dijadikan tempat mencuci pakaian. Bahkan, ketika kami ke situ tampak ada pakaian-pakaian yang belum selesai dicuci yang ditaruh di ember. Pipa berukuran kecil memotong sungai menuju ke rumah warga.
Seorang lelaki yang bersama-sama dengan Rengkung sempat bercerita mengenai sesuatu yang aneh di parigi itu. “Ada orang-orang sini yang sempat ba lia tu Pingkan sementara ba cuci di parigi itu. Kita lei pernah lia. Pingkan itu, nda talalu tinggi, maar putih kong vasung…Pantas katu tu Matindas ta gila-gila,” kata lelaki itu. Kamipun terperangah.
Sebuah kisah menarik yang melintas di antara udara Ranowangko yang semakin panas. Air mineral di botol plastik yang dicampur nutrisari, seteguk, dua teguk sudah diminum. Namun, kepuasan kami peroleh ketika bisa bertemu dengan orang yang masih tahu cerita sejarah, dan mendapat dokumentasi foto parigi Pingkan. Air sejuk dari parigi Pingkan lumayan menyejukan. “Kalo ja datang di sini musti ja ba cuci muka, supaya tu kuli jadi alus, sama deng Pingkan depe kuli putih,” ujar Rengkung antara serius dan bakusedu. Para bujang pun mengikutinya. Dan betul, mereka pun menjadi “cantik”.

0 komentar:

Posting Komentar