Rabu, 27 Juli 2011

Gereja Tua di Watumea: Kisah Sebuah Perjalanan Sejarah Kekristenan di Minahasa


Oleh Denni Pinontoan

Gereja Tua Watumea (Foto: Denni)
Gedung gereja itu terbuat dari kayu. Dibangun tahun 1868, ditahbiskan tahun 1872. Gereja tua di Watumea menyimpan banyak kisah, tentang hidup dengan Tuhan dan hidup berbudaya dalam sebuah lintasan sejarah.

Matahari sudah sangat miring ke barat. Hari memang sudah sore. Danau Tondano, dilihat dari pinggiran, sore itu memang tampak tenang. Eceng gondok yang menutupi bagian-bagian pinggiran, sekira 10-20 meter menutupi danau penuh legenda itu. Beberapa wanua di pesisir Danau Tondano sudah kami lewati. Semua sibuk mempersiapkan pernak-pernik paskah. Paskah tinggal beberapa hari.
Wanua Watumea, sore itu juga tampak sibuk. Di sebuah belokan wanua itu, tepatnya di salah satu perampatannya, sekelompok anak-anak dan pemuda sibuk bermain layang-layang. Sebuah gedung tampak menyolok berdiri. Bagi yang pertama ke situ, pasti tak dapat menduga, gereja yang terbuat dari kayu tersebut memiliki sejarah yang menarik untuk diketahui. Arsitektur gereja ini sederhana, tapi tetap masih berpola gereja-gereja Protestan Eropa.
“Maso kwa, ba lia di dalam,” ujar Christofel Pandelaki, Ketua Pemuda Jemaat GMIM “Galilea” Watumea mengajak  masuk ke dalam gedung gereja.
Kami pun masuk dalam gedung gereja. Melewati pintu gedung gereja yang tinggi. Daun pintunya terbuat dari kayu. “Tiang, dinding dan bagian-bagian lain gedung gereja ini terbuat dari kayu,” ujar Pandelaki menerangkan.
Di menara gerejanya bertengger “ayam Jago”. “Ayam jago” selain berfungsi sebagai penunjuk arah, sebagaimana di gereja-gereja lain, biasanya ini dipakai untuk maksud mengingatkan umat agar tidak seperti Petrus yang menyangkal Yesus. “Ini ciri dari gereja-gereja tua,” kata Pandelaki.
Di dalam menara itu ada lonceng juga sudah tua. Beberapa kursi rotan tempat duduk jemaat, menurut Pandelaki juga sudah tua. Tiang-tiang di dalam gedung gereja itu terbuat dari kayu. Kaca jendela berwarna-warni sama tua dengan beberapa dekorasi lainnya. Mimbar gereja berbentuk cawan. “Di mimbar ini, beberapa kali Riedel pernah berkhotbah,” kata kostor Joubert Kawengian.
Warga Watumea menyebut gedung gereja itu dengan “Gereja Tua”. Gereja itu memang sudah tua. Usianya sudah lebih satu abad. Gedung gereja ini dibangun tahun 1872. “Gereja Tua Watumea ini adalah satu dari dua gereja tertua di Minahasa. Selesai dibangun pada tahun 1872 dan ditahbiskan oleh Ds. H. Rooker pada Minggu 8 Desember tahun itu. Jadi umurnya saat ini sudah 138 tahun,” kata Kostor Kawengian.
Ketika di dalam gedung, kita akan merasakan sebuah suasana yang mungkin dapat membawa kita ke suatu massa yang lampau. Yang sebagian dari kita tinggal mendengar atau membaca kisahnya. “Gereja Tua”, sebuah gereja yang juga menjadi saksi penginjilan di Tanah Minahasa, khususnya di wilayah Tondano.
Setelah melihat-lihat bagian dalam gedung gereja, kami di antar oleh Kostor Joubert Kawengian dan Christofel Pandelaki ke bagian konsistori. Sebuah dokumen kopian berisi sejarah singkat gedung gereja itu diberikan kepada kami. Mereka juga memperlihatkan kepada kami separangkat alat baptisan, perjamuan kudus dan persembahan syukur. “Karena so tua, jadi torang so nda ja pake tu barang-barang ini. So jadi antik kang?” ujar Pandelaki.
Gedung Gereja Tua ini memang nanti selesai dibangun tahun 1872, dan peresmiannya dilakukan pada bulan Desember tahun itu. Sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1832 – 1838, di wanua Watumea sudah beberapa orang yang dibaptis menjadi jemaat Kristen Protestan. Ibadah minggu pada masa itu masih dilaksanakan di rumah-rumah keluarga yang sudah menjadi Kristen secara bergantian. “Tempat ibadahnya antara lain di rumah keluarga Telis Elkana Supit Legoh, Keluarga Amran Legoh dan Keluarga Rangingisan,” begitu tercatat di dokumen sejarah gereja ini.
Di seberang jalan di sebelah Timur tempat berdirinya gedung “gereja tua”, di tahun 1837, pernah dibangun sebuah “sabuah” (bangsal) untuk tempat ibadah sementara. Pembangunan ‘sabuah’ adalah saran dari Jacob Mantilen Supit, yang waktu itu sebagai Kepala Walak Tondano-Toulimambot. Di bangsal itulah orang-orang Watumea yang sudah beragama Kristen beribadah.
Johann Friedrich Riedel dengan istrinya (asal Haruku) tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Bersama Residen Manado dan Ds. Gerrit Jan Hellendoorn mereka mengelilingi Minahasa untuk menentukan "pusat penginjilan." Pilihan jatuh di Tondano. Saat itu penduduk Tondano berjumlah empat ribu jiwa. Kota Tondano adalah pos pertama di Minahasa. J.F. Riedel masih berdiam di Manado selama tiga bulan untuk mempelajari bahasa Tondano, sebelum ia menempati posnya pada tanggal 14 Oktober 1831. Sementara rekannya Johann Gottlieb Schwarz, yang datang bersama-sama dengan dia, melayani di Langowan.
Sebelum Riedel dan Schwarz datang ke Minahasa, memang sudah ada sejumlah penginjil Kristen yang datang ke Minahasa. Pendeta Belanda yang datang mengunjungi Minahasa pertama adalah Jacobus Montanus. Dia tiba di Minahasa pada 17 November 1675. Namun ia tidak lama, hanya  berkisar selama 15 hari. Berikut menyusul Gualterus Peregrinus datang pada 6 - 11 November 1676, kemudian 2 Desember 1676, dan terakhir 28 Februari 1677.
Ds. Stampioen datang di Manado pada tahun 1694. Pendeta tetap baru tahun 1695, yaitu Ds. Nan Aken tapi meninggal dalam tahun yang sama. Baru kemudian seabad lebih, pada akhir bulan April 1817 datang di negeri Kema (Tonsea) Ds. J. Kam atau si "Rasul Maluku".
Pada tahun 1819 Ds. Lenting telah membaptis di negeri Kapataran (distrik Tondano-Touliang) sebanyak 539 orang. Ds. J. Kam mengirim Zendeling Jungmichel ke Minahasa, dan menetap dari tanggal 11 Februari  sampai 6 April 1821. Berikut menyusul lagi  Pendeta J. Roorda van Eijsinga dengan tugas mengembangkan agama Kristen.
Generasi Kristen awal sebelum Riedel di sejumlah  wanua di Tondano adalah buah penginjilan dari para penginjil tersebut. Jacob Mantilen Supit salah satunya. Disebutkan dalam sejarah jemaat GMIM Watumea, bahwa melalui Jacob Mantilen Supit itulah Riedel mengenal Telis Elkana Supit. Riedel kemudian membaptis keluarganya pada 25 Mei 1838. Keluarga Telis Elkana Supit yang dibaptis terdiri dari Telis Elkana Supit sendiri, istrinya Annah Legoh waktu itu berusia 36 tahun dan anak-anak mereka yang tediri dari: Martina Supit (berusia 14 tahun), Albert Supit (8 tahun), Beltzazar Supit ( 4 tahun) dan Yohana Supit (2 tahun), serta Penina Supit yang masih berusia beberapa bulan.

Sejak pembaptisan keluarga Telis Elkana Supit, semakin banyak orang Watumea yang kemudian berangsur-angsur masuk Kristen. Sampai tahun 1841, jemaat Kristen di Watumea sudah hampir mencapai 100 persen.
Tahun 1845 Riedel datang ke Watumea dan membaptis beberapa keluarga yang belum dibaptis. Di tahun ini, seluruh warga Watumea sudah memeluk agama Kristen. “Waktu itu Riedel berkhotbah dalam bahasa Melayu dicampur dengan sebagian bahasa Tondano. Hal ini menimbulkan rasa heran dan lucu bagi orang-orang Watumea sebab ucapan-ucapan Riedel dalam bahasa Tondano sedikit aneh dan asing di telinga orang Watumea,” demikian dicatat di dokumen sejarah singkat gedung gereja Watumea.
Di masa itulah, Wanua Watumea dijadikan sebagai basis penginjilan untuk wanua-wanua sekitarnya, semisal Eris, Watulaney, Telap, Tandengan, Ranomerut, Touliang Oki, Maumbi, dan lain-lain.
Bulan April 1850 Riedel mulai sakit-sakitan, maka zendeling Hendrik Willem Nooij datang untuk membantu pada bulan Mei 1852. Pdt. Nooij  menikah dengan salah satu anak Riedel yang bernama Adeletheis S. Riedel pada awal 1853. Bersamaan dengan itu terjadi wabah penyakit campak di Minahasa. Korban campak di Minahasa waktu itu mencapai kurang lebih 12.820 jiwa, salah satu yang menjadi korbannya adalah Pdt. Nooij. Ia meninggal dalam usia muda dan meninggalkan seorang anak perempuan.
Lima tahun kemudian, yaitu pada tanggal 24 Maret 1958, istri Pdt. Noij, yaitu  Adeletheis S. Riedel menikah dengan Pdt. Hessel Rooker. Namun empat tahun kemudian yaitu pada tanggal 28 Maret 1862 Adeletheis S. Riedel meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang anak laki-laki. Namun sayang, anak tersebut juga meninggal pada 18 Juni 1862.
Pdt. Hooker sendiri tiba di Tondano pada tanggal 31 Oktober 1854. Rooker memimpin kebaktian di kota Tondano pertama kali pada tanggal 26 November 1854. Ketika H. Rooker tiba di Tondano sudah terdapat 15 cabang jemaah dan pada tahun 1884 menjadi 24 buah. Semua cabang adalah cabang jemaah yang telah tetap, maju dan sedang menuju ke tingkat berdikari. Penulung-Injil, Timbeler Silvanus Item (murid kesayangan Riedel), adalah pembantu tetap dari Hessel Rooker (toudano-minahasa.blogspot.com).

GEDUNG “Gereja Tua” ini berdiri di halaman seluas 48x18 meter. Sementara gedungnya seluas 22 x 11 meter. Berdiri di perempatan wanua itu, gedung gereja ini memang tampak berkesan dan menyolok. Bagi orang yang melewati wanua Watumea, mungkin ada baiknya singgah sebentar untuk melihat secara dekat salah satu peninggalan bersejarah yang di dalamnya berkisah tentang hidup, karya dan cita-cita orang-orang Kristen Watumea di masa lampau.
Gedung gereja ini mulai dibangun tahun 1868. Pdt. Rooker, Hukum Tua Onesimus Supit, juga mantan hukum tua Telis Elkana Supit serta guru jemaat Martin Legoh berpikir tentang kebutuhan diadakannya gedung gereja bagi orang-orang Kristen di Wanua Watumea yang sudah banyak itu. Atas usulan mereka, dimulailah pembangunan gedung gereja itu.
Semangat komunal mapalus warga Watumea berperan besar dalam pembangunan gedung gereja ini. Warga bersama-sama menebang pohon untuk dibuat balok (balak), dan papan di hutan, yaitu di lereng Pegunungan Lembean Utara. Kayu-kayu yang ditebang ditarik dengan bantuan kuda. Laki-laki dan perempuan bekerja bersama menyiapkan kebutuhan pembangunan gedung gereja.
Warga masih mengingat tukang-tukang handal di masa pembangunan gedung gereja itu. Misalnya ada nama Hermanus Repi, anak dari Dirk Repi yang juga tukang kayu handal di masa itu. Kemudian disebutkan juga nama George Pandelaki. “Paku dan engselnya, mereka buat sendiri dari besi dengan menggunakan alat-alat sederhana,” begitu sejarah itu dikisahkan.
Pada tahun 1872, di masa Hukum Tua Manuel Pandelaki, gedung gereja itu selesai di bangun. Meski masih sangat sederhana, atap dari daun rumbia (katu), lantai masih dari tanah yang dipadatkan, namun gedung gereja itu sudah bisa dipakai beribadah. Pada bagian dalam dibuat balkon untuk para tamu terhormat. Alat penerang gedung memakai “lampu botol”, dengan bahan bakar minyak tanah. Tempat duduk jemaat terbuat dari kayu yang memanjang, yang oleh warga menyebutnya “bangku”.
Gedung gereja yang sudah selesai dibangun ini ditahbiskan oleh Pdt. Rooker pada pada tanggal 8 Desember 1872. Hari penahbisan adalah minggu kedua bulan Desember tahun itu. “Makanya, kalo torang mo peringati hari jadi gedung ini, torang ja beking setiap minggu kedua bulan Desember,” ujar Pandelaki.
Hadir dalam ibadah penahbisan itu sejumlah penginjil Zending di Minahasa waktu itu, antaranya J.G. Schawrz, N. Graafand, N. Ph. Wilken, F.H. Linneman dan J.N. Wiersma.
Peralatan atau dekorasi gedung gereja, di tahun-tahun berikutnya dilengkapi secara bertahap. Seperti lonceng gereja (1912), kursi rotan sebanyak 140 buah (tahun 1895), kaca-kaca berwarna (tahun 1924), tempat lampu dan lampu-lampu gantung (1924), alat-alat baptisan dan perjamuan kudus serta persembahan (tahun 1912) “Peralatan ini semuanya didatangkan dari Eropa. Sampai sekarang masih ada. Kalo kursi rotan, so banyak yang rusak, maar ada berapa yang masih ja pake,” ujar Kostor Kawengian.
Mimbar gereja yang terbuat dari kayu dengan bentuk cawan sudah setua gedungnya, yaitu bersamaan di buat pada tahun 1872. Alat-alat baptisan, perjamuan kudus serta persembahan kini disimpan di konsitori. Kursi-kursi rotan yang beberapa di antaranya masih dipergunakan hingga sekarang di bagian bawah tempat duduknya terdapat cap asal kursi, yaitu Austria.
Mengingat nilai sejarah dari gedung gereja ini, maka pada tahun 1983, melalui salah satu anggota jemaat, diinformasikan kepada Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai nilai sejarah dari gedung gereja tersebut. Dari informasi itu, datanglah tim peneliti untuk mengkaji kesejarahan gedung gereja tersebut. Berdasarkan kajian tersebut, maka pada bulan Februari tahun 1983, gedung tersebut ditetapkan sebagai gedung gereja tertua di Minahasa. Untuk menjaga kelestarian gedung tersebut, maka diadakanlah perbaikan gedung dengan tidak mengubah bentuk aslinya. Pada tanggal 14 Oktober 1983, secara resmi gedung gereja tua tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk dipelihara sebagai peninggalan bersejarah.
Sementara di tahun 2003, pemerintah melalui menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan SK tentang Penetapan Gereja Tua Watumea, beserta beberapa benda atau situs bersejarah lainnya di Sulawesi Utara sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang. SK tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Maret 2003, yang di tanda tangani oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Gede Ardika.

Gereja tua adalah kisah tentang sebuah perjalanan sejarah. Dia telah melewati dua perang dunia, telah melewati masa-masa Pergolakan Permesta, zaman orde baru, dan kini. Kita tidak bisa menebak, sampai kapan gedung gereja tua ini akan terus “merekam” cerita-cerita kehidupan di wanua Watumea dan Tanah Minahasa ini. 
“Bagi kami, gedung gereja tua ini, tidak sebatas benda cagar budaya, tapi juga memiliki nilai sejarah mengenai perjalanan kekristenan di wanua ini, dan juga Minahasa pada umumnya. Gedung tua ini menceritakan banyak hal mengenai kehidupan masa lalu  di Wanua Watumea,” ujar Pandelaki.




0 komentar:

Posting Komentar