Sabtu, 16 Juli 2011

Pendidikan Minahasa, Mo Ka Mana?


Sekolah Kepandaian Puteri PIKAT (1 Feb 1956)/Foto: Koleksi Bodewyn T.
Laporan: Denni Pinontoan

Lelaki muda itu tampak kelelahan. Keringat di dahinya tampak mengucur. Dia baru saja mengendarai sepeda motornya menembus padatnya lalulintas di Kota Tomohon. Mengantar penumpang, mengumpul uang untuk setoran bulanan ke dealer tempat dia mencicil sepeda motornya setiap bulan. Romi, begitu teman-teman sepangkalan memanggil dia. Menjadi tukang ojek sudah dilakoni oleh Romi sejak tiga tahun lalu atau dua tahun dari tahun penamatannya di SMA.

Menjadi tukang ojek, bagi Romi adalah pilihan paling masuk akal di zaman sekarang ini. Sebab, dengan bermodalkan ijasah SMA, bagi Romi adalah sesuatu yang sulit untuk mencari pekerjaan yang lumayan baik. “Tamang-tamang laeng banyak yang trus kuliah. Kita, ya cuma sampe SMA jo,” ujar Romi ketika ditemui di tempat mangkalnya.

Romi tak berniat lanjut kuliah. Menurut dia, yang terpenting sebenarnya bukan gelar, tapi kerja. “Maar, itu kote salah jo no. Sebab, misalnya sekarang, kalo mo jadi PNS, depe syarat so musti sarjana. Perusahaan-perusahaan lei kebanyakan ja cari yang sarjana. Kalo yang ijasah sama deng kita, ya paling tukang jaga gudang,” ujarnya tersenyum.

Zaman semakin kompetitif. Dan, Romi merasakan itu. Pengetahuan yang dia peroleh di bangku SMA, agaknya mendapat tantangan besar. “Kita lei nda mangarti. Apa lantaran torang pe ilmu di SMA blum cukup untuk ba karja di kantor-kantor pemerintah atau swasta, atau bagimana kang?” Romi bingung.

Romi agaknya tak seberuntung dengan Steven, lelaki asal Tandengan lulusan salah satu perguruan tinggi di Tomohon. Beberapa tahun dia memang mengambil cuti dari kuliah. Nah, di masa itulah dia menjadi peternak babi. Kuliah di salah satu fakultas yang menelorkan calon-calon pendeta, rasanya aneh jika Steven sukses dengan usaha ternak babinya. “Musti kote kreatif kalo mo berhasil. Kalo cuma berharap tu pengetahuan yang da dapa di sekolah, ya susah mo hidop,” ujar Steven.

Keahlian beternak babi dan pengetahuan manajemen usaha peternakan tak diperoleh Steven di sekolah atau di bangku kuliah. “Kita mulai ini deng keberanian. Deng lagi kita musti ba usaha voor mo kase hidop kita pe keluarga,” ujar Steven.

Steven memang sudah selesai kuliah, telah menyandang gelar sarjana, dan juga telah berkeluarga. Tapi rupanya dia tetap menikmati pekerjaannya sebagai peternak babi ketimbang mencari pekerjaan sesuai keahlian akademiknya. “Samua kan depe tujuan, bagimana supaya sukses, boleh mo hidop,” ujarnya ceria.

Sekolah untuk Menganggur
Meski hanya tukang ojek, namun sudah pasti Romi tidaklah termasuk dalam ribuan penganggur di Sulawesi Utara sekarang ini. Steven juga begitu. Dari apa yang mereka punya, kedua lelaki yang berbeda tingkatan pendidikan ini mencoba menerobos tantangan hidup. Mereka telah menempuh pendidikan formal, namun telah memilih jenis pekerjaan yang tidak berdasarkan kompetensi pengetahuan yang  mereka peroleh di bangku sekolah.

Romi dan Steven memang bukan di antara 112.608 orang pengganggur di Sulut pada posisi Februari 2010. Angka ini menempatkan Sulut pada posisi  keempat terbesar nasional dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, Jasa Bangun, di Manado, seperti dilansir media medio Mei lalu, jenis lain untuk pengangguran adalah setengah pengangguran yang artinya mereka yang bekerja tidak lebih dari 35 jam seminggu dan mendapat penghasilan jauh di bawah Upah Minimum Provinsi. “ Yang tergolong di kelompok ini tercatat sebanyak 269.122 orang,” ujar Jasa.

Data dari BPS Sulut menyebutkan, jumlah penduduk Sulut yang bekerja saat ini mencapai 961.648 orang, mengalami kenaikan dibandingkan Agustus 2009 sejumlah 940.173 orang. Sektor pertanian masih tetap menyerap pekerja terbanyak 332.981 orang, disusul jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan 183.021 orang, perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi 178.341 orang. Sementara sektor industri yang terus didorong menyerap lapangan kerja, hanya tercatat sebanyak 57.452 orang.

Romi dan Steven termasuk di kelompok yang berstatus berusaha sendiri. Sesuai data BPS Sulut per Agustus 2009, kelompok yang bekerja berusaha sendiri ini mencapai angka tertinggi, yaitu sebanyak 286.716 orang (30,50 persen), dan buruh/karyawan/pegawai sebanyak 284.798 orang (30,39 persen). Status pekerjaan penduduk yang bekerja terkecil adalah pekerja berusaha dibantu buruh tetap/dibayar sebanyak 42.900 orang (4,56 persen).

Status pekerjaan penduduk yang bekerja di  daerah perkotaan terbanyak adalah sebagai  buruh/karyawan/pegawai sebesar 167.838 orang (45,33 persen) dan berusaha sendiri sebesar 115.573 orang (31,22 persen). Sedangkan untuk daerah perdesaan, status pekerjaan  penduduk yang bekerja sebagian besar adalah  berusaha sendiri yaitu sebesar 171.143 (30,03 persen) dan buruh/karyawan/pegawai sebesar 116.960 orang (20,52 persen).  Penduduk laki-laki yang bekerja paling banyak berstatus berusaha sendiri yaitu sebesar 209.072 orang (31,09 persen) dan  buruh/karyawan/pegawai sebesar 192.248 orang (28,58 persen), sedangkan penduduk perempuan yang bekerja paling banyak berstatus  buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 92.550 orang  (34,58 persen) dan berusaha sendiri sebanyak 77.644 orang (29,01 persen).

Menarik menyimak pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal di sela temu nasional pemangku kepentingan transmigrasi di Jakarta, medio Februari lalu. Seperti diberitakan media nasional, menurut Jalal, persentase pengangguran jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk saat ini, justru didominasi lulusan SLTA dan sarjana. “Sekitar 54% dari angkatan kerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD),” bebernya.
Artinya, tren penciptaan lapangan kerja oleh lulusan SD nyatanya lebih tinggi, ketimbang lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan perguruan tinggi.

"Pengangguran setingkat lulusan SD hanya 2,05 juta pada Februari 2009," ungkap Fasli. Dia mencatat, jumlah pengangguran pada tingkat lulusan SLTA dan SMK pada 2009 mencapai 25 juta orang. Sementara pengangguran yang menggenggam ijazah diploma tercatat 3 juta orang, atau sedikit di bawah para lulusan sarjana yang 3,8 juta orang.

Ia menilai, para lulusan SD bisa bertahan dan malah menjadi pencipta lapangan kerja karena kelompok ini lebih fleksibel apa pun profesinya, meskipun sebagian besar lapangan kerja yang tercipta masih berkutat di sektor informal. "Sementara itu lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi lebih memilih bekerja menjadi pegawai atau guru," ucap Fasli.

Di Sulut sendiri, pengamat pendidikan Max Ruindungan, pada suatu kesempatan mengatakan, peningkatan mutu pendidikan wajib untuk dilakukan. Sebab mutu pendidikan sangat berpengaruh pada kualitas tenaga kerja yang dihasilkan. “Kita berharap akan menghasilkan tenaga kerja intelektual yang berkualitas, jangan sampai menghasilkan SDM yang hanya jadi pembantu saja,” ujarnya.

Berharap Keseriusan Pemerintah
Tujuh kabupaten/kota di Sulut Utara terletak di atas Tanah Minahasa, yaitu Kab. Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Manado, Kota Tomohon, dan Kota Bitung.  Fenomena setiap musim penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di tujuh kabupaten/kota tersebut seolah membenarkan fakta yang diutarakan oleh Fasli. Setiap tahun angka yang melamar CPNS terus bertambah. Ribuan, sampai belasan ribu. Padahal jatah yang tersedia hanya ratusan.

Mereka yang berusaha sendiri atau berkreasi menciptakan pekerjaan sendiri, justru didominasi mereka-mereka yang hanya tamatan SD, SMP atau sedikit SMA dan sarjana yang merasa tidak memiliki peluang menjadi PNS. Dan, seperti yang dilakukan oleh Romi dan Steven, hal ini adalah pilihan sendiri, tidak terutama berdasarkan kompetensi pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah.

Menurut Fasli, seperti diberitakan media nasional akhir tahun 2009 lalu, tingginya jumlah pengangguran berpendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan proses pendidikan di perguruan tinggi kurang menyentuh persoalan-persoalan nyata di dalam masyarakat. Perguruan tinggi belum bisa menghasilkan lulusan yang mampu berkreasi di dalam keterbatasan dan berdaya juang di dalam tekanan.

Rata-rata lama bersekolah mestinya linear dengan pendapatan. Tetapi di Indonesia tidak demikian. Persoalan ini mesti serius diatasi. Salah satunya dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan di kampus-kampus supaya para sarjana tidak berpikri hanya berburu pekerjaan, tetapi menciptakan peluang berusaha karena sudah dilatih di kampus, kata Fasli.

Ini bicara mutu pendidikan dalam menyambut era kompetisi dalam dunia kerja. Beberapa wilayah di Tanah Minahasa, seperti Minahasa Utara, Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara berhadapan dengan persoalan fasilitas pendidikan yang memprihatinkan.

Pengamat pendidikan Dr Max Ruindungan berpendapat, pemerintah daerah tidak ikhlas fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru sebagai program utama. Besarnya anggaran pendidikan yang diklaim 20%, lebih banyak disedot di luar kepentingan pendidikan. ’’Dana pendidikan 20 persen lebih besar digunakan di luar pendidikan, bukan untuk pembangunan atau rehabilitasi sekolah dan peningkatan mutu guru,’’ ujar Ruindungan seperti dilansir harian Manado Post  Senin, 03 Mei 2010 lalu.

Menurut staf ahli Gubernur Sulut bidang pendidikan ini, di era otonomi daerah tanggungjawab pendidikan ada di tangan daerah termasuk di pemerintah kabupaten/kota. Tapi, faktanya sangatlah sulit mendapatkan daerah yang mengalokasikan dana pendidikan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).’’Banyak dana untuk kepentingan guru tidak memadai, karena selama ini pemerintah daerah hanya mengandalkan block grant dari pusat. Dan saya melihat prioritas pemerintah untuk meningkatkan mutu adalah bangun fasilitas dan pembangunan sekolah,’’ tegasnya.

Kondisi ini kontras dengan  anggaran pendidikan di Sulut yang setiap tahun bertambah. Data Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Sulut menyebutkan, dua tahun berturut-turut tahun 2009 dan 2010 ini kenaikannya 20 persen. Bahkan tahun 2010 ini anggaran DIPA Diknas Sulut Rp308 miliar. Kata Kadis Diknas Sulut Drs Djouhari Kansil MPd, dana tersebut  paling besar disalurkan untuk bantuan operasional sekolah (BOS) dan kesejahteraan guru serta untuk mutu pendidikan. Dari total dana DIPA dan APBD Sulut dianggarkan untuk rehab ratusan sekolah.

’’Kalau tahun ini rata-rata sekolah di Sulut sudah bagus semua mulai dari TK hingga SMA. Paling banyak sekolah yang perlu direnovasi di daerah kepulauan. Di Kabupaten Sangihe saja jumlahnya sudah 180 sekolah,’’ ujar Kansil sambil menambahkan total dana DIPA dan APBD jika ditambahkan menjadi Rp387 miliar.

Sementara, untuk dana BOS, Djouhari menjelaskan tahun lalu sebesar Rp110,23 miliar yang diperuntukkan 283.124 orang siswa di seluruh kabupaten/kota di Sulut. Sementara total dana dari APBD Sulut kata Djouhari untuk Diknas Sulut Rp79 miliar (dana kegiatan). ’’Dari anggaran itu dibagikan untuk dana SMA/MA, pembangunan prasarana TK, SMP, SMA/K, beasiswa kepada daerah kepulauan ke Fakultas Kedokteran, melanjutkan studi strata satu kepada 2.500 guru, peningkatan mutu pengelolaan keuangan bagi SD, SMP, dan SMA. Serta diklat guru per mata pelajaran dan kegiatan kesiswaan lomba berupa olimpiade,’’ beber Kansil.

Yang cukup menggembirakan jika melihat kondisi sekolah di Tomohon karena tidak ditemukan sekolah rusak ringan atau berat. Pemkot mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp86 miliar. Plh Kepala Dinas Pendidikan Nasional, Pemuda, dan Olahraga Tomohon Drs Eddy Turang mengakui, untuk dana pendidikan belum mencapai 20% dari APBD Tomohon sebanyak Rp334 miliar.  “Anggaran 86 miliar ini termasuk dengan belanja pegawai yang  mencapai sekitar 40-an miliar,” ungkap Turang.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Nasional Manado Drs Ferry P Karwur SH, bantuan yang dikucurkan akan dipergunakan untuk renovasi gedung serta pengadaan meubelier dan perpustakaan. “Saat ini di Manado tidak ada sekolah yang dikategorikan rusak berat, tapi hanya rusak ringan,” tegas Karwur.

Di Minsel potret pendidikan masih sangat memprihatinkan, karena banyak sekolah rusak parah. Misalnya SMP Negeri 3 Tombasian yang bangunannya rusak serta atap penuh lubang. Pun beberapa sekolah dasar yang ada di pedesaan seperti di Desa Tenga: SD GMIM Tenga  dan SDN Inpres Tenga yang masih membutuhkan bantuan anggaran untuk rehab sejumlah ruangan.

Mo Ka Mana?
Mewujudkan pendidikan bermutu tidak sebatas soal fasilitas dan perhatian pendanaan dari pemerintah. Namun, ini soal paradigma atau sistem pendidikan itu. Perlu ada tranformasi sistem dan paradigma pendidikan menghadapi persaingan yang semakin kompleks di era globalisasi ini. H.A.R. Tilaar (2003) menjelaskan, pedagogik tradisional hanya berorientasi di ruang-ruang kelas dan tidak memberi tempat bagi kultur. Pedagogik tradisional pada hakikatnya mempertahakan kekuasaan yang ada di masyarakat dan tidak mengembangkan manusia kritis. Sementara pedagogik kritis dan pedagogik transformatif dipahami sebagai bagian dari kebudayaan. Pedagogik ini mengembangkan daya kritis, serta orientasinya yang mendekonstruksi dan merekonstruksi kebudayaan. “Pedagogik kritis dan pedagogik transformatif yang meletakan praksis pendidikan sebagai bagian dari kegiatan kebudayaan dalam arti yang luas,” tulis Tilaar.

Bisa saja ini yang dimaksud oleh Prof. Dr. W.A. Roeroe, direktur Pasca Sarjana Teologi UKIT yang di satu kesempatan mengatakan bahwa lembaga pendidikan dengan proses belajarnya haruslah memampukan peserta didiknya untuk menjadi terampil memahami dan menghayati lingkungan sekitar. “Singkat kata kita mau jadikan manusia-manusia itu orang-orang yang bergairah untuk bersikap hidup kreatif dan konstruktif, bersumber inovasi bagi kemandekan dan oleh sebab itu sangat inovatif sehingga dengan demikian ia menjadi manusia dan orang-orang yang produktif demi penanggulan kemiskinan,” katanya.

Tentang fenomena sarjana atau lulusan-lulusan lembaga pendidikan yang mejadi penganggur, menurut Prof. Roeroe hal ini sebagai persoalan serius dunia pendidikan. Dia menilai lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, SMA/SMK sampai perguruan tinggi dengan sistem dan falsafah pendidikannya masih kurang menolong untuk memberdayakan peserta didiknya menjadi manusia-manusia yang dapat bersikap hidup kreatif, konstruktif, inovatif dan produktif.

Persoalan pendidikan kontemporer memiliki benang merah dengan sistem dan paradigma pendidikan yang diterapkan di Minahasa sejak zaman kolonial dan orde baru. Laporan Waleta Minahasa di rubrik keker kali ini mengenai pendidikan di era kolonial menunjukkan orientasi, sistem dan paradigma pendidikan yang diterapkan oleh sekolah-sekolah zending yang datang memperkenalkan sistem pendidikan formal menggantikan sistem papendangan di Tanah Minahasa. Orientasi kerja yang birokrat oriented, kata Prof. A.E. Sinolungan kepada Waleta Minahasa berakar dari keijakan politik Belanda, yaitu dengan domein verrklaring mulai tahun 1887 yang telah menguasai tanah-tanah milik Tou Minahasa. “Dengan kebijakan ini, maka kebanyakan tou Minahasa tidak lagi memiliki lahan untuk diolah karena telah diambil alih oleh kolonial. Maka, pemuda-pemuda yang telah mengalami pendidikan formal kolonial kemudian memilih pekerjaan untuk menjadi pegawai pemerintah dan tentara,” ujaf Prof. A.E. Sinolungan kepada Waleta Minahasa akhir Mei lalu.

Memasuki era globalisasi yang penuh persaingan, di Minahasa, ditambahkan Prof. Roeroe diperlukan manusia-manusia yang memiliki sikap hidup yang kreatif, produktif dan mandiri. “Maka perpaduan antara nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu kita di Tanah Minahasa dalam kebudayaan kita dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ‘technical skill and managerial know how’ modern sekarang ini, menjadi syarat mutlak,” tandasnya.

Belajar dari sejarah pendidikan di Minahasa, Prof. Sinolungan, menyimpulkan, sumber daya manusia Minahasa yang unggul lahir setelah terjadi perpaduan antara sistem pendidikan tua Minahasa, yaitu papendangan dengan sistem pendidikan modern yang diperkenalkan oleh sekolah-sekolah zending. “Sumber daya manusia Minahasa yang unggul sebagai hasil sinergi antara sistem pendidikan papendangan dengan sistem pendidikan formal oleh gereja. Berikut, karena kita didukung oleh nurtrisi yang cukup, sehingga memiliki kecerdasan di atas rata-rata,” ujar guru besar dan mantan rektor IKIP Manado (sekarang UNIMA) ini.


0 komentar:

Posting Komentar