Kamis, 14 Juli 2011

Menuju Gereja Minahasa

(Foto: Koleksi Bodewyn Talumewo)

Oleh Denni Pinontoan

Kekristenan sudah mengakar di Minahasa. Mayoritas orang Minahasa beragama Kristen. Persoalan kontemporer kekristenan Minahasa adalah bagaimana mengakrabkan kebudayaan Minahasa dengan Injil yang dulunya dibawa masuk oleh para Zending Barat.

Hari sudah malam, kira-kira pukul 20.30 wita. Rumoong, seperti wanua-wanua lain di Tanah Minahasa malam itu sudah diselimuti dengan langit hitam. Tapi, Yon Kondoy, laki-laki berusia 72 tahun malam itu hanya mengenakan ”kaos dalam” (orang Minahasa biasa menyebutnya ”gale mangku” - red). Seperti tak merasa bahwa angin dingin juga masuk ke bagian dalam rumahnya. Bicaranya penuh semangat, seperti masih berusia 27 tahun. Padahal, hari itu Opa Yon, berhari ulang tahun ke 72.
Yon Kondoy lama sebagai Pelayanan Khusus di Gereja GMIM "Ta'ar Era" Rumoong. Makanya, ketika bicara tentang Minahasa dia selalu mengkaitkannya dengan kekristenan.
"Ngoni sebagai orang muda, nda boleh meninggalkan kebudayaan dan sejarah Minahasa!" katanya tegas.
"Boleh so opa, berMinahasa sekaligus juga bergereja?" tanya kami.
"Boleh katu no. Cuma jangan sampai kebudayaan dan sejarah Minahasa mengalahkan torang pe Kristen. Beda kwa tu ja bilang umat Allah dan Umat Kristen," kata Opa Yon semangat.
"Depe beda, bagimama opa.".
"Kalau umat Allah, dia belum Kristen. Mar kalau umat Kristen, dia so percaya Kristen. Tu torang pe dotu-dotu katu dulu so percaya ada kuasa di atas, mar nanti Riedel dan Schwarz kase kenal tu Injil Yesus Kristus, baru dorang jadi Umat Kristen." katanya menjelaskan.
"Opa, waktu dulu, sebelum orang Minahasa kenal Kristen, ada nda korupsi?" tanyaku.
"Ah, ini. Waktu dulu, nyanda stou. Mar sekarang, ngoni lia jo, so Kristen, maar banyak koruptor. Hele cuma ba rekeng doi persembahan di gereja, ada pelsus ja balolo."
"Kong, kalu bagitu, mana lebe bagus dang?"
"Tetap katu Kristen no, karena percaya Kristus. Tu agama suku, belum talalu bagus karena nda percaya Kristus," katanya menjawab.
"Opa, dulu ja bapegang (punya jimat – red).”
"Oh, ada. Waktu pergolakan kalu nda itu, kita so mati. Bayangkan tu musuh so di muka pa kita, dorang nda da pa lia pa kita, karena ada ba pegang. Mar, serta kita jadi pelayan, kita lepas samua itu. Karena itu pekerjaan setang," terang Opa Yon.
"Kong bagimana dang orang Minahasa mo ba gereja sekarang.”
"Kita bilang ulang, karena so kristen, maka jang sampe tu kebudayaan dan sejarah Minahasa lebeh tinggi dari Kristen. Karena bagaimanapun, kebudayaan adalah juga anugerah Tuhan." tandasnya.
Pemahaman Opa Yon mengenai hubungan antara kebudayaan Minahasa dengan Kekristenan barangkali mewakili juga kebanyakan pemahaman orang Minahasa kebanyakan tentang perjumpaan antara Injil dan kebudayaan Minahasa. Fredy Wowor, budayawan muda Minahasa berpendapat, jawaban-jawaban semacam itu memang terdapat juga dalam benak kebanyakan orang Minahasa. ”Ada dilema dalam diri orang Minahasa ketika bicara kekristenan dan keminahasaan dalam konteks sekarang,” ujar Fredy.

Minahasa bertemu Kekristenan Barat
Memang, khusus gereja–gereja Protestan mainstream dan Gereja Roma Katolik di Minahasa, sudah tampak usahanya mengakrabkan Injil dan kebudayaan. Kita bisa melihat bagaimana Maengket ada dalam rangkaian liturgi, atau Kolintang dan Musik Bambu dijadikan sebagai pengiring lagu-lagu rohani dalam ibadah-ibadah tertentu di gereja. Doa-doa, sering juga diucap dengan bahasa lokal. Tapi sayang arsitektur gereja masih mengikuti pola gereja-gereja Eropa. Budaya Minahasa dalam gereja, mungkin tak lebih hanya sebatas media untuk gereja menyampaikan pesan-pesan Ilahi kepada umat. Masih tampak perlakuan diskriminatif. Budaya Minahasa tampaknya masih dianggap sedikit lebih rendah dari “kebudayaan Kristen” yang barat itu.

Teologi Barat yang piestis agaknya belum semua lenyap. Gereja-gereja Minahasa, terbelah. Di satu pihak berusaha bersikap “hormat” terhadap kebudayaan Minahasa, di lain pihak masih cenderung menganggap nilai dan simbol gereja yang “injili” adalah Barat. Opa Yon, generasi kesekian dari kekristenan di Minahasa paling merasakan dilema itu. Pernah merasakan hidup dengan kebudayaan Minahasa, namun ketika gereja mengkhotbahkan budaya itu sesat, kafir, Opa Yon, “terbelah”.  

Injil yang dikabarkan oleh gereja itu, memang telah berjalan jauh melintas zaman dan ruang. Dari Tanah Palestina di  Timur Tengah, ke Eropa dan ke Minahasa. Gereja yang mengabarkan Injil itu, ketika datang ke Minahasa “wajahnya” tidak lagi Asia, tapi Eropa. Kebudayaan lokal dihakimi dan berusaha diganti dengan kebudayaan Barat. Penginjilan yang masuk bersamaan dengan penjajahan, agaknya mempermudah penghakiman dan konversi tersebut. Injil yang dibungkus dengan kebudayaan Barat menghakimi simbol dan budaya lokal. Jadilah Kristen Minahasa hari ini sebagai Kristen Minahasa yang setengah Barat.

Sisa-sisa pembaratan dalam kehidupan Tou Minahasa sampai hari ini masih tampak. Plus-minusnya telah ikut berproses dalam perjalanan peradaban Minahasa. Sonny Mumbunan mengambarkan gejala itu secara bagus. Katanya, “...buku-buku panduan wisata mengkategorikan restoran-restoran kami paling bersih; minggu pagi jalan-jalan menuju gereja tak jauh beda dengan arena mode wewene-wewene Minahasa; kami biasa berekspresi; kami kosmopolit; elit kami gemar berpesta; kami mengomentari apa yang perlu diberi catatan; buta huruf di tanah kami paling rendah di republik ini; terma-terma semisal “binaut”, “maar”, atau “untersuk”, kami comot dari sumber asli tanpa banyak perubahan bunyi. Ada sisa-sisa bahwa kami bangsa para pendidik, para birokrat, para administrator, para klerkenproletariaat.”

Dilema itu mungkin saja dampak dari proses, bentuk dan corak penginjilan di zaman kolonial itu. Mengingat kekristenan telah masuk ke Minahasa dan juga nusantara bersamaan dengan kolonialisme. Piestisme juga menjadi corak teologi yang dominan dalam penginjilannya. Meski, seperti kata Mumbunan, berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), di tahun 1933 menjadi antitesa Gereja Masehi Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang berdiri pada tahun 1934, yang dulunya menjadi antek Belanda.

Pdt. Jaspert Slob teolog asal Belanda yang pernah menjadi pendeta GMIM di bidang pembinaan warga gereja pada tahun 1983-1998 mengakui persoalan perjumpaan antara kebudayaan lokal Minahasa dengan kekristenan Barat. Tulisan Pdt. Slob di buku berjudul Kemandirian Berteologi: Pelayanan Tiada Akhir (2003), buku penghormatan HUT ke-70 kepada Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe, di bagian awal tulisannya itu dia mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh pendeta I.P.C.van’t Hof tentang GMIM pada tahun 1951. Ada satu bagian dalam artikel pendeta I.P.C.van’t Hof yang memperlihatkan cara pandang Barat terhadap kebudayaan Minahasa.

“Kritik perlu dikemukakan. Masalah pertama adalah masalah gereja suku. GMIM mencakup 90% persen dari seluruh penduduk Minahasa dan mau menguasai segala bidang kehidupan. Di sini muncul suatu bahaya. Pada umumnya belum diambil jarak yang cukup dari agama suku. Kekafiran masih tetap ada. Itu dapat mengakibatkan pada akhirnya: orang lebih mengenal akan suku dari pada mengenal akan gereja…” tulis Pdt. I.P.C.van’t Hof seperti dikutip Pdt. Slob.

Mengenai cara pandang Pdt. I.P.C.van’t Hof itu, Pdt. Slob mengatakan, “Di dalamnya terdengar nada bahwa kekristenan di Minahasa adalah hasil dan bagian dari keunggulan kekristenan Barat, dalam hal ini Belanda. Sekaligus nampak juga keunggulan teologi Barat yang dianggap mampu menilai mutu kekristenan di Minahasa. Dalam rasa superioritas itu tersembunyi keyakinan bahwa kekristenan di Belanda mencapai suatu tingkat tinggi,” tulis Pdt. Slob.

Cara pandang ini agaknya umum di kalangan teolog Barat. Nicolaus Graffland, pendeta asal Belanda yang datang ke Minahasa di pertengahan dan penghujung abad 19 juga mengungkapkan hal yang serupa. Katanya: ”Apakah segala sesuatu yang telah dicapai orang-orang Kristen itu masih kurang’, ‘Untuk menangkis anggapan seperti itu saya hanya mengajukan pertanyaan, ‘Dari mana daerah-daerah ini – di mana paham Kristiani bukan saja memegang peranan yang menentukan,  melainkan juga telah dipeluk oleh semua orang – memperoleh persedian makanan? Dari mana orang Kakas memperoleh makanan yang dibutuhkan, dan dari mana Negeri Kawangkoan dan apalagi negeri Wuwuk berserta beberapa negeri yang berada di sekitarnya memperoleh beras dan jagung yang kemudian dijual ke Amurang? 'Daerah pesisir Tondano yang khususnya dihuni orang-orang Kristen, sering kali memenuhi kebutuhan Negeri Tondano pada masa-masa paceklik..”

Setidaknya situasi kolonialisme dan corak kekristenan pietisme sangat mempengaruhi teolog dan misionaris-misionaris Kristen asal Eropa itu dalam memandang kebudyaan lokal Minahasa. Ini juga yang secara umum terjadi di nusantara pada masa-masa penginjilan di era kolonial itu.

Julius Mojau (dalam oaseonline.org) mengatakan, setidaknya ada dua paradigma teologi yang dipakai oleh para zendeling dari lembaga-lembaga zending Belanda yang bekerja di Hindia Belanda pada waktu melakukan penginjilan di Dunia Timur. Pertama, ”...paradigma kolonial, yaitu konstelasi keyakinan, nilai dan teknik yang dimiliki oleh kekuasaan kolonial.” Bahwa meski tidak bermaksud menggenalisir, namun lembaga-lembaga zending yang bekerja di zaman kolonial dalam menghayati pokok-pokok teologis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang dianut oleh pemerintah kolonial. Kedua, adalah paradigma pietisme. Yaitu ”... model penafsiran dan pemahaman teologis yang dianut oleh gerakan pietisme yang mempengaruhi lembaga-lembaga zending yang bekerja di Hindia Belanda.”

Aliran piestisme berkembang di Eropa mulai sekitar abad 17. Aliran yang kemudian menjadi trend di kalangan gereja-gereja Protestan beraliran Lutheran dan Calvinis di sana, menekankan kesalehan dan penghayatan iman. Aliran ini, awalnya terutama dimaksudkan untuk menjaga apa yang telah diajarkan para reformator agar tidak terjadi penyimpangan ajaran-ajaran mereka.

Zakaria J. Ngelow mengatakan, misalnya lembaga misi  NZG (Nederlands Zendeling Genootschap), dalam penginjilannya memang mengutamakan pendidikan, namum sekaligus juga membawa tujuannya yang lain, yaitu membawa peradaban modern barat kepada suku-suku “primitif”. Hal ini, menurut Ngelow, terutama menonjol menjelang akhir abad 19, ketika yang diutus rata-rata penginjil yang terpelajar. “…karena itupula mendukung ideal pengadaban dalam imprealisme dan kolonialisme,” tulis Ngelow dalam bukunya Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dan Pergerakan Nasional, 1900-1950 (1994).

Dilema tou Minahasa dalam menghayati keminahasaannya berhadapan dengan dominasi kekristenan di Minahasa tentu tak lepas dari beban-beban teologi gereja yang masih mewarisi corak berteologi di masa-masa kolonial tersebut. Martin Lukito Sinaga, seorang teolog Kristen, mengutip laporan dan analisis L.A. Hoedemaker mengenai situasi berteologi di Indonesia mengatakan, persoalan kegagalan perjumpaan Kekristenan dengan kebudayaan di Indonesia, antara lain karena gereja-gereja kebanyakan masih mewarisi teologi Barat. “Malangnya hal ini menjadi lebih rumit karena warisan teologi tersebut tidak pula berfungsi sesuai dengan isinya semula,” tulis Sinaga dalam bukunya Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil (2004).

Kesadaran Bergereja Khas Budaya Lokal
Kebudayaan dan agama, belakangan mulai dianggap sebagai sesuatu yang saling terkait erat. Agama, bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu gejala kebudayaan. Menurut Alm. Pdt. Dr. Josef M. Saruan, agama dan kebudayaan dapat diibaratkan seperti dua sisi dari satu uang koin logam. “Dua hal yang sifatnya simultan, tidak dapat diurutkan atau diparaleklan apalagi dipisahkan,” tulis Pdt. Saruan dalam bukunya Agama dan Kebudayaan dalam Konteks Minahasa (2001).

Kebudayaan, menurut Pdt. Saruan menyangkut manusia, lingkungannya, ruang dan waktu, tindakan/aktivitas, kelakuan, dan kecakapannya menerima warisan sosial dalam proses yang melahirkan interaksi sistem-sistem, nilai-nilai, simbol dengan sifat dinamis, berubah-ubah dan fungsional dan mencapai hasil dan tingkat capai, yang semuanya untuk melestarikan kehidupan manusia.

Secara historis kesadaran untuk merumuskan teologi yang khas kebudayaan lokal mungkin bersamaan dengan kesadaaran gereja-gereja di nusantara untuk memisahkan diri dari ikatan Belanda. Pada masa-masa penginjilan, urusan penginjilan di nusantara oleh pemerintah Belanda dimulai dari VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), NZG, kemudian diserahkan ke Indische Kerk. Makanya, Gereja Protestan di Indonesia masa itu adalah bagian dari lembaga pemerintah Kolonial di Indonesia. Mungkin saja karena hal inilah sehingga menurut Ngelow, sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di Indonesia tidak bersikap anti kolonialisme, terutama karena merasa itu bukan urusan agama.

Ngelow mengatakan, bangkitnya nasionalisme di Indonesia setidaknya dapat dihubungkan dengan dua faktor besar. “…pengaruh perkembangan internasional berupa kebangkitan bangsa-bangsa terjajah…factor dasar lainnya adalah kebijakan kolonial baru, yakni politik etis.”

Sikap kritis gereja-gereja Protestan di Indonesia dalam berhadapan dengan pemerintah Belanda yang dimulai sejak kira-kira permulaan abad 20 itu, disimpulkan oleh Ngelow dengan mengatakan, sikap gereja-gereja ini bukan terutama di bidang politik, melainkan dalam proses kontekstualisasi kekristenan yang mewujudkan apa yang disebutnya gereja Indonesia. “Transformasi nasionalisme Kristen itu berlangsung dalam oikumene, di mana gereja-gereja di Indonesia mengalami serentak proses menjadi gereja-gereja yang mandiri dan yang berusaha mewujudkan keesaannya,” kata Ngelow.

Dalam artikel berjudul “Asian Theology” yang dipublikasikan di situs mb-soft.com juga disebutkan bahwa perkembangan teologi gereja-gereja Asia berkaitan erat dengan perkembangan pempribumian pada awal abad kedua puluh dan perkembangan  konsep kontekstualisasi dalam misi. Konferensi Dewan Misi Internasional di Yerusalem pada tahun 1930 menekankan bahwa pesan Kristen harus dinyatakan dalam pola-pola budaya suku bangsa, yaitu dalam liturgi, musik gereja, tarian, drama, dan struktur bangunan yang menonjolkan fitur nasional. ”Penekanan pada penggunaan bentuk-bentuk seni adat dan struktur itu di bawa masuk ke dalam wilayah teologi,” demikian disebutkan.

Artikel itu juga menyebutkan, pada awal 1970-an berkembang dalam sekolah-sekolah teologi  istilah, "kontekstualisasi.". Konsep pempribumian diambil satu langkah lebih jauh dengan menerapkan itu di daerah misi, pendekatan teologis, dan metode pendidikan dan struktur. Kontekstualisasi memperhitungkan konteks, teknologi, dan perjuangan untuk keadilan manusia yang mencirikan sejarah bangsa-bangsa di Asia. Para teolog di Asia, sejak itu menggunakan istilah ini untuk mengembangkan teologi yang khas Asia.

Di Minahasa sendiri, usaha-usaha untuk mengakrabkan antara Injil dan kebudayaan tentu tak lepas dari pengaruh perkembangan pemikiran teologi gereja-gereja secara internasional. Sejak kira-kira tahun 1970-an, gereja yang memiliki anggota umat terbanyak di Minahasa, yaitu GMIM intens melakukan kajian kontektualisasi Injil dalam kebudayaan Minahasa. Itu kemudian tampak dari cara berteologinya.

Di Minahasa hingga sekarang ini memang sudah tampak keakraban antara budaya atau adat dengan gereja. Hal itu tampak, misalnya perayaan pengucapan syukur yang hingga hari ini masih dipraktekkan di beberapa wilayah, kemudian acara “tiga malam”, dan tahbisan rumah baru (rumamba). Namun, menurut Ruth Wangkai, teolog asal Minahasa yang kini sementara studi S3 di Yogyakarta, semua itu baru sampai menjadikan simbol budaya sebagai sarana untuk mengkomunikasi Injil, belum memaknai nilainya sebagai yang mengandung kabar sukacita sebagaimana yang terkadandung dalam Injil. 

“Kebudayaan bukan hanya sekadar tempat Injil laksana pot bunga dan bunga. Kebudayaan terintegrasi dalam Injil. Injil ada di dalam kebudayaan,” tulis Ruth di jurnal Exodus terbitan Fakultas Teologi UKIT (nomor 7 tahun V Februari 1997). 

Namun, keakraban antara Injil dan kebudayaan ini kebanyakan masih berlaku di gereja-gereja Protestan Minahasa, seperti GMIM dan KGPM serta gereja Katolik. Sementara gereja-gereja beraliran evangelikal dan pentakosta yang cenderung mengkonfrontasi Injil dengan kebudayaan dalam kerja berteologinya belum tampak memberi ruang bagi simbol dan nilai-nilai budaya Minahasa.

Mengenai arti ”konteketualisasi”, Pdt. Josef Saruan mengatakan, berbicara kontekstualisasi berita Injil berarti kita menyentuh jantung dari Amanat Agung Yesus Kristus Kepala Gereja kepada umat-Nya. ”Sebab berbicara tentang kontektualisasi berita Injil ini tidak berbeda dengan berbicara tentang pembribumian teologi,” tulis Pdt. Saruan dalam artikelnya berjudul Kontekstualisasi Berita Injil Suatu Upaya Berteologi (dalam Exodus, No. 2 tahun 1 April 1993). 

Sementara Pdt. Prof. Dr. Roeroe, seorang teolog yang menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan Minahasa memahami, antara manusia dengan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Pdt. Roeroe dalam bukunya, I Yayat U Santi: Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa (2003), mengatakan,”Sebab pada hakekatnya manusia tidak mungkin hidup tanpa kebudayaan dan tidak mempunyai identitas dari mana pun ia terbentuk. Untuk itu, mengenal warisan para leluhur biar dengan segala atau banyak kekurangannya, akan menolong kita.”

Bagaimana Keakraban itu Terjadi?
Dalam usaha mengakrabi Injil dan kebudayaan Minahasa, Ruth juga menulis beberapa hal yang disebut sebagai nilai-nilai kebudayaan tua Minahasa. Yaitu, pertama, pemahaman tentang Allah, dapat ditemui melalui cerita atau mitos Lumimuut-Toar yang mengungkap kepercayaan terhadap Opo Wailan Wangko melalui kehadiran tokoh walian Karema yang merupakan perantara Sang Ilahi itu.

Kedua, pemahaman tentang manusia perempuan yang juga dapat ditemukan dalam cerita Lumimuut-Toar. Dalam cerita ini dua tokoh sentral dikisahkan sebagai perempuan, yaitu Karema sebagai walian dan Lumimuut yang berperan sebagai sahabat, ibu dan isteri. Cerita ini menegaskan tentang posisi perempuan dalam kebudayaan Minahasa.

Ketiga, pemahaman tentang kerja yang dapat ditemui dengan adanya kegiatan mapalus. Kerja adalah bagian kehidupan orang Minahasa. Ada ungkapan dalam bahasa Minahasa, “Wahu nae, wahu un keroan”, yang secara harafiah berarti kaki basah, kerongkongan juga basah. Artinya, orang dapat makan bila ia bekerja. Ungkapan lain berkata, “Sau lutu tamburi mata”, yang secara harafiah berarti “menghadap bila sudah masak, membelakangi bisa masih mentah. Ungkapan ini sering dipakai sebagai sindiran kepada orang-orang yang hanya suka makan tetapi tidak mau bekerja.

Keempat, pemahaman hidup yang senantiasa bersyukur yang tampak dalam prosesi pengucapan syukur sesudah panen padi. Kebiasaan ini di Minahasa disebut “Kamberu” atau makan nasi baru. Selain itu ada juga acara “rumamba” atau penahbisan rumah atau gedung baru. Terkait dengan kematian, orang Minahasa juga kerap melaksanakan acara “kumawus” yang biasanya dilaksanakan seminggu sesudah pemakaman. Sekarang ini, kebiasaan-kebiasaan tersebut sudah dilaksanakan bersama-sama dengan ibadah-ibadah gerejawi.

Kebiasaan, simbol dan sistem nilai budaya Minahasa inilah yang telah lama berjumpa dengan Injil melalui kehadiran gereja. Bahkan, seperti kata Ruth, gereja di Minahasa, GMIM, misalnya sudah sejak dia berdiri telah mengakrabkan Injil dengan kebudayaan Minahasa lewat penetapan burung Manguni sebagai simbol GMIM. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) yang berdiri lebih dulu dari GMIM, yaitu tahun 1933, semangat kelahirannya adalah untuk menjadikan gereja Tuhan itu khas Minahasa dalam arti otonom dan tidak lagi terikat secara struktural, administrasi bahkan teologi dengan gereja-gereja Belanda.  

Dalam Kegiatan Semiloka “Injil dan Kebudayaan” kerja sama antara Institut Seni dan Budaya Minahasa dengan Universitas Kristen Indonesia Tomhon pada tanggal 29 dan 30 Oktober 2009 di Tondano, Minahasa juga terungkap simbol dan nilai-nilai budaya Minahasa yang bisa didialogkan dengan Injil. Semiloka ini menghadirkan para pemerhati budaya, pelaku budaya, serta teolog dan akademisi dari gereja-gereja Protestan dan Katolik.

Menarik, dalam semiloka tersebut, terungkap juga bahwa tidak semua nilai atau simbol budaya itu dapat menjadi medium berteologi. ”Jika nilai dan simbol itu tidak lagi relevan dan fungsional di zaman modern sekarang, maka saya rasa tidak lagi harus kita memaksa untuk menjadikannya sebagai medium dalam berteologi,” ujar Pdt. Dr. Judowibowo Poerwowidagdo, teolog asal Yogyakarta yang giat dan serius menggumuli kontekstualisasi Injil dalam kebudayaan. Pdt. Judo adalah salah satu teolog yang hadir sebagai pembicara dalam semiloka tersebut.

Menurut Pdt. Judo, teologi kontekstual adalah teologi praksis, teologi yang merefleksikan iman dengan kehidupan sehari-hari dan kemudian melahirkan cara atau praktek hidup. ”Teologi kontekstual atau teologi glokal adalah usaha memahami kehadiran Tuhan dalam kondisi masyarakat kini dengan kompleksitas persoalannya. Refleksi iman atas persoalan-persoalan konteks itulah berteologi. Sehingga warga jemaat juga harus berteologi,” ujar Pdt. Judo.

Sementara sebagai contoh praktek teologi kontekstual tersebut antara lain seperti yang pernah dilakukan oleh sekelompok orang muda Minahasa yang tergabung dalam Mawale Cultural Center (MCC), Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Pinawetengan Muda. Menariknya kelompok-kelompok ini bukan bagian dari struktur kelembagaan gereja melainkan yang melakukan kerja dan gerakan kebudayaan Minahasa di luar kelembagaan gereja.

Pada tanggal 9 Desember 2009 malam mereka memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks budaya Minahasa melalui Pagelaran Seni Natal Yesus Kristus di Watu Pinawetengan, Desa Pinabetengan, Minahasa. Kegiatan yang dimaknai sebagai Perayaan Natal yang khas dan kreatif ini dimaksudkan sebagai bentuk kontekstualisasi teologi dalam kebudayaan Minahasa.

Kegiatan dirancang sebagai ibadah yang kreatif dan kontekstual, yang dalam prosesinya diisi pementasan teater, musikalisasi puisi serta diskusi dengan tema “Yesus Kristus Lahir di Watu Pinawetengan” dengan pembicara Pdt. Dr. Richard A.D. Siwu, MA, PhD, teolog dari UKIT yang sudah bertahun-tahun konsern terhadap persoalan kemasyarakan dan kebudayaan Minahasa. Hadir juga dalam kegiatan ini Prof. Johny Weol, teolog  dan juga pemerhati persoalan kemasyarakan, Ivan Kaunang, kandidat doktor Culture Studies di Udayana Bali, dan Sofian Yosadi, SH., tokoh pemuda Khonghucu Sulut.

Dalam diskusi sebagai ganti dari khotbah ibadah,  Pdt. Siwu mengemukakan, tema yang diangkat dalam kegiatan tersebut dan yang juga menjadi topik diskusi ini sangat menarik. Sebab, tema ini, menurutnya, menggambarkan apa yang disebut di sekolah-sekolah teologi sebagai kontektualisasi teologi atau teologi kontekstual. “Kelahiran Yesus di Bethlehem adalah sesuatu yang histories. Dan, dalam memaknainya sekarang adalah soal konteks kebudayaan kita,” kata Pdt. Siwu.

Pdt. Siwu menjelaskan bahwa, teologi di dalam gereja-gereja kita di Indonesia kebanyakan masih mewarisi model teologi Barat. Makanya, perlu dilakukan lagi reinterpretasi terhadap ajaran dan pemahaman teologi tersebut untuk mengkontekstualisas ikan pesan-pesan Injil Yesus Kristus. “Sebenarnya, apa yang diajarkan oleh gereja-gereja kita sekarang, termasuk mengenai cara dan bentuk perayaan Natal adalah hasil interpretasi mereka terhadap apa yang terdapat dalam Alkitab dalam Alkitab. Persoalannya, kita belum melakukan interpretasi langsung. Tapi, saya kira apa yang dilakukan oleh orang-orang Muda Minahasa malam ini adalah langkah awal yang baik untuk menuju ke sana ,” tegasnya.

Orang-orang muda yang hadir dalam kegiatan tersebut menanggapi, bahwa perlu ada usaha kontektualisasi teologi gereja dalam konteks lokal Minahasa, dengan kebudayaannya, dan juga dengan persoalan-persoalannya.
“Saya kira, persoalan utama kita adalah ada manusianya. Ya manusia Minahasa. Maka, penting untuk kita lakukan bersama-sama sekarang adalah memaknai makna Natal tersebut dalam konteks kekinian kita di Minahasa ini,” kata Fredy Wowor, sastrawan dan dosen Sastra Unsrat yang juga.

Bagi Ivan Kaunang agama, tradisi ritual, upacara keagamaan, semua adalah bagian dari kebudayaan. “Kebudayaan jangan diterjemahkan secara sempit dan kaku, akan tetapi mari kita defenisikan kebudayaan itu adalah praktik-praktik prilaku berbudaya tou Minahasa) dalam kekinian,“ ujarnya.

Kaunang juga mengatakan, tema seperti “Yesus Lahir di Pinawetengan” adalah sebuah upaya kontekstualisais Injil dalam konteks budaya Minahasa hari ini. “Ini adalah kontekstual, dimaknai sesuai dengan zeitgeist (jiwa jaman - red), prilaku berbudaya  orang Minahasa kekinian, siapa itu torang-torang no,” tandasnya.


0 komentar:

Posting Komentar