Selasa, 20 Maret 2012

NEGERI SENDUK TOMBARIRI MINAHASA

Ivan R.B. Kaunang

Letak Desa
Letak negeri (wanua) Senduk ditinjau dari asal-usul kata/nama berada pada satu lokasi di ketinggian atau Kasendukan (Bahasa Tombulu). Hal ini benar secara geografis, negeri Senduk kedudukannya berada di ketinggian dibanding dengan desa/negeri tetangga yang berbatasan langsung. Adapun batas-batasnya (dahulu orang menyebut batas garis-wilayah kepolisian), sebelah Utara berbatasan dengan desa Ranowangko (Rano=air, Wangko=besar), sebelah Timur dengan desa Lola dan desa Ranotongkor, sebelah Selatan dengan desa Munte dan desa Tangkunei, sebelah Barat dengan dengan desa Po’opoh. Sebagian besar desa yang berbatasan masuk dalam wilayah kecamatan Tombariri (tou=orang, wariri yaitu sejenis tumbuhan-rumput; Orang yang diselamatkan oleh rumput? Ketika badai angin datang, yang selamat adalah orang-orang yang dapat bertahan dengan memegang rumput). Kata Negeri banyak digunakan dalam surat-catatan-catatan resmi masa kolonial untuk menyebut wanua-desa/kampung di pedalaman Minahasa. Sedangkan untuk wanua-desa/kampung yang berada dekat dengan pusat pemerintahan (kota) Manado, tempat kedudukan seorang Residen disebut Kampung, sekarang kita kenal dengan Kelurahan.

Secara jelas lokasi negeri Senduk diantara desa-desa di Kecamatan Tombariri, dapat diketahui dari syair sebuah lagu yang menjadi judul tulisan ini: “Negeri Senduk Yang kekasihku”. Dalam syair lagu ini disebutkan nama-nama desa yang berbatasan langsung dan berhubungan atau bertalian asal-usul keturunan dengan negeri Senduk dan negeri Senduk sendiri sebagai episentrumnya atau pusat. Secara lengkap isi syairnya sebagai berikut:
            Negeri Senduk yang kekasihku, siang dan malam tak ku lupa
            Kiri kanan bergunung-gunung, dipandang dengan hati yang riang
            Pandang ke Timur Gunung Lokon, pandang ke Barat Gunung Soputan
            Di Utara ada satu pulau bergunung, nama itu Manado Tua
            Serta itu Tanawangko, Lemoh Lola dan Ranotongkor
            Tara-tara serta Woloan, negeri Tomohon kota yang ramai
            Sarongsong Pinaras Tangkunei dan Munte, Negeri Senduk yang Kekasihku.

Dapat diceritakan sedikit, bahwa lagu ini dijadikan semacam ‘lagu kebangsaan’ sebagai salah satu lagu dari sekian lagu makatana (berasal dari kata tana yang diberi awalan maka. Kata tana memiliki berbagai makna antara lain bumi, negara, negeri, lahan pertanian, tanah, dan sebagainya, sedangkan awalan (prefiks) maka dapat berarti fihak, pemilik atau yang memiliki dan atau menguasai. Jadi secara etimologis makatana dapat diartikan sebagai yang memiliki dan atau yang menguasai bumi, negeri, lahan, tanah, dan sebagainya bahkan alam semesta beserta semua isinya). Lagu makatana ini yang selalu dinyayikan dalam setiap pertemuan ‘se-kawanua, se matuari’ untuk mempererat persaudaraan, semangat Mapalus organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan orang-orang Senduk di rantau seperti Manado, Jakarta dan di Luar negeri. Misalnya, Persatuan Pemuda Remaja Kristen Senduk (PPRKS); Roekoen Kasendukan (Organisasi ini melaksanakan kegiatan ibadah, arisan keluarga dan mapalus lainnya, selain memperhatikan perkembangan pembangunan fisik-mental kampung halamannya). Organisasi ini, masih eksis dan di Tahun Baru 2005 ini mulai lagi dengan kegiatan rutin, yakni kunjungan-kunjungan ibadah keluarga 2 minggu sekali. Lewat Rukun inilah, bahasa ibu – bahasa Induk Tombulu dipertahankan dan dilestarikan, walau disadari di kampung halaman terjadi erosi penggunaan bahasa – hanya orang tua yang berumur  50-an yang tetap menggunakan bahasa sedangkan anak-anak dibawah umur tersebut, orang muda produk jaman sekarang - tulang punggung desa ‘so farek’ dengan bahasa Tombulu. (Dalam sejarah Minahasa, suku bangsa Tombulu adalah suku yang mempunyai pengaruh besar dalam hal penyajian bahasa-bahasa tua Minahasa – bahasa Tombulu - untuk upacara-upacara adat yang dilantunkan dalam sastra-syair dan nyanyian-nyaian pemujaan. Suku Tombulu pada umumnya tersebar di Barat daya Minahasa).

Lingkungan Desa
            Dua buah sungai mengelilingi wilayah desa, di sebelah Barat desa terdapat sungai ‘ngaralewo’ (ngaran=nama, lewo=jelek; tidak baik. Orang tua-tua dahulu menamakan sungai ini ‘Kolintawu’ ada satu hal yang memalukan di sungai ini untuk kaum perempuan yang oleh generasi kemudian menganggap bahwa itu nama jelek, tidak baik, seronok, porno, sehingga dinamakan ‘ngaralewo’. Sungai ini memiliki latar belakang sejarah yang tidak baik atas suatu peristiwa yang terjadi di sungai tersebut sehingga dinamakan demikian), di sebelah Timur terdapat sungai ‘Wewelwel’ kemudian dikenal sekarang Ranoaker (Rano=air, eker/ekel=seho, pohon enau: sungai ini tempat membersihkan mayang pohon enau yang dipotong; sungai yang banyak ditumbuhi pohon seho. Sungai ini memanjang dari arah timur sepanjang desa – dari atas desa ke bawah desa). Kedua sungai ini mengalir di sepanjang desa yang memberikan mata air kehidupan. Sekarang ini, kondisi kedua sungai mulai tergantung pada musim penghujan, jika musim kemarau datang, debet air pun menurun. Hal ini terjadi akibat penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, lokasi pemukiman yang mulai melebar akibat pertambahan jumlah penduduk dan sebab lain yang mengganggu mata air sungai. Di musim kemarau desa Senduk sering kesulitan air. Sungai bagi penduduk desa sangat penting untuk kegiatan mandi, cuci dan mencari ikan (udang).

Bentuk desa memanjang mengikuti jalan raya (utama) dan lorong desa. Jalan raya adalah jalan utama yang menghubungkan dengan desa-desa tetangga dan sekarang termasuk jalan trans Sulawesi. Hingar-bingar bunyi deru suara kendaraan yang lewat setiap hari cukup mengganggu aktivitas kehidupan masyarakat desa – kecelakaan pun sering terjadi.

Rumah-rumah dibangun di kiri-kanan sepanjang jalan utama, termasuk bangunan-bangunan penting desa, seperti Gereja, Kantor Hukum Tua, Balai Desa, Pos Jaga-Kamling, dll. Luas tanah desa ± 10. 000 ha. Sudah terbagi atas luas hutan, kebun dan pemukiman.

Lokasi ‘Angker’
Pada zaman lampau, sebagaimana desa- desa tua lainnya di Minahasa, lingkungan desa Senduk memiliki tempat-tempat yang dianggap angker ‘dahulu tempat tersebut tidak sembarang didatangi’. Adapun tempat-tempat tersebut, seperti lokasi ‘Batu Raragesen’ satu lokasi pemujaan tempo doeloe. Konon batu-batu tersebut, tempat berdiam para dotu seperti dotu Kawulesan. ‘Batu Matuktukan’ tempat berdiam dotu Linkanbene, lokasi lain sungai kecil yang disebut ‘Spotot’, kemudian ‘Ririnteken’ (Ririntek=dipotong-potong halus) ini adalah lokasi perkebunan yang dahulu sebagai tempat pembantaian. Orang-orang yang tidak dikenal oleh masyarakat (dianggap musuh) ditangkap dan di potong-potong halus. Lokasi lain, daerah perkebunan ‘Sinogelan’=cungkel orang. Selain itu ada satu lokasi yang disebut ‘Gunung Wantik’ dalam salah satu nyanyian disebutkan lokasi negeriku kaki Gunung Wantik. Di Gunung Wantik ini, terdapat banyak kuburan waruga. Konon dahulu pertempuran dahsyat pernah terjadi di gunung ini dan banyak yang mati, ada yang mengatakan ‘mungkin’ anak suku Minahasa Bantik pernah singgah di gunung itu dan penduduk setempat kemudian menamakan Gunung Wantik. Di sini ada juga ‘Batu Kenturkure’ batu tempat meminta hujan – lokasi Warangka (tempat jahat) lokasinya di hutan besar. Sekarang ini lokasi Gunung Wantik merupakan daerah berburu, tapi awas konon banyak kejadian aneh di sana? hi iii.

Jika diamati, sebenarnya bukit Kasendukan yang menjadi lokasi pemukiman desa berada di lereng bukit Insarang yang melingkar dari Pinaras sampai Kasendukan. Sungai-sungai yang mengalir di desa Senduk tidak berasal dari desa lain tetapi dari pegunungan lereng bukit Insarang. Air sungai dari mata air murni pegunungan lereng bukit insarang.

Singkatnya, di desa Senduk dahulu ada 4 sudut tempat pemujaan: 1) Batu Raragesan berdiam dotu Kawulesan, 2) Batu Kaliwale berdiam dotu Kawulusan, 3) Batu Tiga Besar tempat dotu Linkanbene dan 4) Batu dotu Lokon. Hampir disetiap tempat yang tinggi, ditempatkan seorang dotu yang menjaga seperti di gunung Wantik ada dotu Wantian.

Tradisi Waruga
Generasi baru di Senduk, tidak mengenal tradisi Waruga termasuk peninggalannya. Tradisi Waruga hanya diketahui dari cerita-cerita orang tua-tua bahwa dahulu, sebelum Senduk mengenal agama Kristen tradisi penguburan ‘nenek moyang’ dilakukan cara waruga. Pada umumnya, kuburan waruga di Senduk sudah tidak berbekas khususnya di lokasi pemukiman/perumahan. Padahal tidak jauh dari desa, tepatnya di sebelah utara terdapat satu lokasi yang bernama ‘Tatahaan’ asal kata ‘tumaha’ artinya bentuk/membentuk. Tatahaan adalah tempat pembuatan, pembentukan waruga-waruga. Tanahnya sesuai dengan adonan spesie jika ingin membuat waruga, yakni domato. Sisa-sisa waruga yang belum sempat selesai banyak ditemukan di tempat ini.


Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat di sini adalah petani ladang. Makanan pokok dari padi/beras dan jagung/beras (beras milu). Disamping itu mengusahakan tanaman cengkeh, kelapa, vanila, sayur-sayuran, umbi-umbian, pisang dll. Selain bertani, mereka juga mengenal berburu, menangkap ikan di sungai, mengusahakan rotan serta kayu balok/papan untuk rumah. (yang terakhir sudah dilarang untuk menebang sembarang pohon). Memasuki masa kolonial, banyak yang berpendidikan diantaranya ada yang menjadi guru, tentara KNIL dan dalam perkembangannya kemudian ada yang menjadi perawat, PNS, tukang dsb.
Sejak tahun 1970-an banyak pemuda Senduk yang ‘teken tentara, teken polisi’ menjadi anggota TNI terutama Polisi. Ada satu masa di Senduk dikenal sebagai gudangnya Polisi. Hal ini ada latar sejarahnya. Pada masa kolonial Belanda, orang Senduk banyak menjadi anggota Tentara Belanda – KNIL. Salah satu yang terkenal adalah Bapak Karel Tololiu Sembel – seorang Sersan KNIL yang ditempatkan dibagian penerimaan anggota KNIL. Itulah sebabnya banyak pemuda Senduk yang lolos seleksi menjadi anggota KNIL. Sesudah Kemerdekaan Indonesia, Bapak Karel Tololiu Sembel, di Senduk lebih dekat dikenal atau dipanggil dengan sebutan ‘Ajudan Sembel’ sampai sekarang pun orang-orang tua yang lanjut umurnya menyebut demikian. Hebat!

Banyak pemuda yang menjadi Polisi, hal ini berdampak positif dan contoh yang baik bagi generasi sesudahnya yang telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Akan tetapi, bagi para pemuda yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, berdampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat di desa Senduk, khususnya di era tahun 1980 – 1990-an. Dahulu desa ini dianggap ‘rawan’. Perkelahian antar desa tetangga sering terjadi, pencegatan mobil yang melewati desa – tidak terkecuali mobil pejabat, TNI-POLRI, pemukulan, mabuk-mabukan (minuman cap tikus) dll. Mereka berani melakukan semua ini karena teman-teman mereka banyak yang 'teken tentara dan teken polisi’. Akan tetapi, di lain pihak pemuda-pemudi Senduk ini – ulet dalam bertani, mereka rajin mapalus pertanian dan membekali diri mereka dengan berbagai ketrampilan (tukang misalnya), kemudian ada pula yang sempat ke Manado atau Ibukota Jakarta mengadu nasib. Sekarang ini banyak diantara mereka telah sukses di rantau dan sesekali ada juga yang ingat kampung halamannya untuk membangun. Hal positif lainnya, tua-muda-kecil besar suka dengan budaya tari ‘Maengket dan Musik bambu. Salah satu group kesenian Maengket bernama ‘Esa Tarendem’ (esa=satu; tarendem=permainan) ada juga Group kesenian ‘Manimpayow’ arti sastranya menyebutkan ‘semacam tunas muda’. Orang tua sendiri tidak tinggal diam, ada waktu-waktu tertentu misalnya dalam acara-acara perkawinan membawakan tarian ‘Langse, Polineis, Katrili, dansa-walz, dll., (Ini semua dengan pakaian yang sopan dan gagah, jas misalnya – sekarang ini orang sembarang saja seperti tidak menghormati kebiasaan dan tradisi turun-temurun)  sambil memberikan pelajaran singkat kepada generasi muda untuk dilestarikan. Sekarang ini, desa senduk termasuk salah satu desa yang aman dikunjungi dan sebagaimana desa lainnya setiap orang tidak ingin terusik oleh hal-hal ketidak-adilan. Senduk seperti ‘naga yang sedang tidur’ tidak boleh diganggu dalam arti mereka berani karena benar. Masyarakatnya religius dan pada umumnya beragama Kristen. (I te tei kaman ne … tanyakan artinya pada orang Senduk).

Asal-Usul Penduduk – Pemukiman Awal
Mengenai asal-usul penduduk, erat hubungannya dengan awal pemukiman. Siapakah yang pertamakali datang merintis, tokoh-tonaas yang  mendirikan desa, darimana asalnya, dan kapan hal itu terjadi?

Pada sekitar tahun 1765, satu taranak (keluarga) besar yang berjumlah 16 KK datang dari arah Timur diperkirakan berasal dari Tomohon sebelah Selatan tepatnya daerah Sarongsong sekarang ini. Pimpinan kelompok taranak ini adalah seorang Tonaas yang bernama Mamuaya. Mereka awalnya datang dan bermukim di satu dataran sekitar 3 Km sebelah Tenggara desa Senduk sekarang. Daerah pemukiman awal ini kemudian dinamai Mawale (Tombulu, Ma=bekas, Wale=rumah, perumahan, perkampungan: Bekas Perkampungan). Dari tahun 1765-1769, mereka tinggal dan menetap di lokasi Mawale sampai akhirnya kelompok Mamuaya ini pun pindah. Alasan pindah karena ditimpa berbagai bala seperti sakit-penyakit sampar, gangguan adanya katak, ular yang sampai masuk dalam periuk-belanga.

Pada tahun 1769 masih di pimpin oleh Tonaas Mamuaya, mereka pindah ± 12 Km ke arah Barat di satu areal dataran tinggi yang kemudian disebut dengan nama Kaleneran (Tombulu, Lener=tenang, jernih). Pada saat mereka memohon petunjuk kepada yang maha kuasa (upacara adat Minahasa kuno) sampai selesai acara adat untuk persetujuan lokasi pemukiman, tidak terdengar suara burung Manguni – burung O’ot. Proses ‘Menalinga’ untuk mendengar suara bunyi burung sebagai tanda setuju dan tidak setuju tidak terdengar … sunyi, sepi, tenang bagaikan kesunyian malam. Mereka pun memutuskan untuk menjadikan lokasi itu pemukiman. Mereka hidup dari bercocok tanam (pertanian) dan berburu, menangkap ikan. Selama kurang lebih 30 tahun mereka hidup di Kaleneran, silih berganti para Tonaas melindungi mereka dan mereka pernah mengenal Tonaas Dotu Siow selain Dotu Mamuaya.

Pada tahun 1799 oleh berbagai sebab, antara lain luasnya daerah pemukiman dan terutama perkebunan mengakibatkan debet air bersih berkurang. Air yang mereka dapatkan dari Sungai Kaleneran dan Sungai Wagey mulai berkurang, selain karena kekurangan air datang pula sejumlah bala, sehingga memaksa mereka harus pindah. Kepindahan mereka menjadi dua kelompok taranak besar, yang satu dibawah pimpinan Tonaas/Dotu Siow berangkat ke arah Barat mendekati pesisir pantai atau tepatnya di desa Kumu dan sebagian ke desa Sondaken yang sekarang. Dotu Siow sendiri wafat dan dimakamkan di desa Sondaken. Sebagian kelompok Taranak ke arah Timur dibawah pimpinan Tonaas/Dotu Senge dan menempati lokasi ‘Senduk’ sekarang. Upacara Menanalinga dilakukan di sebuah bukit (Kasendukan) yang sekarang menjadi pusat asal-usul nama desa ‘ini. Atas petunjuk yang Maha Kuasa mereka melaksanakan upacara foso dan karena lokasi upacara berada di ketinggian mereka menyebutnya tempat itu Kasendukan asal nama Negeri Senduk ini yang didirikan pada tahun 1800.

Perjalanan sejarah yang cukup panjang yang telah dilewati telah membawa mereka dalam tali persaudaran yang kuat, sehingga dalam berbagai macam pekerjaan dikerjakan secara gotong-royong, bersama-sama atau disebut Mapalus.

Pemerintahan Tonaas/Dotu Sampai Hukum Tua
Adapun para pemimpin Tonaas/Dotu selama beberapa generasi:
Tonaas/Dotu Mamuaya 1765 – 1799 (Masa pengembaraan)
Tonaas/Dotu Senge 1799 – 1830 (Negeri Senduk berdiri thn. 1800)
Tonaas/dotu Kalumata, 1830 – 1859 (penataan lingkungan perumahan)
Tonaas Walewangko, 1860 – 1889 (penataan lingkungan dan batas desa)
Tonaas / Hukum Tua Laurens Wehantouw I, 1890 – 1900. (penataan administrasi keamanan desa)
            Pada masa Hukum Tua pertama, Bapak Laurens Wehantouw I, dengan adanya perkembangan penduduk, pemerintahan desa dibagi dua jaga dengan dibantu para Meweteng dalam bahasa Tombulu artinya Pembahagi). Meweteng bertugas membagi beban-beban tugas kerja dalam kehidupan masyarakat sedangkan Kepala Jaga bertugas dan bertanggungjawab atas seluruh aspek kehidupan masyarakat jaga yang berada dibawahnya.

Masa Pemerintahan Hukum Tua

1.      Laurens Wehantouw, 1890 – 1900
2.      Zadrak Kalalo, 1900 – 1907
3.      Arnold Walangitan, 1907 – 1910
4.      Adolof Wehantouw, 1910 – 1912
5.      Jacob Kukus, 1912 – 1924
6.      Frits Kalalo, 1924 – 1933
7.      Agustinus T. Sembel, 1933 – 1942
8.      Karel Tololiu Sembel, 1942 – 1945 (disebut Sonco – masa Jepang)
9.      Agustinus Sembel, 1945 – 1950
10.  Bugis paulus Lempoy, 1950 – 1959 (Masa Permesta, thn 1957)
11.  Alfrits Anda Supit, 1960 – 1961 (Di daerah pengungsian - perkebunan)
12.  H.A. Wehantouw, 1961 – 1962
13.  Luis F. Kalalo, 1962
14.  H.A. Wehantouw, 1962 – 1965; 1965 – 1970 (Hukum Tua Definitif)
15.  Alfrits Anda Supit, 1970 – 1975
16.  H.A. Wehantouw, 1975 – 1979
17.  Pejabat, Welly Pangkey, 1979/1980 (Pemberlakuan UU No. 5/1979)
18.  H.A. Wehantouw, 1980 – 1983
19.  Pejabat, M.C. Timbuleng, Maret 1983 – Oktober 1983 (Pegawai Ktr Camat)
20.  Jantje Ratag, Oktober 1983 – Januari 1984 (Alasan berhenti, karena Sakit)
21.  Pejabat, Frits K. Turang, Januari – Maret 1984 (Waktu itu menjabat Sekdes juga)
22.  Yohanes Sumendap, Maret 1984 – April 1985 (meninggal dlm tugas)
23.  Laurens Wehantouw II, 1985 – 1986 (meninggal dlm tugas)
24.  Pejabat, Frits K. Turang, 1986 – Desember 1987
25.  Jacob Supit, 1987 – 1996 (defenitif)
26.  Pejabat, Yan Poli, 1996 – 1997
27.  Jacob Tulandi, 1997 – 2002
28.  Alex Rengkung, 2002 – sekarang


Injil dan Pendidikan Kristen

Pendidikan Kristen mulai di kenal bersamaan dengan penyebaran Injil di Minahasa. Pada tahun 1860, penduduk desa Senduk diperkenalkan dengan sekolah Zending yang dikelola oleh Gereja, disebut juga sekolah jemaat. Sekolah ini diusahakan oleh Nederland Zendeling Genootschaap (NZG). Pelajaran utama dari sekolah ini adalah membaca, berhitung dan menulis. Untuk pelajaran membaca yang utama adalah membaca Alkitab. Ketika GMIM berdiri sebagai satu gereja yang otonom, sekolah-sekolah Zending berubah nama menjadi sekolah GMIM. Hal yang sama terjadi di desa Senduk. Tahun 1934 Sekolah GMIM Senduk hadir dengan pelajaran-pelajaran yang mulai bertambah seperti ilmu pengetahuan umum. Tahun 1964, GMIM mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama (SMP-GMIM) diikuti Taman Kanak-Kanak tahun 1967. Denominasi lain pun mulai mendirikan sekolah, seperti Roma Katolik yang pada tahun 1968 mendirikan Sekolah Dasar. Di kemudian hari masuk pula aliran Kristen lainnya, seperti Pantekosta, Advent dan lainnya.

Hidup rukun dan damai antar denominasi dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat terlihat dalam berbagai acara kemasyarakatan, seperti pengucapan syukur gereja, desa, pesta perkawinan, dan syukuran-syukuran lainnya. Dalam acara-acara pesta, dikenal masyarakat mapalus makanan atau disebut mejaan. Makanan diatur sesuai dengan meja keluarga mapalus masing-masing dan makan bersama di atas daun pisang dengan tangan tanpa sendok, ‘kow wot kow’ – ‘ngana deng ngana’. Asyik. Cara makan adat masyarakat senduk mulai hilang, karena santap sehindangan … ternyata sekarang ini makan di piring masing-masing. Minuman yang disuguhi selain yang biasa ada juga selingan ‘Saguer’. Alunan musik bambu nan indah, diselingi tari-tarian rakyat Maengket, Polyneis, Lanse, Katrili dan tarian modern anak muda menambah semarak pesta-pesta syukur yang diadakan dan disatukan di Balai Desa Senduk. Tradisi ini berkembang sampai sekarang.
Masuknya budaya catering (makanan dipesan) membuat makanan khas tradisional, seperti tinoransak, daging RW, saut, santan paniki, nasi bungkus, ikan rica-rica, makanan bulu (diisi di bambu) nasi jaha, apang, cucur, onde-onde, kolombeng polote-pica dan sebagainya mulai tidak diketahui cara masaknya oleh generasi muda. Makanan instant mulai diminati ‘mie instant’, makanan pesan langsung tersaji seperti Kentucky, Pizza Hutz, Hamburger, gado-gado juga … dsb.

Sayang Kalau Tidak di Ceritakan
-          Tidak seperti desa-desa lainnya di Minahasa, desa Senduk pada masa Pergolakan Permesta 1957 – 1959/60 (Perang Saudara) tidak menjadi satu Markas Komando. Pemerintahan berada di pengungsian – daerah perkebunan. Rumah-rumah penduduk yang dibangun selama kurang lebih 40 tahun di bakar habis semua – baik oleh pemilik sendiri maupun oleh ‘tentara’ Permesta. Hal ini dimaksud agar pasukan lawan tidak menempati lokasi kampung mereka. Hanya satu yang tersisa dan tidak dibakar, yaitu Gereja.
-          Ada seorang Tonaas yang bernama Tamboto, karena kejahatannya maka tidak banyak diceritakan dan tidak banyak orang tahu kisah ini. Konon dahulu, kalau ada anak-anak menangis orang tuanya sering menakut-nakuti dengan mengatakan ‘manangis ngana nanti opo Tamboto ambe’ akhirnya hal ini benar-benar terjadi. Masyarakat bersatu untuk mengejarnya, ternyata opo ini bukan sembarang opo, dalam keadaan terjepit … dia mampu menghilang. Masyarakat menyebutnya “Mapupuisan’ kurang lebih artinya siapa saja bertemu dengannya, kalau orang itu tidak dikenal maka dihajar, dipotong dan mati. Dalam pengejaran, opo Tamboto harus melewati sungai … seekor burung ‘Titikak atau disebut juga ‘Srigunting’ berada di ujung pohon bambu (bulu Jawa, tahaki) dengan kesaktiannya bambu yang diujungnya ada burung Srigunting bisa roboh dan menjadi jembatannya untuk menyeberang.
-          Penggunaan bahasa Tombulu pada generasi muda ‘sudah hilang’ mereka mengerti yang dimaksudkan tapi untuk ditulis dan bicara mereka tidak tahu lagi. Pakatuan Pakalawiren.-

3 komentar:

  • Bryan Sundalangi says:
    27 Maret 2020 pukul 09.34

    Mantap..
    menurut penulis bagaimana desa senduk di tunjau dari segi berdirinya? kalaupun itu memilikki historis yang melekat pada penulis,, bisakah penulis mencritakan sumber dari mana/dan siapa?
    sehingga lebih kuat argumen narasinya..

  • Marlon Kukus says:
    19 April 2022 pukul 06.23

    Penulis sejarah desa Senduk ini yang di publikiasikan oleh bpk Ivan Kaunang adalah Mantan Hukum Tua Desa Senduk yaitu Bpk. Jacob Supit (masa jabatan 1987-1997).

  • JeaneOroh says:
    28 April 2022 pukul 03.37

    Pertama saya tinggal di Senduk thn 1974 s/d 1976 ikut ibu saya yg asli Senduk. Saat itu usia saya masih 10thn dan saya sekolah dibelakang persis rumah saya diujung kampung Senduk arah ke Munte nama sekolahnya SD RK Senduk dan masih ingat saya nama guru merangkap kepala sekolah saya adalah Engku Martin Terok. Mami saya namanya Nely Kilis. Saya punya Mama Ani dan Papa Ani namanya Oni Opit - Rengkung.

Posting Komentar