Rabu, 13 Juli 2011

Manguni, Strigiformes: Mitos Mistikal Simbol Penghubung Langit dan Bumi

Oleh: Greenhill G. Weol

“The owle (nights herald) shreeks, tis verie late..”. Shakespeare, Venus dan Adonis, 1593, Line 531


Terminal Karombasan di tahun 80an belum sesemerawut sekarang. Hanya ada beberapa bis besar yang biasanya menuju Kawangkoan dan Langowan. Kendaraan angkutan penumpang untuk keluar kota masih didominasi Hi Ace, mobil van keluaran pabrikan Toyota yang mulai popular sebagai alat angkutan sejak akhir tahun 60an dan hebatnya masih bertahan sampai kini. Sebenarnya mobil ini cukup lapang jika dibandingkan dengan mikrolet angkutan kota sekarang. Namun, karena setiap deret kursi penumpangnya disesaki empat penumpang, kendaraan terasa kecil dan sumpek juga. Tak jarang penumpang mengeluh jika proses ‘ba jalur’, menunggu penuhnya penumpang, menjadi terlalu lama. Duduk dalam mobil sesak penumpang serta berbagai barang bawaan dengan aroma yang beragam yang diparkir di bawah terik matahari memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu. Jika mobil mulai bergerak dan melaju, penderitaan baru selesai. Biasanya saya duduk di pinggiran jendela sebab sering mabuk perjalanan. Dari balik jendela itulah saya yang belia mulai merekam informasi-informasi baru. Berada di sebuah kendaraan kecil yang ‘kurang menyenangkan’ seperti itu membuat saya jadi memandangi bis besar di samping. Ada yang menarik. Sebuah tulisan di pintu bis itu memaksa saya untuk berpikir lebih dalam, kalau-kalau ada yang tersisip dalam ingatan. Tulisan yang misterius di pintu bis tadi adalah “Manguni”. Jawaban yang diberikan oleh ibu saya adalah “Oh, itu nama dari mobil itu”. Ayah saya memberikan sedikit koreksi bahwa itu nama dari perusahaan angkutan. Saya mencatatnya dalam memori: Manguni adalah nama mobil sekaligus nama perusahaan..

Manguni dan Burung Hantu, Tidak Sama
Untunglah, sekarang ini saya sudah tahu lebih banyak. Manguni memiliki latin Otus Manadensis dengan klasifikasi biologis lengkap; Superregnum: Eukaryota, Supergroup: Unikonta, Cladus: Opisthokonta, Regnum: Animalia, Subregnum: Eumetazoa, Cladus: Bilateria, Cladus: Nephrozoa, Cladus: Deuterostomia, Phylum: Chordata, Subphylum: Vertebrata, Infraphylum: Gnathostomata, Superclassis: Tetrapoda, Classis: Aves, Subclassis: Carinatae, Infraclassis: Neornithes, Parvclassis: Neognathae, Ordo: Strigiformes, Familia: Strigidae, Subfamilia: Striginae, Genus: Otus. Secara umum, ordo Strigiformes ini disebut ‘Owl’ dalam Bahasa Inggris. Secara etimologis, kata "owl" merujuk pada kata bahasa Middle English "oule," yang mungkin berasal dari kata Inggris Kuno "Ille". Pada gilirannya akan kembali ke kata dalam bahasa Jerman “eule” yang berakar pada kata proto-Jerman "uwwalo" atau mungkin "uwwilo”. Selanjutnya, dalam bahasa Hindi, "ul" (mirip dengan Jerman "eule"). Banyak dari kata-kata diatas adalah onomatopoeias, yakni penamaan sesuai dengan penangkapan akan bunyi.
Penggunaan nama ‘Burung Hantu’ dalam bahasa Melayu, dan kemudian dalam bahasa Indonesia, untuk menggeneralisasi seluruh species dalam ordo ini sebenarnya kurang tepat, sebab ordo Strigiformes ini memiliki dua Familia, yakni Strigidae yang disebut juga True owl atau Typical owl, serta Tytonidae yang memiliki banyak sebutan, antara lain; Barn Owl, White Owl, dan Silver Owl. Maka, berdasar kepada pembagian ini, menyamakan atau menyebut Manguni yang adalah bagian dari keluarga Strigidae dengan ‘Burung Hantu’ jelas keliru. Sangat mungkin kesalah-kaprahan ini terjadi sejak dahulu ketika para pendatang Eropa yang pertama kali berjumpa dengan jenis-jenis Strigiformes di sini kemudian keliru memadankan burung ini dengan Tyto Alba yang berasal dari famili Tytonidae, sebuah species yang di sana dinamai juga Death Owl, Demon Owl, atau Ghost Owl. Penamaan seperti ini berhubungan dengan kebiasaan burung sejenis ini untuk tinggal dan mencari mangsa di tempat-tempat yang dipandang ‘menyeramkan’, seperti pekuburan, pohon tua, atau gedung tua. Ini masih ditambah lagi dengan karakter kicauannya yang misterius dan menakutkan. Kesalahan yang berlanjut hingga hari ini itu nampaknya juga diperkuat oleh ketidakmampuan kita membedakan antara Manguni (Otus Manadensis) dengan Sulawesi Masked Owl (Tyto rosenbergii) yang kita dapat bedakan secara fisik, yakni Manguni memiliki ukuran yang relatif lebih kecil. Dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah Strigiformes menggantikan kata ‘Burung Hantu’.
Secara keseluruhan, species-species yang termasuk dalam Ordo Strigiformes memiliki ciri-ciri fisik umum bermata besar dan memandang kedepan, namun tanpa otot mata, sehingga untuk mengalihkan pandangan burung ini harus menolehkan kepala. Paruhnya dan cakarnya menyerupai elang, hingga efektif untuk berburu.  Pemilik wajah datar dengan lingkaran bulu ini adalah makhluk soliter yang kebanyakan nokturnal, aktif pada malam hari. Makanan utamanya adalah serangga, jenis-jenis tikus dan ikan. Penglihatannya yang tajam, bahkan dalam kegelapan, menjadikannya pemburu ulung. Burung yang saat ini memiliki ragam species sekitaran 225 jenis ini memiliki penyebaran yang sangat luas di seluruh dunia, kecuali di Antartika. Ini membuatnya memiliki jenis-jenis dengan ukuran yang berbeda, dari yang terkecil yang berukuran hanya 10 cm, sampai pada jenis raksasa yang memiliki tinggi hampir satu meter dengan rentang sayap mencapai dua meter. Sayap burung jenis ini seolah dirancang khusus agar dapat berkepak hampir tanpa bunyi. Strigiformes adalah salah satu spesies hewan vertebrata tertua yang ada, berdasarkan pada telah ditemukannya fosil berumur 60 juta tahun, yang juga menunjukkan bahwa burung ini telah mengalami perubahan sangat sedikit pada rentang waktu itu. Kesemua ini mencipta sebuah eksistensi yang menganyam rapat dalam kisah-kisah peradaban manusia sejak time imemmoria. Sepanjang sejarah manusia, Strigiformes atau Owl telah diintegralkan dengan berbagai persona, antara lain pengetahuan, kebijaksanaan, spiritualitas, ketakutan serta kematian.

Arti Strigiformes dalam Beragam Kebudayaan
Dalam berbagai kultur, symbol-simbol Strigiformes telah lama menjadi bagian keyakinan, baik bernuansa positif maupun negatif.  Sepanjang sejarah umat manusia, burung ini memiliki peran signifikan dalam mitologi & cerita rakyat. Strigiformes adalah salah satu dari beberapa burung yang telah ditemukan di lukisan gua-gua prasejarah. Burung ini dihormati sekaligus ditakuti dari peradaban kuno, bahkan sampai pada masa kini. Sejak zaman dahulu, mereka telah dianggap sebagai link supranatural antara langit dan bumi.
Banyak anak-anak Eropa tumbuh dengan cerita tentang ‘The Wise Owl”. Mulai dari legenda Yunani kuno sampai dongengan Winnie the Pooh tergambar cerita-cerita klasik tentang burung yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan. Sisa peninggalan Athena kuno berupa koin-koin perak menampilkan Strigiformes sebagai simbol pelindung kota, Pronoia Athena. Burung sejenis juga dipercaya sebagai pengawal Acropolis. Sebaliknya, orang-orang Romawi melihat Strigiformes sebagai pertanda bencana yang akan datang.  Ini bisa jadi karena seorang negarawan Romawi, Pliny the Elder, pernah menulis bahwa burung hantu hanya meramalkan sesuatu yang kurang baik dan harus ditakuti lebih dari semua burung lain. Kicauan Strigiformes kemudian dianggap menunjukkan kematian yang telah dekat. Kematian Julius Caesar, Augustus & Agripa dianggap telah didahului oleh kicauan-kicauan seperti ini. Orang Yunani percaya bahwa Strigiformes melihat prediksi kemenangan tentara mereka sementara Roma melihatnya sebagai tanda kekalahan. Mereka percaya bahwa mimpi tentang Strigiformes bisa menjadi pertanda bagi pelaut dari kapal karam dan perompakan. Di Prancis, jika seorang calon ibu mendengar suara Strigiformes menjelang kelahiran bayinya, dipercayai bahwa bayi yang akan lahir adalah perempuan. Orang Prancis juga percaya bahwa burung ini membantu para perawan tua menemukan suami. Di Rumania, dikatakan bahwa jiwa orang-orang berdosa yang bertobat terbang ke surga sebagai Snowy Owls. Dalam legenda terkenal Inggris, King Arthur, penyihir Merlin selalu digambarkan dengan sejenis Strigiformes di bahunya.
Keyakinan kuno pada Strigiformes bervariasi antara suku-suku Indian Amerika. Beberapa suku melihat burung hantu sebagai pertanda dari penyakit & kematian. Suku-suku lain melihat mereka sebagai roh pelindung, pembimbing dan pembantu, sebuah jiwa yang hidup sehingga harus diperlakukan dengan hormat. Beberapa suku bahkan melihat Strigiformes sebagai bentuk inkarnasi dewa mereka. Beberapa suku Indian menyebut kematian sebagai "crossing the owl bridge". Dalam cerita rakyat Indian Eskimo, Strigiformes kadang-kadang dilihat sebagai makhluk yang bijaksana, atau sebagai sosok penipu, seperti terhadap jenis coyote owl. Burung ini dianggap membawa dukun-dukun untuk mampu menjalin kontak dengan orang mati, diberikan kekuasaan untuk melihat pada malam hari, atau memberikan kekuasaan yang memungkinkan seorang dukun untuk mencari benda yang hilang. Indian Sioux secara tradisional mengagumi Snowy Owl, sehingga pejuang Sioux yang telah unggul dalam pertempuran diizinkan untuk memakai topi dari bulu Snowy Owl sebagai bukti dan penghormatan atas keberanian mereka. Snowy Owl juga dianggap merepresentasi angin utara yang dingin. Sementara itu, suku Apache memandang Strigiformes sebagai paling ditakuti dari semua makhluk dimuka bumi sehingga ditabukan. Orang Apache menganggap bahwa burung ini adalah perwujudan dari roh-roh manusia yang telah mati.
Di Afrika, orang umumnya percaya bahwa Strigiformes adalah pembawa keburukan. Orang Malaya meyakini bahwa burung ini memakan bayi yang baru lahir. Orang Swahili percaya bahwa burung ini membawa penyakit kepada anak-anak. Di banyak bagian lain Afrika, Strigiformes dianggap mewakili kekuatan gaib dan memiliki kemampuan sihir. Oleh sebab itu mereka menyebutnya burung penyihir. Pemahaman negatif terhadap Strigiformes di Afrika menyebabkan terjadinya pemusnahan besar-besaran terhadap burung ini di sana. Banyak dari jenis-jenis burung sejenis menjadi langka dan terancam populasinya di Afrika akibat buruknya persepsi masyarakat lokal terhadap burung ini.
Burung-burung Strigiformes juga mendapatkan pemahaman yang beragam di benua Asia. Dalam mitologi India burung ini diperlakukan penuh hormat dan diberi tempat prestisius. Misalnya, Laxmi, dewi Hindu yang berhubungan dengan uang dan kekayaan, mengendarai seekor Strigiformes. Bahkan di masa kini, di beberapa kalangan orang India, khususnya Bengali, percaya bahwa jika seekor burung hantu putih memasuki rumah itu diperlakukan sebagai pertanda baik dengan menghubungkannya dengan kemungkinan aliran kekayaan atau uang ke dalam rumah. Beberapa kepercayaan di India bahkan menganggap makanan yang terbuat dari Strigiformes diyakini dapat menyembuhkan kejang pada anak-anak juga rematik. Diyakini apabila seseorang mengkonsumsi mata Strigiformes maka ia dapat melihat dalam kegelapan. Daging burung ini juga diyakini sangat ampuh jika digunakan sebagai aphrodisiac, atau perangsang. Walau demikian, nada negatif juga melekati pemahaman Orang India terhadap jenis burung ini. Ia ditafsirkan juga sebagai pertanda buruk, utusan dari nasib buruk, atau ‘hamba kematian’.
Sementara di Nepal, Brown Wood Owl (Strix leptogrammica) dipercaya menjadi ‘pengangkat jiwa’ manusia yang telah mati dari dunia fana ke akhirat. Di Asia Tengah, bulu North Eagle Owl (Bubo bubo), terutama dari bagian dada dan perut burung, dinilai sebagai jimat berharga melindungi anak-anak dan ternak dari roh-roh jahat. Cakar dari North Eagle Owl dikatakan sangat manjur untuk menangkal penyakit dan menyembuhkan ketidaksuburan pada wanita. Sebuah legenda tua dari Cina, kira-kira berasal dari 2100 – 1700 SM, yang berkisah tentang ‘Yu Agung’, raja pertama dari dinasti Xia yang merupakan dinasti muasal dari apa yang kita kenal sebagai Emperium Cina, menggambarkan tentang makhluk spiritual, yakni seekor Strigiformes cerdas dan bijaksana yang membantu Yu Agung dalam membangun kerajaannya. Orang Ainu, penduduk asli Hokkaido di Jepang, secara tradisional percaya bahwa Strigiformes adalah makhluk ilahi. Upacara adat terhadap Fish Owl, masih dilakukan sampai tahun 1930-an. Sementara itu, dibahagian lain Jepang, gambar dan patung-patung burung ini ditempatkan di rumah untuk menangkal kelaparan atau wabah.
Intergrasi lambang-lambang makhluk Strigiformes nampak pula dalam tradisi Kristen.  Pemaknaannya juga beragam. Sebuah pemahaman negatif melihat burung ini sebagai lambang kenajisan, perkabungan, ketandusan, kegelapan dan penolakan terhadap ‘Terang Kristus’. Kemungkinan ini berhubungan dengan mitologi Judaistik yang menempatkan burung sejenis sebagai lambang ‘kebutaan’. Kemudian ini dilanjutkan oleh pembacaan teks-teks Alkitab seperti yang terdapat dalam Imamat 11:13 (BIS) “Di antara burung-burung, yang berikut ini tak boleh dimakan karena najis: burung rajawali, burung hantu, segala jenis elang, nasar, gagak, burung unta, camar, blekok dan segala jenis bangau, undan, burung kasa dan kelelawar”. Teks Yesaya 13:21 serta Yesaya 13:21 juga bernada serupa. Dalam penderitaannya Ayub pernah berkata; “I am a brother to dragons, and a companion to owls”. Job 30:29 (KJV).Walau demikian, tradisi kekristanan yang lain justru menganggap bahwa Strigiformes adalah perlambangan dari Kristus sendiri, dengan kebijaksanaanNya, adalah ‘pembawa kabar dari Allah’ kedalam kegelapan seperti yang terdapat dalam Lukas 1:79 “untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera". Simbolisme yang lain memahami Strigiformes sebagai lambang Kristus, seperti ‘retakan di dinding’, yang bermakna bahwa ia dikorbankan oleh kaumnya sendiri. Burung jenis ini memang sering bersarang di retakan-retakan dinding. Kebiasaan burung ini untuk menghindari cahaya juga diasosiasikan dengan kerendahan hati Kristus untuk tidak menerima ‘kemegahan’ duniawi.

Manguni, Burung yang Dihormati di Minahasa
Bagi kebanyakan orang urban Manado seperti saya, yang melewatkan masa kecil hingga dewasa di riuhnya kota, memori yang melekat dalam ingatan adalah hutan beton dan aspal dan plastik. Ada kelokan-kelokan jalan, deretan kendaraan dan raungan berbagai jenis mesin. Kemudian ada pusat pertokoan, ragam produknya dan, macam-macam ekspresi dari berjenis manusia yang berbelanja. Saya pun tinggal di sebuah kompleks perumahan padat yang siang harinya panas, malam hari gerah. Begitulah, sepanjang tahun yang menghantam kepala adalah logika-logika teknis matematis. Sewaktu kecil, hanya ada satu kesempatan bagi saya untuk terbebas dari semua ini, yaitu momen ‘pulang gunung’, yakni pada saat sekeluarga berkunjung ke desa. Inilah satu-satunya kesempatan untuk melihat ‘dunia lain’, berkenalan dengan logika-logika baru, bertemu dengan the unknown.  Sampai hari ini saya masih menikmati perjalanan ke ‘gunung’. Sekarang saya tidak lagi bersesakan di mobil Hi Ace itu, namun memilih untuk menerjang angin dengan mengendarai sepeda motor. Alangkah indahnya pengalaman itu, ketika bisa merekam image pedesaan langsung dengan mata kepala sendiri.
 Setelah melaju lebih dari satu jam dari Manado, tibalah saya di gapura gerbang desa Rumoong Atas. Dahulu, di gapura ini ada sebuah lambang yang pernah pula menjadi tanda tanya bagi saya: gambar seekor burung dengan tulisan ‘Minahasa’. Dari kakek, saya mendapatkan penjelasan bahwa Minahasa itu sebuah bangsa. Kita adalah Bangsa Minahasa, begitu terangnya. Manguni adalah burung yang bertuah bagi Minahasa, oleh sebab itu ia menjadi lambang bangsa kita, ia menambahkan. Saya jadi teringat bahwa burung Manguni juga adalah merek sebuah produk pengusir nyamuk..
Manguni dalam kebudayaan Minahasa memang menempati tempat yang terhormat. Prof. DR. W. A. Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi menuliskan:
“..Burung Manguni telah hidup lama ‘bergaul’ dengan alam, oleh sebab itu lebih berhikmat, lebih berpengalaman dalam interaksinya dengan alam ciptaan Tuhan. Ia lebih peka bergaul dengan alam sekitar dan oleh sebab itu lebih terampil mengenal dan memahami alam, dia lebih peka terhadap terganggunya perubahan iklim, gejala-gejala alam lebih khusus bencana-bencana, seperti yang banyak terjadi saat ini. Saya bersyukur walaupun sebagian besar leluhur kita belum mengecap pendidikan seperti kita saat ini dan tidak mengetahui keterangan ilmiah Burung Manguni, mereka tidak memandangnya sebagai Burung Hantu. Mereka hidup bergaul erat dengan alam bersama segala yang hidup di dalamnya termasuk dengan Burung Manguni. Mereka belajar bergaul dan berupaya memahami bentuk-bentuk ungkapannya demi kalangsungan dan ketenteraman, ya, demi kerukunan hidup semua dan bersama. Oleh sebab bagi para leluhur kita ini, Burung Manguni adalah rekan hidup sehari-hari di alam ini, ia teman yang akrab, bahkan ia dianggap sebagai pengantara antara manusia dengan Dia Yang Tinggi dan Mahakaya serta Yang Berkemurahan: Opo’ wana’ an Atas, Opo’ Wailan Wangko, Opo’ Renga-rengan. Dengan demikian, bagi para leluhur kita Burung Manguni bukan “burung hantu”!, sekali lagi bukan “burung hantu”!. Ia disayangi dan diberikan tempat khusus dalam hati leluhur kita, sekali lagi sebagai teman. Ialah pemberi isyarat atau kabar kepada mereka lewat bunyi atau nyanyiannya. Di malam yang tenang nan indah, apalagi bila bulan bersinar, dan lebih-lebih lagi pada waktu bulan purnama, saat kedengaran Burung Manguni bernyanyi merdu dan syahdu: “hoot ……, hoooooot ……, hoooooot” berulang-ulang nun tinggi di atas pohon kayu, maka bagi para leluhur kita dengan segala sukacita menyambutnya dengan berseru: “Hai semua orang, termasuk anak-anakku. Besok pagi bangun dan kerjakanlah segala yang telah direncanakan dengan baik. Keberhasilan sudah menunggu kita, kerjalah dengan gembira, rajin dan penuh sukacita. Kepada kita telah diberi isyarat oleh teman kita”. Bunyi dan nyanyi indah itu merupakan pertanda alam sekitar aman, indah, lestari dan mendatangkan selamat. Oleh sebab itu berjuang dengan tabah, tekun, rajin, pasti berhasil! Tetapi apabila pada suatu waktu ataupun suatu malam, apalagi menjelang larut, lalu didekat rumah atau pondok tempat bermukim tiba-tiba kedengaran bunyinya: “hot., hot., hot!” dengan tergesa-gesa dan kedengaran panik, maka kata para leluhur kita: “Hai semua orang, termasuk anak-anakku, berjaga-jagalah, periksalah semua pintu dan jendela, anjing penjaga rumah dekatkan. Jangan-jangan akan terjadi hal yang kurang baik, entah orang berniat jahat, atau binatang buas sedang mendekati kita atau kemungkinan gangguan dalam keseimbangan ketertiban alam seperti banjir, kemarau berkepanjangan dan bencana alam lainnya. Begitulah para leluhur kita sanggup memahami dan mengerti bahasa sesama atau rekan hidupnya dalam alam ini. Secara ilmiah perilaku Burung Manguni ini dapat dijelaskan, dimengerti dan dipahami. Pergaulannya dengan alam sekitar yang sangat lama dilengkapi dengan penglihatan dan pendengaran yang diciptakan Tuhan super canggih, maka gejala-gejala alami yang akan terjadi merangsang dia untuk berprilaku entah tenang dan indah atau sebaliknya panik dan terganggu sesuai dengan yang diamati dan dirasakannya”.
Jutaan simbol diperhadapkan kepada kita dalam kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak, simbol adalah sebuah sistem yang telah menjadi ‘bangun ruang’ dari peradaban manusia, apapun suku dan bangsa kita, di manapun kita berada. Yang terutama adalah bahwa simbol membuat kita mengerti tentang sesuatu, sesuatu yang bermakna yang ingin disampaikan oleh mereka yang pertama kali menggunakan simbol itu. Maka, untuk dapat mengerti benar tentang sebuah simbol, kita perlu menyelami konteks pada ketika simbol itu pertama digunakan. Benar memang, bahwa tak semua simbol-simbol warisan dari masa lalu masih memiliki kontekstualisasi untuk hari ini. Ada yang justru berpendapat bahwa simbol-simbol kuno sudah tidak perlu diberlakukan lagi di zaman modern ini, sebab telah kehilangan maknanya. Terhadap hal ini, pada sebuah kesempatan DR. Perry Rumengan, M.sn., seorang peneliti terkemuka seni-budaya Minahasa, pernah berkata bahwa simbol-simbol dalam kebudayaan itu sangat penting untuk mempertahankan peradaban. Dengan mempertahankan eksistensi simbol-simbol, sebuah bangsa dapat terus memiliki identitas. Simbol, tambahnya, bukan hanya tentang ‘transfer maknawi’ belaka, namun lebih kepada pewarisan ‘esensi’ atau nilai-nilai luhur dari sebuah kebudayaan. Ia mengatakan juga bahwa untuk mendapatkan arti dari sebuah simbol sebenarnya tidak melulu lewat kajian kesejarahan saja. Justru, tambahnya, seringkali sejarah ‘berbohong’. Cara yang dinilainya lebih akurat, juga tetap ilmiah, adalah lewat pengamatan langsung. Kemudian, bukankah cara ini jugalah yang dahulu digunakan oleh leluhur kita untuk menetapkan makna dari sebuah simbol? Hanya saja, menurut Rumengan, perlu diperhatikan bahwa pemaknaan terhadap sesuatu akan selalu beragam, berdasarkan perspektif masing-masing. Ini adalah hakikat yang mesti diterima oleh semua kita.
Hari ini di Minahasa kita melihat Burung Manguni digunakan sebagai lambang dari macam-macam organ, mulai dari lembaga keagamaan sampai organisasi militeristik. Seluruh dunia juga telah memahami Strigiformes dengan berbagai pemahaman, sesuai dengan konteks masing-masing. Keberagaman ini sesungguhnya adalah kekayaan. Kita perlu belajar menemukan makna esensial dari setiap kata, kemudian untuk menerima bahwa orang lain punya hak untuk berbeda pemahaman dengan kita. Paling tidak sekarang saya juga mengerti bahwa Manguni tidak hanya nama mobil atau nama perusahaan, atau juga merek pengusir nyamuk..


2 komentar:

  • BrilliantJM says:
    29 Februari 2016 pukul 00.45

    makase banya, artikel yang gaga yang musti anak muda di Minahasa pahami leh

  • Unknown says:
    19 Juli 2016 pukul 07.28

    Bagus, thanks sudah berbagi.

Posting Komentar