Rabu, 13 Juli 2011

Minahasa Mekar di Ketiak Garuda


Oleh: Denni Pinontoan

Kekuasaan rezim orde baru akhirnya membusuk dengan sendirinya. Di tambah krisis ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia pada tahun 1997, rezim Soeharto benar-benar terjepit. M Fadhil Hasan mengemukakan sejumlah penyebab krisis ekonomi Asia termasuk Indonesia pada waktu itu.  Antaranya yang dia sebut adalah gaya perekonomian Asia yang berciri crony capitalism, korupsi, dan pemerintahan yang buruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian populer disingkat KKN, membuat masalah perekonomian menjadi semakin parah. Sentralisme kekuasaan selama kurang lebih 32 tahun Soeharto berkuasa, telah membuat kekacauan di berbagai bidang. 
Benedict Anderson, profesor emeritus dalam bidang Studi Internasional di Universitas Cornell yang juga pakar sejarah dan politik Indonesia abad ke-20, dalam sebuah tulisannya berjudul Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant (dipublikasikan pada www.newleftreview.org) menggambarkan sosok Soeharto sebagai seorang yang ditakuti. Soeharto menurut Anderson, ditakuti tidak hanya memiliki sejarah yang bernoda darah, melainkan karena juga sikapnya yang dingin, diam, bertopeng, dan sesekali meletup kemarahan. 
Krisis itu memunculkan reaksi dari berbagai elemen masyarakat Indonesia. Mahasiswa turun jalan. Akademisi bicara lantang. LSM bergerak bersama rakyat. Soeharto dengan rezimnya menjadi sasaran protes. Gerakan rakyat ini memuncak dengan berhasil menumbangkan Soeharto, presiden RI ke dua yang berkuasa kurang lebih 32 tahun pada 21 Mei 1998. Soeharto menjadi simbol kekuasaan yang otoriter dan sentralistik. Dia turun dari jabatan sebagai presiden yang telah disandangnya selama kurang lebih 32 tahun. Masa reformasi dimulai. Tahun 1998 menjadi era perubahan.
Soeharto sudah lengser. Saatnya, ”Habibie melanjutkan masa kepresiden dari mentornya, Soeharto,” tulis M.C. Ricklefs dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 (2008). Habibie adalah presiden yang pertama dibebankan menjalankan amanat reformasi. Semangat reformasi mengusung sejumlah tuntutan perubahan, antara lain: penghapusan dwi fungsi ABRI, Pemberantasan Korupsi dan mengadili Presiden Soeharto serta kroni-kroninya dan berikut adalah otonomi daerah dalam rangka desentralisasi.
Otonomi daerah menjadi konsep pemerintah reformasi untuk merespon tuntutan transparansi dan perimbangan kekuaasaan pusat dan daerah. Maka, tahun 1999 lahir UU  Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ketika UU itu lahir sambutan kalangan luas cukup positif. Desentralisasi kekuasaan dan perimbangan keuangan daerah-pusat dalam UU tersebut diharapkan dapat menjawab persoalan politik dan ekonomi daerah-daerah. Kemudian, lahir lagi UU Nomor 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah. Hingga sekarang, otonomi daerah masih mengacu dari UU tersebut.
Namun, meski tidak secara gamblang UU tersebut menyuruh daerah-daerah untuk melaksanakan pemekaran daerah, penafsiran di level kebijakan daerah, banyak yang kemudian menjadikannya sebagai alat legitimasi untuk pemekaran daerah. Tanah Minahasa pun, berawal dari itu, kemudian pertama melahirkan daerah baru, yaitu Kota Tomohon dan Minahasa Selatan. Menyusul kemudian Minahasa Utara dan Minahasa Tenggara. Otonomi daerah yang awalnya untuk menjawab protes atas sentralisme politik-ekonomi oleh rezim Soeharto, kini berubah menjadi legitimasi pemekaran daerah.

Awal Mekar
Komunitas sosial dan politik Minahasa tempo doeloe terbagi pada walak-walak. ”Pada abad ke-18 kepala-kepala walak merupakan pemimpin dan wakil dari  komunitas yang mengatur diri sendiri. Pada akhir abad ke-19 mereka menjadi administrator geografis teritorial,” tulis David Henley dalam Nationalism and Regionalism in Colonial Indonesia: the Case of Minahasa (1993). Arti Minahasa sendiri berarti “telah menjadi satu.” Bahkan, David Henley menyebut Minahasa sebagai suatu Negara territorial. Atau oleh H.B. Palar menyebutnya sebagai republik.
Paul Richard Renwarin, seorang pastor yang juga  ahli dalam budaya Minahasa di bagian awal bukunya Matuari wo Tonaas (2007) menyebutkan, sebelum tahun 1824, Minahasa secara adiministratif masuk di bawa keresiden Ternate. Pada tahun itu status Manado diangkat menjadi suatu keresidenan dengan J. Wenzel sebagai residen pertama. Wilayahnya mencakup enam distrik, yaitu Manado, Likupang, Tonsea, Tanawangko, Amurang dan Belang.
Awal mula Minahasa menjadi semacam kabupaten, menurut Renwarin, yaitu ketika pada tahun 1870, di bawah Residen F.J.H. van Deinse membuat kebijakan mengenakan status suatu wilayah yang diperintah langsung. Sesudah tahun 1911, Manado dipisahkan dari bagian lain Minahasa sebagau suatu onderafdeling (subdivisi).
Dengan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919, Manado kemudian ditetapkakan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester).
Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado, yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Dengan lembaran Negara  Nomor 64 Tahun 1919, Minahasa di jadikan daerah otonom. Pada saat itu Minahasa terbagi dalam 16 distrik, yaitu Tonsea, Manado, Bantik, Maumbi, Tondano, Touliang, Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Sonder, Kawangkoan, Rumoong, Tombasian, Pineleng, Tonsawang dan Tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik Manado, Tonsea, Tomohon, Kawangkoan, Ratahan, Dan Amurang.
Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado. Kemudian karena kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 tahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung.

Mekar Beramai di Era Reformasi
Era Otonomisasi daerah kemudian melahirkan daerah-daerah baru lagi yang lebih banyak. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, dalam buku Politik Lokal Indonesia (2007) mengatakan, pemekaran daerah yang terjadi setelah tahun 1998 secara umum dipicu dari bawah. Kata mereka, meskipun para pejabat Kementerian Dalam Negeri di Jakarta menyangkal bahwa pemekaran sering tidak perlu dilakukan dan sangat mahal, namun berkali-kali para politisi setempat berhasil memaksakannya agar bisa mengusulkan provinsi atau daerah otonom yang baru. Para politisi daerah sering melakukan pendekatan dengan pihak pusat di Jakarta. ”Untuk memperkuat argumen mereka bahwa pemekaran akan lebih ’mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya’, mereka diam-diam menyogok uang dalam jumlah yang sangat besar,” tulis Nordholt dan Klinken.
Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon kemudian mekar menjadi daerah otonom. Dua daerah ini terbentuk berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara oleh DPR RI. Namun kedua daerah pemekaran baru ini diresmikan pada tanggal 4 Agustus 2003. Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan adalah Amurang. Situs Kota Tomohon (http://www.tomohonkota.go.id) menyebutkan, keinginann masyarakat Kota Tomohon untuk memekarkan diri Kabupaten Minahasa sebenarnya sudah mengemuka sejak dekade awal tahun 2000.
Pemekaran dua daerah otonom tersebut memunculkan inspirasi untuk wilayah lain di tanah Minahasa. Menyusul kemudian daerah otonom Kabupaten Minahasa Utara. Kabupaten yang sebagian besar wilayahnya berada di Tonsea terbentuk dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun. Kemudian, Kabupaten Minahasa Selatan mekar lagi dengan melahirkan Kabupaten Minahasa Tenggara. Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2007. 
Belum selesai sampai di situ. Belakangan muncul lagi aspirasi dari Tou Minahasa di wilayah Kawangkoan, Langowan dan Sonder. Di wilayah ini Tou Minahasa memajukan aspirasinya untuk mendirikan daerah otonom Minahasa Tengah (Minteng) dan Kota Langowan. Di bagian paling selatan Tanah Minahasa terdengar juga suara-suara untuk mendirikan daerah otonom baru dengan nama Minsela atau Minahasa Selatan Atas. Minsela meliputi wilayah Modoinding, Tompaso Baru, Motoling, dan Wanga serta Tondey.
Tahun lalu, seperti diberitakan media lokal, telah terbentuk panitia pemekaran Kabupaten Minsela. Sebagai ketua dipercayakan kepada Rommy Pondaag, SH. Ketua Harian, Setly Kohdong, SH. Sekretaris Arter Tumipa, Bendahara Steva Waleleng. Arter Tumipa, sebagai sekretaris kepada wartawan mengatakan,  mereka sudah mulai menyiapkan semua keperluan administrasi untuk mempercepat proses pemekaran Kabupaten Minsela.
Bulan Juni 2010 Antara News (http://manado.antaranews.com) memberitakan, DPRD Sulawesi Utara (Sulut) mendukung rencana pemekaran Kota Langowan dan Kabupaten Minahasa Selatan Atas (Minsela) untuk menjadi daerah otonom baru di provinsi ini. "DPRD Sulut sangat mendukung upaya masyarakat menghadirkan daerah otonom baru, asalkan sudah memenuhi persyaratan," kata Wakil ketua DPRD Sulut Sus Sualang Pangemanan di Manado
Bahkan, kata dia, DPRD Sulut sudah mengeluarkan surat rekomendasi politik seperti diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, kepada panitia pemekaran Kota Langowan dan sudah berada di Kementerian Dalam Negeri.

Otonomi Daerah dan Kontrol Jakarta
Minahasa pada mulanya adalah perserikatan yang terdiri dari walak-walak yang otonom. Ketika datang ancaman dari luar atau ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan terkait dengan kehidupan bersama komunitas, barulah para walak itu duduk bersama, bersatu. ”Kata ’Minahasa’ pada mulanya tidak digunakan sebagai sebutan untuk menamai suatu wilayah tapi dipakai untuk menyebut ’Rapat Negeri’. Kata ini ditemukan pertama kali dalam surat yang ditulis oleh J.D.Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8 Oktober 1789,” tulis Fredy Wowor dalam Waleta Minahasa edisi IV tahun 2010.
Pastor Renwarin menulis berdasarkan catatan sejarah peninggalan kolonial menyebutkan tentang perubahan nama Minahasa. ”Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (’lesung padi’), lalu Se Mahasa (’mereka yang bersatu’), tetapi kedua nama itu sudah menghilang,” tulis Renwarin.
”Penggunaan nama ’Minahasa’ adalah berdasar logika kolonial,” begitu Wowor selalu berujar terkait dengan bagaimana kolonial mengkrostruksi, baik cara pikir maupun sistem politik Minahasa. Dia membuktikan itu dengan menunjuk pada pertama kali kata ”Minahasa” digunakan oleh J.D.Schiersten. Wowor mengutip surah J.D.Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8 Oktober 1789. Terjermahan Indonesia kurang lebih begini:  “Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada paduka tuan,bahwa Minhasa atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini,telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat istiadat mereka dan Pengesahan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah.”  
Wowor kemudian bertanya secara kritis. ” Pertanyaannya sekarang mengapa ’Minahasa’ akhirnya diterima untuk menunjukan keberadaan suatu wilayah yang sebelumnya oleh penduduk pribumi telah dinamai ’Malesung’?”
”Jawabannya dapat kita telusuri dalam logika Kolonialisme dan Imperialisme  yang melandasi cara pandang Kompeni-Belanda yang menganggap Timur (Baca:Malesung) sebagai ’Daerah Tak Beradab’ yang ’Mesti ditaklukan’ dan ’Dikuasai”, tulis Wowor.
Wowor kemudian melanjutkan argumennya dengan mengatakan, penamaan itu adalah politik kolonial untuk usaha penaklukan. Kalau dulu, ketika masih ”Malesung”, para walak dalam status otonom, sehingga sulit menaklukan seluruh tanah Minahasa.
“’Pengkonstruksian Kembali’ identitas wilayah dari ’Malesung’ menjadi  ’Minahasa’ jadi penting artinya karena sebagai ’Sebuah wilayah yang telah disatukan’ (Oleh Kompeni-Belanda), maka logikanya ’Malesung’ telah menjadi ’Wilayah Jajahan’ Kompeni-Belanda. Dan sebagai ’Sebuah wilayah yang telah menjadi wilayah jajahan Kompeni-Belanda’, ’Malesung’ secara legal formal dapat dieksploitasi untuk kepentingan Kompeni-Belanda,” tulis Wowor lagi.

Sejak 1999  (lepasnya Timor Timur dari  Indonesia) hingga Februari 2008 sudah  terbentuk  179  (66%)  daerah  baru  di  Indonesia (Kompas, 11 Februari 2008). Ini ternyata memunculkan kekhawatiran bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Stop pemekaran tanpa konsep”, tegas Presiden dalam keterangan pers bersama di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/1/2010), seperti dilansir Kompas Online.
Presiden mengatakan, pemekaran tanpa konsep tidak menjadi solusi, malahan justru menimbulkan beban anggaran kepada negara. Dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang seharusnya digunakan secara tepat untuk setiap rakyat jatuh ke tempat yang tidak tepat. "Ingat, dalam 10 tahun terakhir ini lebih dari 200 daerah otonom baru. Tentu kita tidak bisa membiarkan ini berlangsung terus-menerus tanpa konsep yang jelas," tandas Presiden.
Pernyataan itu muncul dari seorang kepala negara setelah terbentuk sekitar 200 daerah. Tanah Minahasa pun sudah terpecah-pecah ke dalam 7 daerah otonom. Dahulu sistem pemerintahan di Tanah Minahasa berbentuk perserikatan dalam komunitas walak-walak yang otonom. Hubungan politik antara walak-walak diatur dengan hukum adat. Di masa kolonial disatukan dalam satu wilayah administrasi. Kemudian dimekarkan juga dalam agenda penakulan kolonial. Di era NKRI, dimekarkan dalam logika politik tersentral.
”Pemekaran mengakibatkan perpecahan secara administrasi,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Sulut, Matulandi Supit. Ini kemudian, tambah Supit berdampak pada kesadaran kultural keminahasaan. Lama kelamaan, Tou Minahasa yang selama ini terikat oleh semangat keminahasaan akan terpecah-percah dengan ego kedaerah yang telah pecah secara administrasi.
Menurut Supit, pemekaran daerah adalah agenda politik pemerintah pusat untuk memecah belah masyarakat daerah. ”Dan ini sebenarnya berbahaya bagi kesadaran keminahasaa Tou Minahasa. Terpecah-pecahnya Tanah Adat Minahasa dalam agenda pemekaran daerah pemerintah, sebenarnya dengannya maka semakin mudah kontrol politik terhadap aspirasi dan semangat lokalitas. Ini kemudian memperkuat posisi negara sampai ke wilayah-wilayah yang relatif masih kuat dengan hukum adatnya,” ujar aktivis yang terus menyuarakan hak-hak masyarakat adat ini.

Pemekaran Ancam Komitmen Keminahasaan
Di tahun 2002, ketika Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon semakin menguat menjadi daerah otonom, Willy H. Rawung, intelektual Minahasa memberi pernyataan yang tegas dalam sebauh tulisannya di harian Manado Post. Dia, mengatakan, pemekaran dua daerah ini tidak perlu menjadi kekuatiran kultural. ” Sebab itu pemekaran Tanah Toar Lumimuut menjadi dua atau - bahkan - tiga kabupaten atau dua kota lagi, tidak perlu menjadi kekuatiran kultural,” tegasnya (Manado Post, 4-6 Juni 2002).
Alasan Rawung, ikatan kultural di era ini tidak lagi terbatas pada kesatuan wilayah teritorial. ”Substansinya dalam pemikiran moderen adalah ikatan kultural bersifat lintas batas kewilayahan (borderless), tidak dapat dipisahkan oleh sekat-sekat apa pun, apalagi oleh sekat manajemen pemerintahan,” tulis Rawung lagi.
Ikatan kultural Tou Minahasa, menurut Rawung adalah Nuwu I Tua. Sehingga, pemekaran wilayah adalah juga amanat Nuwu I Tua, yang mengmanatkan semangat untuk merambah daerah baru. Namun, ”tumani” dalam makna kultural Minahasa mungkin tidak sama persis dengan ”pemekaran” sebagai bagian dari agenda politik sentra seperti yang diingatkan oleh Supit.

Meski tampak apresiasi yang tinggi dari Rawung terhadap pemekaran daerah di Tanah Minahasa, dia pun harus memberi peringatan. ”Untuk itu saudaraku para Kawanua, substansi Nuwu i Tua jelas melarang kita, manusia Minahasa, menjadi manusia subetnosentris, semacam MinSelsentris, Amurang-sentris, Tondanosentris, Tomohonsentris, Tounseasentris, Manadosentris, Bitung-sentris atau yang sejenisnya,” tegas Rawung.
Ketika pemekaran benar-benar terjadi di Tanah Minahasa, dan bahkan telah ”melar”, yaitu sekitar 9 tahun dari Rawung menulis peringatan itu, ”subenosentris” tampaknya mulai menggejala. Itu dirasakan benar oleh Tou Minahasa. Yannemieke Singal, seorang perempuan, kaum muda Minahasa dalam sebuah komentar di Facebook menceritakan sedikit tentang pengamatannya di kampus tempat dia kuliah. ”klo qt cm mengamati qt p tampa kuliah, sarat dg kuota 'minsel'”. Menurut dia, pengkotakan seperti itu semakin mengaburkan 'keminahasaan' generasi muda Minahasa.
Dia menggambarkan kenyataan yang sedang terjadi dalam interaksi mereka di kampus. Meski masih sadar bahwa mereka sama-sama Tou Minahasa, tapi sudah semakin kentara ego-ego kedaerahan otonom tersebut. ”qt minsel, qt minahasa, qt mitra (talaeng2 dg burung pombo,,wwkkk), qt minut dsb...” tulis Singal dalam bahasa Facebookers.
Kaum muda Minahasa lainnya yang memakai nama Facebook, Che Ferfra Nender Jr menganalisasi lebih dalam persoalan pemekaran dalam kaitan dengan ikatan keminahasaan. Menurut Nender, meski secara substansial otonomi daerah mirip dengan federalisme, tapi keduanya berbeda dari titik berangkatnya. ”federalisme berangkat dari pola bottom-up, artinya daerah-daerah dengan kekuasaannya masing-masing, setuju untuk bergabung dalam satu pemerintahan Negara. Sementara otonomi daerah, berangkat dari pola top-down, dimana satu pemerintahan pusat masih lebih tinggi dibanding pemerintah daerah,” kata Nender.
Ini, menurut dia tidak terlalu bagus untuk masyarakat Minahasa. ”Terkait dengan tanah minahasa dibagi menjadi 7 daerah otonom analisa sosiologi politik menurut saya kurang berdampak positif kepada rakyat Minahasa,” tulisnya tegas.
          Menurut Nender ada sekitar tiga kerugian yang dialami Tou Minahasa dengan konsep pemekaran yang top down itu. Pertama, ancaman disintegrasi. Menurut dia, paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkaplingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut
Kedua, rakyat jadi sapi perah. Otonomi daerah, menurut Nender,  mendorong pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing untuk membiayai pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat dibatasi. Dengan batas territorial yang semakin menguat, dikejar oleh tuntutan kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak seperti over kreatif. Terlebih lagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat di daerah bersangkutan yang harus menanggung resiko. Pemda akhirnya menerapkan retribusi atau pajak dimana-mana sebagai sumber PAD.

Ketiga, mengokohkan KKN ke daerah. Pelimpahan wewenang beberapa masalah dari pusat ke daerah hanya memindahkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari pusat ke daerah. KKN kini terjadi di tingkat elit daerah. Otonomi daerah memunculkan raja-raja baru di daerah, khususnya daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mereka bergelimang harta dari hasil pengelolaan sumber daya alam dan korupsi harta yang semakin tidak terdeteksi oleh pusat atau memang hasil konspirasi dengan pemerintah pusat. Tentu rakyatlah yang menjadi korban.
Dengan terbaginya Tanah Minahasa menjadi tujuh daerah otonon, menurut Nender, ini sebuah kondisi yang perlu diwaspadai. ”Terkait kesadaran keminahasaan kita. Sebuah pertarungan nilai sosial diantara masing-masing Tou Minahasa. Artinya dari sikap pemerintah pusat membagi-bagi banyak daerah menjadi daerah otonom dalam hal ini tanah Minahasa sudah sangat tidak manusiawi mengacu pada nilai ekonomi politik. Apa yang harus kita bangakan ketika tanah Minahasa menjadi 7 bagian daerah pemekaran???” tandas Nender.
Sebenarnya, pemerintah daerah di Tanah Minahasa dan Provinsi Sulut juga mengkhawatirkan kondisi itu. Ini tentu secara samar, sebab mereka juga sedang menikmati buah dari pemekaran Tanah Minahasa itu.
HUT Minahasa yang dirayakan setiap tanggal 5 November, kini secara formal dan seremonial tinggal dilaksakan oleh Kabupaten Minahasa. Itu terjadi sejak pemekaran menggejala di tanah Minahasa. Padahal, dulunya, perayaan HUT Minahasa adalah juga perayaan kultural Tou Minahasa.
Pada HUT Minahasa ke 582, tanggal 5 November 2010, Gubernur Sulut, SH. Sarundajang mengingatkan lagi mengenai ikatan keminahasaan itu. ”Walaupun Minahasa yang saat ini sudah terbagi menjadi beberapa daerah administrasi, jangan sampai melunturkan, melonggarkan, atau bahkan menghilangkan komitmen keminaesaan,” ujar Gubernur Sarundajang  (Manado Post, 5 November 2010).
Gubernur Sarundajang berharap kiranya semua dapat menjaga komitmen keminaesaan. Komitmen yang sudah dibangun dan dijaga itu jangan sampai luntur. ”Saya mengajak seluruh masyarakat yang ada di tanah Toar Lumimuut ini  agar tetap menjaga nilai-nilai keminahasaan,” kata Gubernur.
Sekarang ini, secara administrasi pemerintahan, Tanah Minahasa telah terbagi-bagi pada 7 daerah pemeritahan. Tonsea meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano. Toulour meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi. Tontemboan meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa. Tombulu meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado. Tonsawang meliputi Tombatu dan Touluaan. Ponosakan  meliputi Belang serta Pasan meliputi Ratahan. Sementara Bantik tersebar pada beberapa wilayah, seperti Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit.
”Walaupun telah terbagi-bagi berdasarkan beberapa daerah administrasi, jangan sampai mengubah apa yang telah kita buat karena semuanya itu mengandung nilai sejarah bagi tanah Toar Lumimuut. Seluruh rakyat Minahasa harus melindungi dan jangan melunturkan komitmen kita sebagai satu suku, satu bangsa, yaitu Minahasa,” ujar Gubernur.
          ”Nanti kalu di rantau ada yang batanya, aslinya darimana?.... Jawabannya APA? ( Manado <yang sudah dikenal>, atau Minut, Minsel, Mitra, Minduk, Bitung, Tomohon ???); sedangkan orang yang lahir di POSO yang ortunya asal Manado/Minahasa, waktu ditanya aslinya darimana, langsung saja dengan tegas di-jawab Manado. So butul dengan itu ide bung beking negri Minahasa; atau bekeng jo tare MINUS (Minahasa Untuk Semua),” begitu Joehok Makada, seorang facebookers mengomentari topik diskusi di FB, Minahasa Mekar, Komitmen Keminahasaan Terancam.


<iframe src="https://docs.google.com/spreadsheet/embeddedform?formkey=dC0zOGZEMEl0MDZGSndiODdrT3daRGc6MQ" width="500" height="747" frameborder="0" marginheight="0" marginwidth="0">Memuat...</iframe>

0 komentar:

Posting Komentar