Kamis, 26 Januari 2012

“Kampung Cina” di Manado

Foto koleksi: Bodewyn Talumewo

Identitas yang hampir punah

Kampung Cina adalah satu nama perkampungan di Kota Manado yang mempunyai ciri khusus. Masyarakatnya merupakan suatu masyarakat yang mobil (aktif) dan oleh pemerintah kolonial di masa lalu mengumpulkan mereka pada suatu tempat tertentu yang kemudian terbentuk masyarakat yang berkarakter tersendiri.

Oleh: Ivan RB Kaunang

Kampung Cina mempunyai peranan dalam perkemba-ngan dan pertumbuhan Kota Manado, baik dalam pem-bentukan karakter kota Ma-nado (rumah dan bangunan tua berciri khusus, seperti kelenteng dan vihara serta tradisi) dan terutama berpe-ran di sektor ekonomi. Kam-pung Cina menjadi tempat lahirnya atau embrio dari be-berapa organisasi olahraga terutama olahraga beladiri, yang telah banyak mengha-silkan para pendekar dan ”suhu” nomor wahid dalam dunia silat dan per-kungfu-an di Kota Manado khusus-nya, Indonesia umumnya. Tidak sedikit para pendekar dari belahan dunia Indonesia yang belajar di Kampung Cina-Manado ini.

Karakteristik Kampung Cina
Kampung Cina disebut de-mikian oleh orang Manado karena umumnya didiami oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Lahirnya Kam-pung Cina tidak bisa dilepas-kan dari peran yang dimain-kan pemerintah kolonial ke-tika mendirikan benteng di seputar pelabuhan Manado sekarang. Untuk mendirikan benteng, pemerintah kolo-nial memerlukan para pe-kerja tukang yang didatang-kan dari berbagai penjuru nusantara, di antaranya orang-orang Cina.

Para tukang ini kemudian membentuk satu perkampu-ngan bergabung bersama de-ngan para pedagang Cina di sebelah Timur dari lokasi benteng yang dikemudian hari disebut Kampung Cina. Endogami atau perkawinan di antara mereka, melahir-kan anak cucu dan menjadi-kan Kampung Cina semakin luas dan oleh pemerintah kolonial “orang Cina” dimasa itu diberi peran sebagai pe-dagang perantara antara penduduk pribumi (Minahasa) dan pemerintah kolonial.

Selanjutnya, eksistensi Kampung Cina semakin jelas, ketika penataan pemu-kiman dilakukan oleh peme-rintah kolonial berdasarkan asal-usul, seperti adanya Kampung Belanda, Kam-pung Arab dan Kampung Ternate. Pada umumnya, orang Cina hidup sebagai petani di daerah asal, akan tetapi di Indonesia sebalik-nya hampir sepanjang seja-rah bangsa Indonesia mere-ka hidup terkonsentrasi de-ngan kokoh di kota-kota besar maupun kecil dan menguasai perekonomian tidak terkecuali di Kota Manado.

Modal utama yang dimiliki adalah tekad dan kemauan yang keras untuk mempertaruhkan nasib dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Memasuki Kampung Cina, sebagaimana ditulis Graafland (di abad 19) … akhirnya sampailah kami di perkampungan Cina … orang Cina mendirikan dua buah pintu gerbang yang bagus. Gerbang terbesar bersusun tiga, dengan atap yang menjorok keluar membentuk spiral yang diberi berbagai kain dan kertas seperti yang lazim dipakai orang Cina … terdapat berbagai lukisan berbagai mahluk mengerikan dan boneka dilukiskan dihiasi lampu-lampu.

Identitas yang Hampir Punah
Identitas menunjuk pada jati diri – masyarakat Kampung Cina itu sendiri dan Manado sebagai satu kota peninggalan kolonial. Kampung Cina adalah bagian dari kota Manado dan mungkin pada generasi selanjutnya hanya tinggal nama. Mengapa? Tidak serius pemerintah kota menata pecinan sebagai satu lokasi yang berkarakteristik khusus. Padahal masyarakatnya mampu untuk bekerjasama membangun sekitar lokasi. Seharusnya, lokasi pecinan menjadi lokasi wisata utama atau alternatif, tergantung bagaimana renstra Manado dalam pengembangan pariwisata. Pemerintah melalui Dinas Pariwisatanya harus mampu menciptakan image/ikon wisata yang dapat membuat lama tinggal wisatawan. 

Misalnya, kalau wisatawan ke daerah ini, kemudian mengunjungi Bunaken tanpa mengunjungi pecinan, berarti belumlah lengkap kunjungan wisatanya. Kelengkapan aksesoris wisata perlu ditambah seperti nama tokoh dan nama jalan kawasan pecinan menggunakan kaligrafi Cina dan dibawahnya diberi arti bahasa Indonesia. Depan tokoh dan rumah diberi aksesoris kecinaan untuk memberi kesan berbeda dengan pemukiman lainnya. Kenyamanan lainnya perlu difasilitasi, seperti tidak diperkenankannya mobil angkutan umum melintasi kawasan percontohan wisata ini, perparkiran di luar kawasan, sistem keamanan yang baik, kebersihan, dan tersedianya bermacam-macam kebutuhan Cina tempo doeloe, misalnya lokasi atraksi barongsai – kung fu (hari-hari khusus), tradisi upacara toapekong (bulan Februari, kalender wisata yang tetap, serta tradisi lainnya, di samping tersedianya sejumlah restoran, kue, mie lalo-lao, dan bakpao, toko obat, shinse pokoknya seperti layaknya memasuki dunia fantasi. Bagaimana diciptakan suasana yang memiliki kemiripan suasana Tiongkok, Hongkong atau paling tidak kekhasan yang tidak ada duanya, disamping kelokalan Tionghoa-Manado, kelokalan Tionghoa-Minahasa perlu dipertahankan. Pendeknya, bagaimana menciptakan kesan wisatawan untuk kembali lagi ke pecinan di Manado.
Kawasan pecinan dapat diciptakan juga semacam diorama, museum kecil yang dapat menggambarkan sejarah perjalanan orang-orang Tionghoa pertamakali tiba di Manado, termasuk lokasi foto tempo doeloe, dan berbagai kerajinan ekonomi kreatif “tanda” kecinaan (oleh-oleh, souvenir).

Identitas ini masih tersisa dan hamper punah serta belum dikelola dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memperkaya khazanah kota wisata Manado. Identitas lain yang tersisa adalah olahraga beladiri Wu Shu (Kun-Fu). Di era tahun 1970 – 1990-an, olahraga yang satu ini tumbuh subur bersaing sehat dengan olahraga sejenis lainnya seperti tinju, karate, tae kwondo.

Adalah beberapa perguruan yang lahir dan besar dari kawasan pecinan ini di antaranya perguruan Lo Pa Kong, Naga Kuning, Naga Hijau, Sakura Yudo Kwan, PORBISI Garuda Putih dan sebagainya. Ada yang masih bertahan dengan tetap eksis walau latihannya tertutup dengan dunia luar, dan ada pula secara terbuka seperti Perguruan Garuda Putih (Guru Besarnya, alm. Ku-Seng). Seni beladiri yang satu inipun hampir punah. Sebenarnya, olehraga seni beladiri yang satu ini adalah khas Manado, karena lahir dan tumbuh dengan penyesuaian-penyesuaian, olah kreatif dan tidak sama persis bahkan jauh dari perkiraan Master-master Kun-Fu Tiongkok yang berkunjung ke Manado, bahwa olahraga yang satu ini masih tumbuh (langka) dan (heran) masih ada di Manado.

Majunya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni akibat globalisasi memberikan banyak tawaran kepada generasi muda, khususnya generasi muda di kawasan pecinan yang hamper tidak lagi mau melestarikan warisan leluhur yang satu ini, tetapi sibuk dengan pelatihan manajemen, kursus komputer, bahasa Inggris dan usaha bisnis lainnya. Kalau dulu melalui sponsor Dinas Pariwisata, kota Manado pernah memiliki pakaian khas kota Manado, ada juga makanan khas Manado, dan berbagai kekhasan lainnya tidakkah juga kota Manado memiliki kekhasan olahraga beladirinya sendiri? Kita saja belum mengakuinya atau mungkin tidak peduli. Beberapa jurus seperti Tangtui, Loi Lo, Bu Tong dan permainan senjata serta kuncian atas, tengah, dan bawah masih dikuasai penulis! Haa.

Seni Beladiri Garuda Putih
Cukup dikenal salah satu perguruan yang bernama Persaudaraan Olahraga Beladiri Sulut Indonesia atau Porbisi “Garuda Putih”. Perguruan ini lahir pada tanggal 1 Januari 1967. Pada awalnya beladiri ini masih diajarkan dalam lingkungan keluarga dekat, kemudian berkembang khusus pada mereka yang warga keturunan Cina. Latihannya pun di ruangan tertutup dan tidak sembarang orang diterima untuk menjadi murid, karena latihannya yang cukup keras dan disiplin.

Di Tahun 1970-an, untuk pertamakalinya mulai diterima murid yang bukan dari keturunan Cina perguruan ini pun semakin maju dan mampu menguasai dunia persilatan di Kota Manado dan sekitarnya. Membicarakan perguruan ini, tidak terlepas dari nama Guru Besarnya Ku Seng yang oleh para muridnya dapat disejajarkan dengan para pendekar Film, seperti Fu Shen, Jacky Chan dan Jet Lee. Para murid, biasa memanggil dengan sapaan “Ko” dan atau “Suhu” yang dengan kerja kerasnya dan motivasi, salah seorang murid pun (Ko Sunche) mengembangkannya dengan mendirikan Seni Barongsai (Nisaido) Manado (awal tahun 2001) yang turut memperkaya khazanah identitas yang tersisa dan hampir punah. Sekarang ini, group Barongsai cukup banyak, tetapi akan aktif dan menunjukkan diri pada acara-acara menjelang dan sesudah Imlek serta hari-hari khusus keagamaan Tionghoa, Tridharma, Konghucu. Tidak hanya itu, sesekali, Barongsai tampil sebagai tanda multikulturalismenya daerah ini. Identitas lain bangunan berarsitektur Cina dan beberapa buah Klenteng, seperti yang terkenal Klenteng Ban Hin Kiong, dan wow masih banyak lagi identitas yang tersisa. Gong Xi Fa Chai, Selamat Tahun Baru Imlek, 1 Chia Gwee 2563.
                                                

0 komentar:

Posting Komentar