Selasa, 31 Januari 2012

SEJARAH BISU WISATA KOTA MANADO


Oleh Ivan R.B. Kaunang (Magister Sejarah UGM Yogyakarta, Doktor Kajian Budaya Univ. Udayana, Bali, sekarang Dosen Fak. Sastra dan Pascasarjana UNSRAT Manado)

Diam itu emas. Demikian salah satu penggal kalimat dalam syair lagu yang di populerkan Broery Pesolima (Alm). Diam dapat juga disebut bisu, membisu. Tetapi diam atau pun membisu memiliki suatu kekuatan yang tidak dapat diukur dalam kata dan kalimat, dan sesekali dapat dirasakan rohnya. Sejarah bisu wisata Kota Manado, kehadirannya nampak dalam bentuk material dan dapat dilukiskan bukan hanya dengan kata dan kalimat yang sederhana tetapi juga puitis, makna dari sesuatu yang nampak nyata di depan mata, bahkan makna dibalik makna itu. Makna yang ada dalam alam bawah sadar ‘nirsadar’ manusia atau ‘deep structure’ (‘struktur terdalam’ dalam memahami, nilai budaya, kearifan local, pikiran, mimpi, mitos, legenda suatu masyarakat, demikian antropolog structural, Levi Strauss) dalam pikiran, tindakan, gerak-gerik warga penghuni dan pemilik kota Manado.

Aku di sini engkau di situ sama saja, tetapi kotamu dan kotaku tentu berbeda. Hal mendasar nampak dari, simbol, identitas, karakter, ciri, sifat, watak ataupun suasana warga masyarakat penghuni kota itu. Dalam perspektif humaniora kota dapat dibedakan dari berbagai tipe, macam, jenis, dsb. Ada kota pantai, kota dagang, kota pelabuhan, kota industri, kota pariwisata, dsb. Nah, untuk wajah kota kita sekarang ini – Manado dikelompokkan sebagai kota apa? Setiap pergantian Walikota, konsep Rencana Tata Ruang dan visi kota berubah! Walau sekarang visi-misinya jelas untuk menjadikan Manado sebagai Kota Wisata 2010 tapi apakah sama visi-misi dengan masyarakat penghuni kota Manado. Mudah-mudahan sama sehingga kota kita semakin maju.

Konsep Kota Dalam Perspektif Sejarah
Pasar 45 Manado Tempo Doeloe. Foto: Koleksi Bodewyn Talumewo
Wajah kota Manado dapat diketahui dari peran historisnya. Awalnya Manado dibangun sebagai kota benteng, kota colonial, kota pusat administrasi dan pemerintahan, kota pelabuhan dan transit, kota perdagangan dan jasa. Kemudian dalam perkembangannya, dimasa Walikota Ir. N.H. Eman, Kota Manado memiliki nama yang disanjung pemerintah dan warganya dengan kota Bersih, Sehat, Aman, Tertib dan Indah, disingkat Bersehati, selanjutnya bersama Walikota Drs. Wempie Frederik dan Wakilnya Teddy Kumaat, SE, dengan slogan Berhikmat dan ‘Clean and Green City’. Memang ada hasilnya, berupa pohon-pohon penyejuk sepanjang jalan utama Kota Manado (Ini perlu dirawat) dan sekarang Walikota Jimmy Rimba Rogi dan Wakilnya A. Buchari dengan konsep Manado Kota Tinutuan menuju Kota Wisata 2010, dan sekarang walikota dan wakilwalikota: Vicky Lumentut dan Harley Mangindaan, dengan Manado kota model Ekowisata.

Kota menurut Ibn Khaldun (Sejarawan-Budayawan Islam) dalam ‘The Muqaddimah: An Introduction to History, (1970)’ mempunyai peranan penting untuk terlaksananya kegiatan-kegiatan diberbagai bidang atau dengan kata lain, kota memiliki berbagai fungsi ganda-multidimensi. Dalam pengkajiannya, kota dengan berbagai permasalahannya direbut dan dikaji dari berbagai disiplin. Beberapa ahli peneliti kota memberikan konsep, teori dan wawasan kekotaan seperti sejarawan Henri Pirenne, “Medieval Cities and the Revival of Trade” (1969); Gideon Sjoberg,” The Pre-Industrial City, Past and Present, (1965); Charles Cooley dengan teori transportasi yang diuraikan oleh Don Martindale “the teori of the city” dalam Max Weber (1966); J.D. Comhair dan Werner J. Cahnman “How Cities Grew: The Historical Sociology of Cities” (1959) dan John Friedman, “Cities in Socia Transformation” dalam Comparative Studies in Society and History” (1961) membedakan kota dari berbagai segi dan perkembangan kota yang dipengaruhi banyak factor (Ipoleksusbudhankam – intern, eksternal).

Dalam perspektif sejarah dan budaya, monument, patung, benda cagar budaya, gedung-gedung monumental, dan sejumlah ikon lainnya seperti hutan dan taman kota, fasilitas public lainnya merupakan asset kota, identitas, citra dan warna kota. Semua bisu tapi memiliki makna, ibarat sejarah bisu.

Sejarah bisu suatu kota dapat memberikan identitas dan kedudukan, sejauhmana peran kota tersebut dalam sejarah bangsa, salah satunya dapat ditentukan oleh sejarah bisu kota itu. Kota seperti ini memberi warna dan keunikan tersendiri dalam menunjang pariwisata. Misalnya, kota-kota kuno yang mempunyai peradaban tinggi dan terkenal serta dicatat dalam berbagai buku sejarah dunia. Katakanlah kota Mohenjodaro dan Harappa, kota-kota kuno Yunani dan Romawi, ataupun sejumlah kota yang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kota lain dan termasuk dalam tujuh keajaiban dunia. Kota-kota sejarah dunia dan pusat peradaban, dapat disebutkan, Taj Mahal di India, Tembok Cina, termasuk Borobudur di Jawa Tengah – Indonesia, dsb. Apa yang bisa dibanggakan Manado? Jakarta misalnya dengan patung-patung dan monument menjulang tinggi-pencakar langit memberikan identitas, symbol dan citra sebagai bagian dari denyut nadi kehidupan dan kebanggaan warganya.
Kota Manado sebagai suatu kota yang diusung untuk memposisikan diri sebagai kota pariwisata atau pun wisata dunia 2010 oleh Walikota Manado ‘Jimmy Rimba Rogi’ memiliki sejarah bisu itu. Kita mulai saja dari arah timur ‘Bandar Udara Sam Ratulangi’ merupakan salah satu ‘destination’ pintu masuk wisatawan.

Image Wisatawan
Secara psikologis ada kesan luar biasa ketika para wisatawan mulai menginjakkan kakinya di Bandar Udara Internasional ‘Sam Ratulangi’ Manado. Apa itu? Pemandangan alam indah, pohon kelapa berderet beribu-ribu seperti barisan tentara yang siap berperang. Hijau mek! Tak perlu guide untuk menjelaskan segala sesuatu yang bisu itu. Wisatawan mempunyai image nya sendiri tentang apa yang disaksikannya. Apalagi kalau wisatawan yang datang itu adalah peneliti ahli, sejarawan dan budayawan, dia paham benar sebagai akademisi bahwa bangsa-bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di bagian Timur Indonesia bukan untuk mencari emas, tetapi hasil-hasil pertanian seperti kelapa-kopra, cengkeh, fuli-pala, vanili, kopi, beras, dammar, kayu cendana dsb. Manado sendiri pada periode Spanyol-Portugis, abad 16 dan 17 dikenal sebagai pulau damar penghasil tali ijuk dan beras.

Keluar dari lokasi parkir Bandar Udara, wisatawan diperhadapkan dengan lingkungan bersih, tertata rapi, jalan yang baik dan, beberapa menit kemudian, eh …. What’s that? Itu adalah monument Adipura Kencana, suatu monument peringatan terhadap keberhasilan pemerintah dan warga Kota Manado dalam klasifikasi Kota terbersih di Indonesia, demikian kata supir taxi kepada wisatawan. (makanya supir taxi perlu melek pariwisata). Tugu ini memberi image bahwa orang Manado adalah suatu masyarakat yang peduli kepada hidup bersih dan sehat. Roh dari kebersihan adalah budaya disiplin dan taat pada aturan. Akan tetapi, budaya bersih orang Manado perlu diingatkan. Baca: Daerah bebas sampah! jam buang sampah dari 18.00 -06.00 wita; Dilarang berjualan di atas trotoar (eh .. masih tetap jualan, trotoar milik pejalan kaki) “Jumat Pagi (Jumpa) – Bersih Lingkungan Anda (Berlian). Jumpa Berlian merupakan salah satu program pemerintah kota untuk mengingatkan anda dan saya supaya bersih lingkungan selalu. Tapi pak. Amatanku, Jumpa Berlian masih Top Down, harusnya Bottom Up, … bagaimana ya supaya seluruh elemen masyarakat sadar terhadap kebersihan lingkungannya? Sampaikan pentingnynya kebersihan dan akibatnya kalau tidak bersih melalui seluruh jenjang pendidikan di sekolah, mimbar-mimbar Gereja dan Mesjid dan berbagai kesempatan dan kesempitan perlu disiapkan kantong atau tong sampah. Awas, dilarang buang sampah … kawasan percontohan, mana tong sampahnya?

Dari Lengkong-Wuaya – Sampai Piere Tendean dan Wolter Mongisidi
Lanjut ke sejarah bisu kota, didepan ada Monument-Patung Tonaas – Waraney Lengkong Wuaya, sebagai salah seorang pahlawan Minahasa yang melegenda mampu mempertahankan kehormatan rakyat Minahasa terhadap perompak-perompak Mindanao yang menginjakkan kakinya di bumi Toar dan Lumimuut tanpa izin. Lebih jauh mengenai Lengkong Wuaya, baca buku yang ditulis oleh Dayo - berjudul “Pahlawan Minahasa, Lengkong Wuaya …. Kemudian Taman Makam Pahlawan Kairagi, Patung Kuda di perempatan Paal Dua (sampai era tahun 1980-an pacuan kuda di Ranomuut merupakan salah satu alternative wisata atraktif di pinggiran kota Manado), kemudian ada Patung Toar dan Lumimuut, yang melegenda sebagai Nenek moyangnya orang Minahasa. Teman seprofesiku, Dosen di Jurusan Ilmu Sejarah bahkan menulis sebuah makalah dengan judul Legenda Toar Lumimuut ‘Historis yang Ahistoris, bahkan seorang Teolog pernah bertanya-tanya, benarkah Lumimuut kawin dengan Toar yang adalah anaknya sendiri? Terlepas dari polemik akademik tetapi fakta social orang Minahasa telah menerimanya sebagai nenek moyang. Itulah sebabnya, akar sejarah munculnya konsep “Torang Samua Basudara”.

Monument Dr. Sam Ratulangi di Bundaran Wanea Karombasan (salah satu tokoh dan pahlawan Nasional sejaman dengan Soekarno, Moh. Hatta dalam sejarah Pergerakan Indonesia), selanjutnya, Monumen Walanda Maramis (pejuang harkat dan martabat wanita Minahasa, pendiri Percintaan Ibu terhadap Anak turun-temurunnya (PIKAT) yang organisasinya masih eksis sampai sekarang. Penulis menyayangkan gedung tua PIKAT di pertigaan jalan Samrat, Wanea, Sario awal tahun 80-an dibongkar, padahal itu merupakan salah satu ikon kota yang berperadaban tinggi. Nyatanya sekarang diatas tanah tersebut tidak dibangun apapun baik taman ataupun hutan kota sekalipun tidak, alias tabiar. Harusnya itu, kalau ada sekarang dapat dijadikan museum wanita Minahasa.
Selanjutnya, monument-patung Kapten Piere Tendean (salah satu korban kebiadaban Partai Komunis Indonesia dalam Peristiwa gerakan 30 September 1965. Kemudian, monument-patung Wolter Mongisidi, salah satu pahlawan nasional yang berasal dari suku Bantik-Minahasa yang berjuang di Sulawesi Selatan. Kata-kata terakhir yang ditulisnya dan diselipkan dalam buku ‘Injil’ sebelum ditembak dengan mata terbuka di depan regu tembak yaitu ‘Setia hingga akhir dalam keyakinan’ – untuk Tuhan yang diyakininya dan untuk Bangsa dan Negara Indonesia.

Di pusat kota, areal Pasar 45, ada Tugu Peringatan Pendaratan Batalyon Worang melalui Pelabuhan Manado, dengan misi khusus pemerintah pusat – Jakarta untuk mengamankan pergolakan di daerah yang dikenal dengan nama Perang Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Kemudian Tugu Patung Dotulolonglasut dan Waruganya terletak di Manado titik nol, pusat keramaian kota. Dotulolonglasut, adalah seorang Tonaas suku Tombulu, Si Ruru Ares tumani dari Negeri Ares mendirikan Wanua Wenang. Oleh penulis Taulu menyebut bahwa Wenang adalah nama purba dari nama Kota Manado. Harusnya tugu ini lebih diperhatikan, apalagi beliau adalah dotu/tonaas kita. Seandainya tugu itu dapat berbicara, dia akan katakan: ‘kiapa ngoni so bajual samua di sini, kita so panas so nimbole ba’gra, so nda baku hormat … so jadi tampa kincing, sampah, … I yayat u santi, uuh!’
Di era Manado Kota Model Ekowisata sekarang, symbol kota lebih kepada Tugu Zero Point, sebagai pusat peradaban Macet di Manado.

Penutup
Sejarah bisu kota adalah bunga kota, keindahan kota. Dengan berbagai cerita dibalik pembuatannya, warisan sejarah-budaya yang kaya akan kenangan ini tetap berdiri mengiringi jaman. Sejumlah sejarah bisu kota nampak ‘ta biar, perlu perhatian pemerintah kota untuk menambah keindahan kota. Bahkan banyak dijumpai, kejernihan sejarahnya hilang ketika dilokasi monument tersebut ‘hidup sejumlah PKL’ atau menjadi rebutan sejumlah instansi pemerintah dan swasta seperti berdirinya tiang listrik PLN, lampu hias kota, kotak besi Telkom, sejumlah bendera organisasi tertentu, dan lampu pengatur jalan, merah-kuning-hijau dari Dinas Lalu-Lintas belum lagi dengan sejumlah iklan yang ditempelkan dibadan monument. Seorang teman mahasiswa asal Amerika yang sedang mengikuti program Consortium for Teaching Indonesian and Malay (COTIM) di Pusat Bahasa Unsrat mengatakan, apakah suatu badan atau instansi tidak peduli dan memperhatikan, memelihara tugu/monument ini? Dispar misalnya atau ada lainnya? Selanjutnya dikatakan, banyak orang yang saya tanya mengenai monument/tugu yang di Manado, mereka tidak tahu!! Apakah di sekolah tidak diajarkan tokoh-pahlawan bangsa? Adakah nasionalisme pada bangsa ini?

Sejarah bisu ini ibarat bunga. Tanpa semuanya itu, kota dapat diumpamakan suatu pohon yang tanpa daun, buah dan bunga. Nyatakan kasih dan sayangmu Pak Walikota Pak/Bu Dispar dengan bunga, artinya kalau kita cinta kota kita siramlah bunga-bunga itu karena maknanya tak terukur. Belajar dari ibu kota dengan karakter ‘bunga-bunga’ monument Kota Jakarta yang menjulang tinggi dan dirawat-bahkan sekarang Jakarta sedang menghidupkan kembali kota lama Batavia. Kalau demikian, warga kota pun ikut merasakan roh nasionalisme, roh cinta kota dan roh kebanggaan memiliki kota Manado yang mempunyai sejarah dan peradaban yang tinggi setaraf dengan kota-kota lainnya. Untuk itu, berbenah diri dan tetap merawat negeri adalah kewajiban kita bersama, bahu-membahu pemerintah dan warganya agar kita dapat menikmati keindahan sejarah bisu kota kita juga untuk wajah wisata kota kita sebagai bagian dari sejarah kota Manado tercinta.

Lembah Tikala Manado

0 komentar:

Posting Komentar