Oleh: Fredy M.S.B. Wowor**
I
Mengawali tulisannya tentang riwayat hidup Alexander, Plutarch, Pelopor penulisan biografi dari Yunani mengatakan :
“In writing the Lives of Alexander the Great and of Cæsar the conqueror of Pompeius, which are contained in this book, I have before me such an abundance of materials, that I shall make no other preface than to beg the reader, if he finds any of their famous exploits recorded imperfectly, and with large excisions, not to regard this as a fault. I am writing biography, not history; and often a man's most brilliant actions prove nothing as to his true character, while some trifling incident, some casual remark or jest, will throw more light upon what manner of man he was than the bloodiest battle, the greatest array of armies, or the most important siege. Therefore, just as portrait painters pay most attention to those peculiarities of the face and eyes, in which the likeness consists, and care but little for the rest of the figure, so it is my duty to dwell especially upon those actions which reveal the workings of my heroes' minds, and from these to construct the portraits of their respective lives, leaving their battles and their great deeds to be recorded by others.” (Plutarch,lives,volume 3,Alexander, 1892:300)
Bertolak dari pendapat ini, Saya dapat mengatakan bahwa dasar pemikiran
yang melandasi sebuah penulisan biografi adalah untuk menunjukan kualitas moral
seseorang.
II
Salah satu kenyataan yang paling ironis dari perjalanan sejarah repoblik ini
adalah berkembangnya pandangan bahwa Orang Manado adalah kaki-tangan Belanda. Pandangan ini lambat-laun membentuk stigma bahwa Orang Manado tidak bisa dipercaya.
Membaca riwayat hidup A.E.Kawilarang – Untuk Sang Merah Putih karya Ramadhan KH ini, kita dapat menemukan salah satu akar histories dari berkembangnya pandangan ini.
Pandangan yang menuduh orang Manado sebagai kaki-tangan Belanda ini ternyata berkembang seiring berkuasanya Jepang di Indonesia. Ini dapat dibaca pada kutipan berikut ini :
“Kemudian saya mendengar desas-desus di sana sini bahwa penangkapan terhadap orang-orang Indonesia, dan yang dimaksud adalah orang-orang Ambon dan Manado, akan dilakukan. Yang menyakitkan hati adalah desas desus itu dibarengi dengan tuduhan, bahwa sepantasnya orang-orang ini ditangkap, karena mereka – maksudnya orang-orang Indo, Ambon dan Manado – selalu di pihak Belanda. Mereka adalah orang-orang yang dianakemaskan oleh Belanda,katanya…. Dan tuduhan itu terasa lebih menyayat hati saya, karena justru terdengar pada waktu rasa nasionalisme tumbuh pada diri saya.” (Bab 3,hal:21).
“Tetapi di bulan juni 1944 saya mendengar lagi akan adanya razia. Orang-orang Manado dan Ambon lagi pada umumnya yang jadi sasarannya. Kali ini yang akan melakukannya adalah Keimubu(polisi).” (Bab 4, hal:26)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa selain orang Manado, orang Ambon dan orang Indo juga menjadi sasaran tuduhan ini. Dampak kemudian dari stigma seperti ini menurut saya adalah berkembangnya politik yang lebih bersifat rasialis.
Faktor lain yang ikut mengukuhkan pandangan ini adalah kenyataan bahwa orang Manado, orang Ambon dan orang Indo ini beragama Kristen. Ini terungkap pada kutipan berikut ini :
“Memang banyak penyakit begitu sedang merajalela dalam zaman revolusi sekarang ini, dengan alas an pihak yang dituduh itu anti-merah-putih, pengkhianatan, mata-mata, dan yang paling menyedihkan dituduh karena berasal dari suku Manado, Ambon atau karena beragama Kristen.” (Bab 5,hal:36).
III
Menjadi orang Manado di zaman Jepang, berarti menjadi sasaran tuduhan dan terlebih menjadi sasaran penangkapan dan penganiayaan. Ini bisa kita lihat pada kutipan berikut :
“Banyak orang di Palembang, Plaju, Sungai gerong yang ditahan dan disiksa , malahan sampai dibunuh kenpeitai. Sembilan puluh persen dari orang-orang yang ditahan itu adalah orang-orang Ambon dan Manado” (Bab 3,hal:20)
Sebagai orang Manado, Alex Kawilarang tidak luput juga menjadi sasaran penangkapan. Ia menjadi tawanan perang Jepang di Bandung tahun 1942. tapi ia berhasil melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Batalyon Depot Bandung, 21 April 1942. Besok kami akan digunduli. Ya, besok kami akan diberi tanda khusus yang bakal tambah menyulitkan. Melarikan diri dari kamp tawanan perang sesudah digunduli tentu mudah ditangkap kembali. Cuma malam ini kesempatan yang masih ada pada saya. Saya sudah bertekad. Bulat tekad saya.”
(1988:5)
“Waktunya tiba. Jam sepuluh malam. Udara dingin menusuk. Saya sudah menetapkan, kami dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tiga orang, yaitu saya, Rachmat Suryo dan Tjhwa Siong Pik. Kelompok kedua terdiri Soeprapto dan kadir,. Sedang kelompok ketiga adalah Mokoginta dan Suprio. Saya sudah tetapkan cara kami keluar dari daerah tawanan ini. Saya katakana, kalau kelompok pertama sudah keluar, hendaknya kelompok yang kedua jangan segera mengikuti kami. Tunggu dulu barang lima menit. Setelah itu barulah kelompok kedua boleh keluar. Begitu juga halnya dengan kelompok ketiga.” (Bab 1, 1988, hal:6)
Dia tertangkap kembali pada tahun 1943. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Pada suatu hari, di bulan November 1943, sewaktu saya masih tidur, pagi-pagi sekali Kenpei menangkap saya dan dengan sebuah truk saya dibawanya ke penjara. Di sana saya tahu bahwa ini merupakan razia. Orang-orang Manado, Ambon, Indo dan beberapa orang lainnya ditangkap.”(Bab 3,hal:21-22)
Dalam tahanan ia mengalami penganiayaan. Ini bisa dilihat pada kutipan berikut :
“Kedua belah tangan saya diikatnya sesudah kedua pergelangan tangan saya dibungkus dulu dengan anduk. Tentu saja ketika itu juga terasa sakit di kedua belah ujung pundaksaya…. tindakan si Jepang itu berikutnya adalah menarik dulu tali itu sampai kedua tangan saya sudah di belakan, di atas kepala saya, talidiikatkan pada tiang yang lain dan lalu menendang bangku tempat saya berdiri, sehingga dengan seketika badan saya tergantung. Bukan main sakitnya…. Kemudian diambilnya setangkai tongkat…. Tiba-tiba ia mulai dengan memukul saya. Mulai dari kaki sampai ke pundak. (bab3,hal:23-24)
Selain mengalami langsung siksaan dari jepang, dia juga menjadi saksi dari kekejaman jepang terhadap tahanan-tahanan lainnya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Saya dibawa dengan kendaraan si Jepang itu ke asrama polisi tanjung karang. Saya ditahan di sana. Dimasukan ke dalam sel kecil berukuran 1 X 2 meter. Celaka ! Cuma ada satu lobang tempat mengintip ke luar…. Di sebelah kiri dan kanan saya orang Manado juga. Yang di sebelah kiri Kalesaran namanya. Lama ia tidak diperiksa. Setelah satu kali ia diperiksa, ia menghilang begitu saja. Kelak baru saya tahu, bahwa setelah ia diperiksa satu kali itu, ia tidak kembali, meninggal…. Disamping saya menyaksikan orang-orang disiksa, saya sendiripun disiksa.tangan saya dikebelakangkan, diikat. Kakisaya dirapatkan, diikat. Paha saya diikat. Punggung dan dada saya diikat. Saya dikerek. Ditelentangkan. Dipikuli. Dinjak. Ditempeleng muka saya. Habis-habisan. Paling celaka adalah di-“waterproof”. Mulut dan hidung disumpal dengan handuk. Air dituangkan ke dalam mulut. Dengan begitu saya tidak bisa bernafas. Tetapi tiap kali saya dipaksa untuk bernapas. Itu berarti saya minum air yang dilogogkan. Dan bukan satu dua cangkir, melainkan selama tujuh jam saya disiksa begitu, sampai-sampai harus menghabiskan air sebanyak kira-kira dua puluh ember tempat lateks (Karet) yang isinya 20 liter. Tentu saja perut saya menjadi kembung. Mua-mula mereka bersiri di atas perut saya sampai air keluar…. Yang istimewa disini adalah bukan satu orang yang menyiksa saya . beberapa orang memukul saya, dengan tangan, dengan kayu, dengan lidi, dan ada yang menakut-nakuti saya dengan bayonet. Malahan ada yang menyiksa saya dengan garpu yang sedikit ditusukkan dan diputar ke perut saya…. Empat puluh hari saya ditahan di keimubu itu, dengan tujuh belas kalidiperiksa, diberondong dengan pertanyaan yang bukan-bukan, dan dipukuli habis-habisan.” (bab 4, hal : 27-28)
“Saya saksikan bagaimana seorang perempuan Tionghoa, yang pernah menyeludupkan barang ke Jakarta, disiksa oleh kenpei itu. Tak bisa lagi sayaceritakan disini. Selain ia dipukuli habis-habisan,ia pun diksa dengan rokok yang menyala, dengan ujung belati yang dipermainkan di depan buah dadanya”(Bab 3, hal:24-25)
IV
Pengalaman teraniaya sebagai tahanan Jepang ini pada akhirnya mendidik Kawilarang menjadi satu pribadi yang cerdas, berperasaan dan kuat. Satu pribadi dari seorang pemimpin. Pribadi seorang Touna’as.
Berdasarkan penuturan orang-orang tua, Bert Supit menuliskan bahwa kualitas seorang pemimpin di Minahasa diukur dengan pa’eren telu (tiga yang diperlukan) yaitu
Ngaasan, mempunyai otak, Niatean, mempunyai hati. Mawai, kuat dan dapat diandalkan.
Sebagai pribadi yang punya otak, kawilarang menampilkan diri sebagai orang
yang suka belajar. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Saya dibesarkan ditengah suasana colonial yang kemudia digoncangkan oleh kedatangan jepang. Waktu usia dua belas tahun di tarutung, saya sudah tertarik untuk belajar contoh-contoh perang kecil, sering membaca buku tentang anti gerilya dan gerilya. Malahan pernah saya diperbolehkan ikut serta latihan patroli satu hari suntuk antigerilya” (Bab 2, hal:13)
“Tentang diri saya sendiri ? Saya malahan mendapat studi wajib. Saya “Disekap” di kamar, diharuskan belajarkarena angka-angka saya kurang . Artinya, angka-angka saya untuk matapelajaran yang bukan militer, kurang sekali…. Tetapi ganjilnya adalah, dalam mata pelajaran yang saya sukai, dan itu adalah mata pelajaran yang khas militer, seperti pendidikan infanteri,serangan,pertahanan,taktik dengan antara lain mendekati musuh (naderingsmars), memperlambat pertempuran sambil mundur(vertragend gevecht) yang saya sudah duga akan dipergunakan jika jepang mendarat, gerilya dan antigerilya, menembak, latihan mars jauh dan cepat, haling rintangan, anggar, saya mendapat angka yang bagus. Malahan yang mendaat tanda istimewa sebagai satu-satunyadi seluruh KMA yang lulus dengan predikat “Ahli segala senjata” (meester in alle wapens) , ialah lulus dalam teori dan praktik mempergunakan anggar sable, floret dan senapan.”(Bab 2, Hal : 16)
“Ada keinginan pada saya untuk belajar. Dan kesempatan itu adanya di luar negeri. Maka pada suatu kesempatan bertemu dengan KSAD Jendral Nasution saya mengemukakan isi hati saya, dantawaranpun diajukan kepada saya untuk jadi atase militer.” (Bab 52, hal:285)
“September 1956, saya berangkat ke Washington,DC, Amerika Serikat, sebagai Atase Militer.” (bab 53,hal:287)
Sebagai orang yang mampu mengembangkan apa yang telah ia pelajari baik itu yang didapatkan dari pendidikan formal maupun yang didapatkan langsung dari pengalaman. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
Ketika diangkat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra Utara sekaligus gubernur militer, Kawilarang mempelopori pembentukan pasukan khusus.
“Saya anggap perlu adanya pasukan khusus di Sumatra Utara, serupa pasukan komando(Green Berets) Inggris waktu perang dunia II. Maka saya bentuk satu kompi di bawah pimpinan Kampten B. Nainggolan di bulan februari 1950. tanda kompi itu, pada lengannya dipakaikan tulisan Ki-Pas-Ko, yang artinya Kompani Pasukan Komando.” (bab 37,hal:192).
“Saya merasa, gangguan-gangguan yang ditimbulkan DI/TII ini sangat merugikan kesatuan-kesatuan. Untuk melawan gerakan-gerakan gerombolan yang mobil itu, saya perhitungkan, perlu dibentuk suatu kesatuan yang terlatih bertempur secarakesatuan kecil sampai dengan dua orang saja, dan all round. Dan itu harus diciptakan, diadakan…. Dari latihan komando angkatan pertama ini dapat dihasilkan satu kompi operasional yang diberi nama Ki A…. tahun 1953, Ki Komando pertama ini (Ki A) diikutsertakan dalam operasi-operasi penghancuran DI/TII di daerah TT III/Siliwangi. Hasinya sangat memuaskan, terutama pada penyergapan konsentrasi gerombolan di gunung Rakutak….Begitu, teruslah berkembang kesko TT III/Siliwangi ini yang selanjutnya ditimbang terimakan pada tahun 1953 kepada inspektorat infanteri AD. Namanya diubah menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat dengan kependekkan KKAD…. Kemudian terkenal dengan sebutan RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat), Palu RPKAD (Resimen Para KomandoAngkatan Darat), kemudian Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha), kemudian Kopassus (Komando Pasukan Khusus).
“Saya harus membohong,terpaksa harus membohong waktu itu. Itulah ilmu yang tepat untukdipraktekkan di zaman Jepang. Celaka kita bicara jujur pada waktu itu.” ( Bab 3, hal:18)
Sebagai pribadi yang punya hati, kawilarang menunjukan keberanian, keuletan dan kesanggupan merasakan perasaan pengalaman orang lain. Ini bisa dilihat pada kutipan berikut :
“Di jalan cikini yang akan membelok kearah jalan cilacap, pint jalan kereta api ditutup…. Di depan mobil kami ada sebuah mobil lain. Saya perhatikan benar. Seorang belanda dengan mengenakan pakaian seragam ada di dalam mobil itu…. Tiba-tiba mesin mobil yang dikemudikan tentara belanda itu berhenti. Mati. Kelihatan ia mencoba menghidupkan mesinnya, mengocok gas. Tetapi mesin mobil itu tetap mati…. Saya berkata kepada Mokoginta,”Moko, deze vent wordtdadelijk vermoord. (Moko, orang ini sebentar juga akan dibunuh). Percuma. Dia sendirian. Lebih baik kita Bantu mendorongnya.” Orang belanda itu menengok lagi ke belakang. Saya mangut-mangut, memberi isyarat. Ia seperti tidak percaya…. Maka Mokoginta yang mengemudikan mobil kami memajukan kendaraan kami sampai mencium bumper belakang mobil belanda itu. Bergerak, mesinnya hidup dan majulah mobil belanda itu. Dan si belanda itu mengacungkan jempolnya, lalu menggerakkan tangannya memberi hormat sambil menancap gas. Kemudian menghilang.” (Bab 7,hal:47-48)
(Berdasarkan kutipan ini kita bisa melihat kualitas moral seorang Touatean atau manusia yang punya hati sebagai salah satu criteria seorang touna’as dalam diri Kawilarang)
“Pada suatu hari datanglah polisi tentara denan seorang tahanan anggota Angkatan Bersenjata kita. Orang itu, setelah beberapa hari saja Belanda menduduki Sukabumi, sudah melporkan banyak pejuang kiata kepada TIVG(Territoriale Inlichtingen en Veiligheid Groep = Grup informasi Teritorial dan Keamanan) Belanda…. Saya belum pernah menghukum mati di luar pertempuran. Maka saya membicarakannya dengan kepala staf saya, Taswin. Pada waktu itu saya tringat kepada perkataan Benjamin Franklin tentang pengkhianat-pengkhianat waktu perang kemerdekaan Amerika Serikat. “They that can give up essential liberty to obtain a little temporary safety, deserve neither liberty nor safety.” (Barang siapa meninggalkan kemerdekaan hakiki untuk mendapatkan sedikit keamanan sementara, tidak patut memperoleh kemerdekaan maupun keamanan.) Maka kemudian setelah itu saya memberikan jawaban kepada polisi tentara kita,’tembak.’” (bab 22,hal:109)
(Sikap tegas seorang pemimpin dalam situasi tertentu.)
Sikap kawilarang yang lain bisa dilihat ketika ia mesti mengurus kapal terbang PBB yang mendarat darurat di Cilauteuteun karena kabut. Penumpangnya seorang colonel Amerika Serikat dan tiga orang Belanda yang masing-masing berpangkat mayor, sersan mayor dan prajurit. Ketika mereka dipisahkan Kawilarang mendengar prajurit belanda itu bertanya kepada yang berpangkat mayor apakah mereka akan ditembak mati. Dia disuruh diam oleh mayor itu. Saat mendapat keputusan dari Yogya pada jam 2 tengah malam untuk melepaskan ketiga orang Belanda itu, Kawilarang memutuskan langsung mengabarkan kabar gembira ini kepada mereka alasannya,”Lebih baik sekarang mereka diberi tahu supaya mereka masih bisa tidur setengah malam ini dengan tenang.” Kawilarang ingat betapa setiap orang yang dalam tahanan selalu merasakan bahwa tiap jam dari hidup mereka mungkin akhir dari hidupnya. Ini adalah hasil refleksinya ketika menjadi tahanan kenpeitai. Sikapnya ini kemudian mendapat penghargaan dan hormat tentara-tentara Belanda itu. Sikap dari Kawilarang ini adalah wujud dari semangat ksatria seorang prajurit.
Dalam pidato timbang terima tanggal 27 desember 1949 di markas tentara Belanda, di jalan serdang ,Medan. Kawilarang mengatakan khusus pada Jendral P. Scholten, Panglima Tentara dan Teritorium Komando Sumatra Utara, “Sekarang beberapa kata pribadi untuk anda. Tahun-tahun terakhir ini kita berdiri berhadapan, masing-masing dengan keyakinan untukmemberikan yang paling berharga kepada tanah airnya. Bulan-bulan terakhir ini kami telah bisamengenal anda dengan lebih baik dan menghargai anda sebagai bekas lawan, sebagai militer dan juga sebagai manusia” (Bab 35,hal:184).
Sebagai pribadi yang kuat dan dapat diandalkan, kawilarang mampu memimpin perang. Ia mampu memimpin kawan-kawannya melarikan diri dari tahanan Jepang, ia mempu memimpin pasukannya mengamankan Sumatra, serta melawan APRA,RMS, dan DI/TII.
Dia juga mampu menjunjung tinggi harga diri dan berpegang pada prinsip. Walaupun taruhannya adalah kesenangan pribadinya di masa depan. Ini bisa kita buktikan dengan pilihannya untuk bersama saudara-saudaranya membela piagam PERMESTA. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Bulan Maret 1958 saya menghadap duta besar Mukarto dan mengatakan, bahwa saya akan ke Sulawesi Utara. Sebelumnya saya sudah mengirimkan kawat ke KSAD, menabarkan bahwa saya meletakkan jabatan saya, berhubung tidak setuju dengan tindakan Pemerintah Pusat di Jakarta.” (bab 53,hal:292)
V
Apa yang bisa kita pelajari dari riwayat hidup seorang Alex E. Kawilarang?
Menurut saya, kualitas pribadinya merupakan teladan bagi kita di zaman ini untuk menjadi pemimpin. Menjadi Touna’as.
* Disampaikan pada bedah buku Untuk Sang Merah Putih tanggal 17 maret 2009
** Sastrawan, Peteater, Dosen jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unsrat Manado
0 komentar:
Posting Komentar