Minggu, 28 Agustus 2011

Ismail, Temanku di SMA Seorang Muslim


Oleh: Denni Pinontoan

Aku masih mengingat kenangan itu. Sekitar 14 tahun lalu, ketika itu aku masih di SMA Nasional Kawangkoan. Di kelas IPA Biologi kami, ada satu satu teman yang beragama Islam. Namanya masih aku ingat, Ismail Saleh. Dia seorang keturunan Gorontalo. Tinggal di Kelurahan Kinali. Tapi sebenarnya kompleks rumahnya di sebuah tempat yang biasa kami sebut Kampung Islam. Kompleks ini ada yang masuk di wilayah administrasi Kelurahan Kinali dan yang lainnya di Kelurahan Sendangan Kawangkoan. Sekitar 500 meter jaraknya dari terminal Kawangkoan. Di dekat kampung Islam ini, dulunya ada bioskop “Gembira”. Tapi sayang sekarang bioskop itu sudah tidak ada. Beberapa tahun lalu dilalap api.

Aku sebenarnya pindahan di SMA itu. Sesuatu terjadi waktu aku di SMA Negeri Motoling. Padahal waktu itu sudah kelas 3, kelas ujian. Tapi karena sesuatu itu maka terpaksi aku harus pindah di SMA Nasional di Kawangkoan. Sampai guruku mengapa aku nekat pindah di saat dekat ujian akhir seperti itu.

Di sekolah ini aku bertemu dengan temanku itu. SMA ini sebenarnya dikelolah oleh Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), salah satu denomiasi gereja di Minahasa yang berdiri pada tahun 1933. Waktu pertama masuk kelas, seperti murid baru lainnya, aku masih asing dengan suasana dan orang-orang di sekolah itu.

Is, begitu kami biasa memanggil teman yang muslim itu. Awalnya tak aku tahu kalau dia seorang muslim. Sebab, logatnya sangat kental Kawangkoan.

Tapi, beberapa hari di sekolah itu, setelah akrab dengan teman-teman sekelas, aku baru tahu bahwa Is adalah seorang muslim. Teman yang lainya ternyata bermacam-macam juga denominasi gerejanya. Alva Tandaju, temanku yang lain, belakangan aku tahu ternyata adalah anggota jemaat gereja Advent Hari Ketujuh. Aku tahu itu, setelah hari Sabtu pertama di sekolah itu dia tidak masuk kelas. Aku kira dia absen. Setelah bertanya kepada teman-teman yang lain, mereka bilang hari Sabtu adalah hari Sabat bagi Alva.

Aku masih ingat suatu hari, bertepatan dengan lebaran Is, kami teman-teman sekelas mendapat undangan ke rumahnya. Senangnya bukan main. Sebab yang ada di kepala kami waktu itu, undangan itu pasti sangat terkait dengan makan-makan. Dan, benar itu yang terjadi. Kamipun ke rumahnya. Memang tidak semua. Tapi waktu itu cukup ramai.

Di rumah Is, seperti yang kami duga, kami memang benar-benar makan. Habis makan hidangan khas lebaran yang enak, kamipun santai ngobrol. Di meja kecil di ruang tamu kue-kue bermacam-macam ”merk” tersaji manis. Orang tua Is juga sangat senang menerima kami. Ini sangat serasi dengan huruf-huruf kaligrafi Arab yang dihias di dinding. Meski kami tidak mengerti artinya, tapi hiasan-hiasan huruf itu menggambarkan religiusitas keluarga Is. Tidak ada perasaan apa-apa pada kami. Yang kami tahu hari itu bahwa Is adalah teman kami sekelas dan hari itu adalah hari sucinya. Ditambah dengan keramahan keluarganya, maka jadilah acara itu adalah juga acara kami, seperti hari Natal rasanya.

Memang, ketika dikelas sehari-hari kami adalah teman. Seperti saya berteman dengan teman-teman yang Kristen lainnya. Meski Is adalah muslim dan Gorontalo, tapi tidak ada perbedaan agama dan ras di antara kami. Kami juga sering berbagi rokok. Kebetulan waktu itu, meski masih SMA dan sangat dilarang oleh guru, saya, Is dan beberapa teman lainnya sudah merokok. Kecuali Alva yang karena dia Advent maka tidak bisa merokok. Aku tak tahu apakah sekarang dia merokok atau tidak. Mudah-mudahan dia sudah merokok, sehigga nanti kalau ketemu bisa berbagi rokok. (he..he...).

Aku baru sadar sekarang betapa masa di SMA itu adalah masa yang paling menyenangkan ketika bicara perbedaan agama. Sebab, waktu itu tidak ada dalam pikiran dalam kami soal bahwa hanya Kristen yang paling suci dan Islam kafir misalnya. Aku tahu tahu mengapa begitu. Yang jelas, kalau beribadah, ya kami beribadah seperti lazimnya ibadah-ibadah sekarang ini.

Temanku Is itu orangnya ramah dan sangat bersahabat. Tak ada yang kurang berteman dengan dia dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Waktu itu, aku juga belajar dari teman-temanku yang lebih dulu mengenal Is. Mereka tak memandang Is sebagai satu-satunya yang muslim di antara mereka yang Kristen. Sebaliknya, Is juga tak merasa rendah diri atau was-was bersahabat dengan kami. Bila makan bersama, kamipun sudah tahu bahwa Is adalah muslim dan tidak makan makanan diharamkan oleh islam. Dan, Is tak perlu merasa khawatir bila bersama-sama kami ketika makan di kantin sekolah.

Di antara kami memang tak ada perbincangan serius soal ajaran agama masing-masing. Namun, beberapa cerita lucu seputar ajaran agama sering menjadi hiburan kami. Kami seolah-olah saling mengejek, tapi cara menyampaikannya secara berkelakar. Dan, kami pun tahu itu bahwa cerita lucu itu tidak benar dan memang hanya hasil karangan kami atau didengar dari orang lain.

Sekitar 4 atau 5 tahun lalu, ketika aku kembali ke Kawangkoan untuk penelitian skripsi di Kampung Islam itu, aku berencana untuk bertemu dengan Is. Tapi waktu itu tak ketemu. Kata orang-orang sekitar rumahnya, Is lagi ke Gorontalo. Kata mereka Is juga sudah kawin. Aku ingin sekali bertemu dengan dia waktu itu.

Namun, sejak tamat SMA sampai hari ini aku tak pernah lagi bertemu Is. Waktu acara penamatan, lazimnya anak-anak sekolah waktu itu, kami juga coret-coretan baju seragam. Memang kata orang tua waktu itu tidak baik. Tapi euforia kami mengalahkan itu. Mudah-mudahan kami, anak-anak yang nakal ini bisa dimaafkan oleh orang tua kami. He..he...

Kenangan waktu SMA bersama Is itu sangat menyenangkan, dan menjadi kenangan tesendiri bagiku. Betapa, massa itu perbedaan agama adalah sesuatu yang wajar, dan tak ada yang perlu dirisaukan. Perbedaan mestinya dirayakan bukan dihancurkan. Sebab, dengan perbedaan kita bisa saling berbagi, saling belajar, dan banyak hal lainnya. Di kelas IPA Biologi SMA Nasional, bersama Is dan teman-teman lainnya aku banyak belajar bagaimana hidup dalam perbedaan adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena saya yakin bahwa persahabatan kami itu ada tulus.


0 komentar:

Posting Komentar