Minggu, 28 Agustus 2011

KH. Arifin Assagaf: Maknai Semangat Keislaman dalam Permesta

Oleh: Denni Pinontoan

Tanggal 2 Maret 1957 malam, seorang pemuda keturunan Arab, Jawa dan Minahasa harus memilih jalan lain dalam hidupnya. Ia memilih untuk berjuang bersama Permesta ketimbang berangkat ke Surabaya untuk sekolah. Dia juga harus melepas pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri di kantor Jawatan Pertanian Rakyat Maluku Utara. Pemuda itu, bernama Arifin Assagaf. Usianya masih 26 tahun lebih 3 bulan. Ayahnya, seorang yang punya jabatan di Maluku Utara, bingung setengah mati.

Kabar Proklamasi Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang diumumkan oleh Ventje Sumual dan kawan-kawan di Makassar cepat menyebar ke seluruh nusantara. Proklamasi Permesta diumumkan pada 2 Maret 1957 di Gubernuran Makassar. Pengumuman itu diambil dalam sebuah pertemuan yang berlangsung dari jam 03.00 sampai jam 06.00 sore.

Arifin pada malam itu berada di atas kapal yang sedang bersiap-siap menuju ke Surabaya. Tak pikir panjang Arifin turun dari kapal. Di tangannya ada selebaran Proklamasi Permesta. Secara tiba-tiba dia urungkan niatnya ke Surabaya gara-gara membaca selebaran itu. Semangatnya berkobar.  

”Saatnya melawan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap rakyat di Indonesia bagian Timur,” pikirnya.

Dia segera berkeliling kota Ambon dan menyebarluaskan naskah kopian Proklamasi Permesta. Diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, baginya sudah berada di luar batas toleransi. Dia mengingat kejadian awal tahun 1956. Waktu itu dia dan satu temannya dari Maluku Utara mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah untuk belajar ke luar negeri. Rencananya Arifin akan ke Kanada. Temannya yang satu akan Fransisco, Amerika. Namun, pada saat sudah mau berangkat, rencana itu batal.

Pemerintah pusat merubah jumlah peserta yang akan belajar ke luar negeri. Dari rencana 60 berubah menjadi hanya 50 orang. Beberapa orang dari Indonesia Timur dieliminir, termasuk Arifin dan teman yang sama-sama dari Maluku Utara. ”Kebanyakan yang dikirim pemuda-pemudi dari Jawa saja.”

Kejadian itu membekas di hatinya. ”Semua Jawa. Orang-orang Jawa saja yang diprioritaskan pemerintah!”

Arifin tidak menerima cara-cara pemerintah pusat seperti itu. Meski sebenarnya di dalam dirinya mengalir darah Jawa, yaitu dari neneknya. Tapi, bagi Arifin, pembedaan itu adalah bentuk ketidakadilan. Naskah Piagam Permesta yang ada ditangannya menegaskan kritik terhadap sentralisme yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Jakarta.   

Salah satu poin dalam ”Piagam Perdjoangan Semesta” menyebutkan: ”Penerimaan2 siswa di tempat-tempat pendidikan penting dalam negeri dan pengiriman2 siswa ke luar Negeri harus diberi quotum jang vast untuk Indonesia Bagian Timur.” Itu sangat pas dengan pengalaman Arifin di awal tahun 1956 itu.

Diskriminasi yang dialami oleh rakyat Indonesia Bagian Timur, dalam pandangan Arifin sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dia yakini. ”Dalam Islam, diskriminasi haram hukumnya. Juga tentu agama-agama lain yang percaya kepada kedaulatan Tuhan. Itu dilarang.”

Tekad Arifin muda berjuang dalam Permesta sangat bulat. Segera setelah mengambil keputusan untuk berjuang dalam Permesta, dia ke Manado. Di sini dia bergabung di Kompi II Permesta sebagai staff. Di kompi itu, ada temannya Jan Torar dan Kumontoy. Tak beberapa lama kemudian, dia ke Ternate. Waktu ke Ternate, waktu itu naik perahu. Di sana dia sempat menjadi kepala staff, semacam kodam sekarang. ”Torang pe pangkat waktu itu ja ator sandiri. Jadi, bisa dengan cepat menjadi pimpinan.”

Wilayah perjuangan Permesta meliputi hampir semua bagian Indonesia Timur. Dari Makassar, Minahasa sampai Irian Jaya. Pemimpin Permesta di Maluku dan Irian Barat adalah Jan Maximilian Johan Pantow, atau biasa disapa Noen (Nun) Pantow. Ia menjabat Komandan KDP-I ADREV PRRI di Maluku-Irian Barat.

Arifin termasuk tokoh Permesta yang tetap konsisten dengan perjuangannya. Karena tidak mau menyerah, akibatnya dia beberapa tahun mendekam di penjara. Pertama di Ternate, kemudian dipindahkan ke Ambon, ke Surabaya, Semarang, Madiun dan terakhir di Nusa Kambangan.

”Ketika saya ditangkap, anak saya pertama baru berumur 8 bulan dan nanti ketemu lagi pada usianya yang tiga tahun. Sampai-sampai dia tidak mengenal saya sebagai ayahnya. Anak saya itu diberi nama Taufik Permesta Assagaf Putra.”

Setelah bebas dari Nusa Kambangan, Arifin langsung ke Manado. Dia menetap di Kampung Arab, Manado. Waktu itu dia dilarang masuk ke Maluku Utara tanpa ijin.

Ada rokok dan kopi hitam yang selalu menemaninya
KINI, Arifin Assagaf sudah uzur. Dia lahir 6 Januari tahun 1931. Saya mewawancarai dia Kamis 28 Juli 2011 lalu. Arifin tinggal di sebuah rumah sederhana di Kelurahan Malendeng, Kec. Tikala, Kota Manado. Salah satu bagian rumahnya dijadikan sebagai Taman Pengajian anak-anak. Waktu saya dan Greenhill Weol ke rumahnya, anak-anak sementara berkumpul untuk belajar ngaji. Meski sudah uzur, tapi Arifin masih aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Satu yang khas padanya adalah rokoh gudang merah dan gudang garam surya yang selalu menemani dia. Arifin termasuk perokok berat. Kopi hitam, juga menjadi teman kesayangannya.

Arifin adalah ulama muslim yang sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan lintas agama di Sulawesi Utara, bahkan Indonesia. Masyaraka, pada umunya mengenal Arifin sebagai ulama muslim yang aktif dalam gerakan perdamaian. Dia pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Badan Kerjasama Antar Umat Agama (BKSAUA) Sulawesi Utara.

Marga ”Assagaf” yang melekat padanya sangat terkait dengan kisah migrasi Islam di Minahasa. Leluhurnya dari Hadramaut, Arab yang kemudian menjadi tokoh politik, Islam dan masyarakat di Palembang, Sumatera di masa kolonial. Namun, setengah dalam dirinya mengalir darah Suratinoyo dari Jawa dan Kawilarang dari Minahasa.

Prof. EA. Sinolungan pernah mewawancarai KH. Arifin Assagaf pada tahun 2001. Dalam wawancara itu, KH. Arifin Assagaf menceritakan bahwa datuknya, Raden Syarief  (Sayyid) Abdullah bin Umar Assagaf dari Palembang dibuang Belanda ke Manado pada tahun 1880. Kemudian pada tahun 1882 pindah ke Kampung Jawa Tondano. Umar kawin dengan Raden Roro Ruliah Suratinoyo. Ayah Raden Roro Ruliah Suratinoyo adalah Suratinoyo, waktu itu hukum tua Kampung Jaton. Ibunya, adalah salah satu anak perempuan Hukum Besar Kawilarang Tondano. Perkawinan inilah yang menurunkan keturunan Assagaf, yang salah satu generasi keturunannya adalah K.H. Arifin Assagaf. Sehingga, menurut Arifin, dia dengan Alex Kawilarang, salah satu tokoh Permesta, masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat.

Kemudian, dari perkawinan ketiga datuknya dengan perempuan bernama Meyer (orang Barat), lahir keturunan keluarga besar Assagaf, antara lain generasinya adalah tokoh NU Sulut, Hamid Assagaf dari Kampung Arab Manado. Saudara datuknya yang lain ke Ternate. Dia kawin dengan Raden Ayu Azimah, Putri sultan Badaruddin II.   

Nenek Arifin adalah generasi kedua komunitas Kampung Jawa Tondano, yang para leluhurnya dibuang oleh Belanda pada tahun 1831. Mereka dibuang ke Tondano karena terlibat dalam Perang Jawa atau Perang Dipenogoro yang terjadi pada tahun 1825 sampai 1830. Waktu itu ada sekitar 70 laki-laki pengikut Kyai Modjo dari Jawa yang dibuang oleh Belanda ke Manado dan kemudian ditempatkan di Tondano. Keturunan mereka itulah yang membentuk Kampung Jawa Tondano.

Komunitas ini berkembang karena terjadi kawin mawin dengan perempuan-perempuan Minahasa. Arifin mengamini bahwa perjumpaan pengikut Kyai Modjo yang muslim dengan perempuan-perempuan Minahasa adalah mujizat dari Allah SWT.

Ketika rombongan pengikut Kyai Modjo datang ke Tondano, waktu itu baru sekitar 22 tahun Perang Tondano (1808-1809) usai. ”Jadi, di masa itu ada semboyan dari mereka, ’Musuh Belanda, adalah kawan kita. Kawan Belanda adalah musuh kita. Nah, orang-orang buangan ini adalah musuh Belanda sehingga dengan muda diterima dan menjadi kawan orang-orang Minahasa,” tutur Arifin.

Orang-orang Jawa yang dibuang itu adalah orang-orang yang tidak pernah tahu gereja apalagi mendengar bunyi lonceng gereja. Tiba-tiba mereka dibuang di tengah-tengah masyarakat yang bukan seagama dengan mereka. ”Jadi, maksud Belanda adalah untuk menghancurkan mereka. Untung orang-orang Minahasa menerima mereka dengan terbuka, bahkan merelakan anak-anak perempuan mereka kawin dengan orang-orang buangan itu.”  

”Dengan pengalaman ini, saya kemudian menemukan makna dari perbedaan itu. Permesta menentang diskriminasi. Dan, Islam, bagi saya adalah keimanan untuk perdamaian,” tuturnya sambil meneguk kopi hitam yang hampir dingin.


1 komentar:

  • BrilliantJM says:
    29 Februari 2016 pukul 00.06

    artikel yang sangat mantap...

Posting Komentar