Rabu, 21 Desember 2011

Kopra, Pabrik Sabun hingga Permesta

Cerita tentang Kelapa di Minahasa


Oleh: Denni Pinontoan

Pada tahun 1920-an, Tanah Minahasa, sudah menjadi daerah kelapa. Di era ini, hampir setiap rumah tangga memiliki kurang lebih 50 pohon kelapa. Tonsea merupakan daerah yang paling subur untuk ditanami kelapa. Kelapa juga banyak ditanam di Manado, Amurang, Tondano, Ratahan dan Kawangkoan. Fenomena itu terjadi kurang lebih setengah abad ketika kelapa mulai dibudiyakan secara massal pada tahun 1870-an.

Namun, bukan berarti budidaya kelapa nanti pertama-tama terjadi tahun 1870-an itu. Tahun 1850-an, Nicolaus Graafland seorang penginjil yang bekerja pada NZG sudah melihat pohon-pohon kelapa yang ditanam sepanjang pantai Minahasa. Tahun 1885 Sidney J. Hickson, seorang naturalis berkebangsaan Inggris melakukan perjalanan ke Minahasa, Sangihe dan Talaud. Di Minahasa dia menyaksikan pohon kelapa yang sudah banyak ditanam.  

Catatan perjalanan Hickson mulai tahun 1885 itu diterbikan dalam bukunya, A Naturalist In North Celebes. Buku ini diterbitkan di London tahun 1889. Hickson mencatat, di tahun kedatangannya, salah satu komoditi ekspor Minahasa adalah kopra. Lainnya adalah kopi, kakao, pala, vanili, dan beberapa rempah-rempah lainnya. Tanaman kelapa, menurut Hickson bagi masyarakat Minahasa pada masa itu adalah tanaman yang punya nilai tinggi. Daun kelapa yang muda, biasanya digunakan untuk keperluan dekorasi pada saat ada acara pesta.

Sebuah buku berjudul Celebes, yang terbit di London pada tahun 1919 melaporkan, di bagian Utara Pulau Sulawesi, kelapa sudah banyak ditanam. Waktu itu, kopra dari Minahasa atau wilayah lain di pulau Celebes diekspor ke New York dan San Fransisco, Amerika. Di sana, kopra produksi antara lain menjadi margarine dan sabun.

Sebelumnya pada tahun 1917, gudang-gudang di Manado dijejali dengan kopra. Harga kopra jatuh. Penyebabnya adalah kurangnya pengangkutan barang ke luar. Selain di pelabuhan Manado, kopra dari Minahasa juga diekspor dari pelabuhan Amurang dan Kema.

Pada tahun 1920, Hindia Belanda mensuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia. Sekitar 1/3 di antaranya berasal dari keresiden Manado. Effendy Wahyono, yang melakukan penelitian sejarah kelapa di Minahasa untuk tesisnya di Universitas Indonesia, dengan judul, ”Pembudidayaan dan Perdagangan Kopra di Minahasa (1870-1942)” menuliskan, alasan orang Minahasa tertarik memproduksi kopra adalah, pertama, adanya permintaan yang tinggi pasar kopra dunia. Kedua, pengelolaahnya relatif praktis. Ketiga, tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.

Berbeda dengan budidaya kopi yang dilakukan dalam sistem tanam paksa, tanaman kelapa ditanam secara sukarela oleh orang-orang Minahasa. Kalau Graafland dan Hickson sudah menyaksikan pohon kelapa yang banyak di Minahasa di pertengahan abad 19, itu berarti budidaya secara massal pohon kelapa sudah terjadi di masa masih berlakunya sistem tanam paksa kopi. Ini yang menarik. Apakah penanaman pohon kelapa yang secara sukarela itu adalah bentuk protes terhadap sistem tanam paksa kopi yang nanti berakhir tahun 1899 itu? Entahlah. Butuh studi khusus tentang ini.

David Hanley mengatakan, kewajiban menanam kopi yang dihapus pada tahun 1899 membuat produksi utama Minahasa beralih ke produksi kopra. ”Tahun 1926 telah menguasai 90 persen dari nilai eksport,” tulisnya.

Menurut Hanley, kelapa sempat membawa kemakmuran bagi rakyat Minahasa di tiga dekade pertama abad 20. Harga kopra di pasaran dunia waktu itu cukup tinggi. Masyarakat Tonsea terutama yang paling merasakan berkat harga kopra dunia tersebut.

Puncak kenaikan harga kopra terjadi pada dasawarsa 1920-an. ”Pada masa itu petani kopra Minahasa banyak menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya seperti membeli kendaraan bermotor (mobil),” tulis Wahyono.

Karena harga kopra lagi bagus-bagusnya dan budidaya kelapa terus meningkat di wilayah keresiden Manado, maka banyak perusahaan perdagangan asing yang membuka cabang-cabanya di wilayah ini. Di Minahasa, sejak tahun 1920-an ada sekitar 10 sampai 12 cabang perusahaan asing. Sebagian besar adalah perusahaan milik pengusaha Belanda. Amerika Serikat, juga tak ketinggalan. Pada tahun 1927, sebuah perusahaan dari Amerika Serikat mulai mengekspor kopra dari Manado ke Pantai Barat Amerika, terutama Los Angeles. Pada tahun 1930-an, sebuah perusahaan Jepang juga beroperasi di Manado. Di masa itu, Manado menjadi salah satu titik temu perdagangan kopra global. Para pedagang biasanya lebih tertarik mengekspor kopra ke Amerika lantaran Amerika berani membeli harga yang tinggi.

Di masa harga kopra meninggi, petani-petani kelapa Minahasa banyak yang memperoleh pinjaman uang dari pedagang perantara dengan jaminan penyerahan kopra setelah masa panen. Banyak pula yang menyewakan kebunnya untuk masa waktu sampai lima tahun. ”Ketika harga kopra turun, petani tidak lagi mampu membayar hutang-hutang beserta bunganya,” tulis Wahyono.

Kebiasaan buruk ini terjadi terus menerus. Akibatnya, banyak tanah yang diambil alih oleh para kreditor untuk pembayaran hutang-hutang. Ini terutama terjadi di wilayah Tonsea, di mana penduduknya dikenal konsumtif. Tidak ada data pasti mengenai jumlah total hutang petani kelapa Minahasa di masa itu. Namun, ada sumber yang memperkirakan, hutang petani kelapa kepada para kreditor berkisar 2 sampai 5 juta gulden.

Depresi besar yang terjadi di Amerika mulai tahun 1929, yang kemudian berlanjut beberapa waktu lamanya sangat berpengaruh hingga di Minahasa. Pasar kopra dunia menjadi lesuh. Masyarakat Minahasa yang menikmati kemakmuran kejayaan harga kopra sebelumnya, tiba-tiba dikejutkan dengan anjloknya komoditi itu. Banyak petani kelapa yang tidak bisa membayar hutangnya kepada para kreditor.

Di masa krisis awal krisis yaitu tahun 1929, harga kopra di Manado turun antara 15 sampai 25 sen per Kg. Di tahun 1938 anjlok, menjadi 13 sen per Kg. Namun, menurut, Hanley, saat itu, penduduk Minahasa masih mampu mengatasi depresi dengan cara mengurangi jumlah pekerja dari Sanger yang digaji untuk memanen kelapa. Selain itu, rakyat Minahasa mulai kembali mengkonsumsi lebih banyak bahan makanan lokal daripada beras impor. Cara-cara ini mampu mengatasi resiko kekurangan makanan. Pemerintah di masa itu juga membuat program yang  membebaskan para petani kopra dari hutang mereka yang semakin menumpuk.

Tapi, cara ini tidak terlalu berhasil. Terutama di Tonsea, banyak petani kelapa yang harus merelakan tanahnya disita oleh para kreditor akibat hutang yang tak mampu dilunasi. Di harian Fikiran yang terbit di Minahasa sering memuat iklan lelang tanah-tanah yang dibeslah dari debitur oleh kreditur. Pada edisi 30 Juli 1932, misalnya hari Fikiran memuat iklan yang berbunyi begini:
”Lelang:1.      Satu kebun kelapa di Tonsea luas 10 bau denan 750 pohon kelapa berbuah
2.      Satu kuintal dengan rumah
3.      Satu kebun di Teteaga luas 60 tektek dengan 60 pohon kelapa berbuah
4.      Satu kebun di Kajawu, Kokolah luas 8 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
5.      Satu kebun di Likupang luas 6 tektek dengan 250 pohon kelapa (ada yang berbuah dan ada yang belum)
6.      Satu kebun di Likupang luas 3 tektek dengan 50 pohon berbuah
7.      Satu kebun di Kokoleh  Kaki luas 6 tektek dengan 300 pohon kelapa berbuah
8.      Satu kebun di Minewanua, luas 3 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
9.      Satu di Minawanua, Kokoleh luas 8 tektek dengan 80 pohon kelapa berbuah
10.  Satu kebun di Kokoleh Kaki luas 6 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
11.  Satu kebun di Kenari, Baru luas ¼ tektek dengan 10 pohon kelapa berbuah
12.  Satu kebun di Tomi-tomi, Baru, luas ½ tektek dengan 20 pohon kelapa berbuah
Kuintal dan kebun-kebun itu dijual dengan tanaman di dalamnya dan sudah dibeslah menurut kekuatan surat hutang (obligasi) dari Frederik Anah yang tinggal di Batu Tonsea. Eksekusi ini atas permintaan firma Hiap Hong di Manadi, dilakukan oleh Mr. M.R. Rinkel, advocast dan procureur Raad Justitie Makasar”
 
Untuk mengatasi hutang dari pedagang perantara terhadap petani, pemerintah mengeluarkan peraturan kontrak baru yang tertuang dalam Copracontrakten Verordening Manado (Staatsblad 1939, No. 93). Dalam kontrak tersebut diatur syarat kepada para pedagang perantara yang melakukan kontrak dengan petani. Sebaliknya, hak pedagang perantara juga mendapatkan perlindungan.

Pasar kopra dunia lesuh akibat krisis ekonomi global. Dengan demikian berarti pendapatan petani kelapa ikut turun. Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Maka, mau tidak mau, petani kelapa Minahasa mencari bentuk produksi lain yang berbasis kelapa. Dan, itu adalah sabun.

Mengutip J.H.R. Broeder dalam tulisannya “De Inheemsche Zeepindustrie in de Minahasa,” yang dimuat di Economisch Weekblad, 23 Februari 1943, Wahyono mencatat, di tahun 1930 sabun yang diimpor dari Inggris dan China sebanyak 987272 kg. Sabun impor nanti mulai menurun ketika mulai terjadi depresi besar. Menyusul berdirinya pabrik-pabrik sabun lokal untuk memenuhi kebutuhan sabun masyarakat Minahasa. Tahun 1933 sabun yang diimpor turun menjadi 60776 kg. Padahal kebutuhan sabun semakin meningkat.

Di tahun 1931, sudah berdiri pabrik sabun di Minahasa. Pabrik ini lebih dulu ada dari pabrik minyak kelapa. ”Industri sabun merupakan dewa penyelamat bagi petani kelapa setelah harga kopra mengalami kemerosotan akibat depresi,” tulis Wahyono.

Di tahun 1930-1933, negara pemasok sabun terutama di Minahasa adalah dari Inggris Raya. Menyusul kemudian China. Meskipun sebenarnya, menurut Wahyono, China hanya bertindak sebagai pengekspor, produsennya tetap adalah pabrik-pabrik yang sama di Inggris. Seperti Lever Bross, Gossage, Grossgfield. Namun, karena perbedaan valuta dan ongkos angkut ke Manado, dalam banyak hal impor dari China yang lebih menguntungkan ketimbang dari Inggris langsung.

Di selang tahun 1930 sampai 1933 itu, angka impor Sabun dari Inggris dan China terus mengalami penurunan akibat depresi ekonomi global di masa itu.  Produksi sabun di Minahasa sangat dimungkinkan karena bahan mentahnya, yaitu kelapa banyak terdapat di daerah ini. Sebelum berdiri pabrik minyak kelapa, rakyat Minahasa memproduksi sendiri-sendiri minyak kelapanya. Waktu itu hanya kopra yang diekspor. Minyak kelapa terutama digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya untuk masak dan bahan bakar lampu minyak.

Pabrik sabun di Minahasa di masa itu, antara lain terdapat di Sonder. Nama pabriknya Schilstra. Pabrik sabun lainnya terdapat di Wuwuk yang dikelolah dengan sistem koperasi. Pemimpinnya seorang yang bernama Lumy. Bahan mentah minyak kelapa di pabrik sabun ini diperoleh dari produksi minyak kelapa penduduk setempat. Di Manado terdapat dua pabrik sabun milik orang keturunan China yang bernama Tan Kok Tjeng dan Nam Siong.

Tonsea, meski sebagai penghasil utama kelapa dan mengkonsumsi sabun dalam skala besar karena kepadatan penduduknya, tapi pabrik sabunnya nanti dimulai tahun 1934. Pabriknya berdiri di Airmadidi.

Menurut Wahyono, pada awalnya, kualitas sabun yang dihasilkan orang Minahasa tidak terlalu baik dibandingkan dengan sabun impor. Tapi, pabrik-pabrik lokal terus menerus berusaha memperbaiki kualitasnya. Hal ini, antara lain disebabkan oleh tuntutan konsumen yang kian meningkat. Pada masa itu, menurut Wahyono, ”Masyarakat Minahasa sendiri sudah tidak lagi memilih sabun kualitas impor karena merosotnya harga kopra yang telah membuat sulitnya peredaran uang di wilayahnya.” Faktor lain yang membuat sabun produk lokal laku di pasaran karena harga sabun lokal lebih murah terjangkau oleh daya beli masyarakat. 

Menangnya sabun lokal di pasaran Minahasa membuat agen-agen sabun impor terdesak. Pedagang perantara dan firma-firma Eropa yang tidak lagi memiliki agen sabun impor menjadi tertarik untuk memasarkan sabun lokal yang memang laku di pasaran. Pemasaran sabun akhirnya tidak lagi dimonopoli perusahaan-perusahaan impor, tetapi telah menjadi milik bersama masyarakat Minahasa.  Setidaknya, sabun menjadi penyelamat sebagian nasib petani kelapa di Minahasa di masa depresi ekonomi global di era tahun 1930-an itu.

Ini tentu secuil kisah petani kelapa di Minahasa di tengah depresi besar tahun 1930-an. Kisah yang lain adalah ratapan kebangkrutan dan kemiskinan akibat hutang yang menumpuk dan salah urus yang dialami sebagian petani kelapa Minahasa. Merekalah yang di saat harga kopra berjaya lebih memilih berpesta pora dan bergaya dengan mobil baru. Namun, di saat harga kopra anjlok diterjang depresi ekonomi global, mereka hanya bisa menangis di tengah ”kuburan mobil.”  
                                   
Hampir dua dekade kemudian, di tahun 1957 muncul pemberotakan Permesta. Permesta dideklarasikan di Makassar – sebuah kota pelabuhan besar waktu itu – pada 2 Maret 1957. Pada tanggal 8 sampai 2 Mei 1957 diadakan Kongres Bhinekka Tunggal Ika. Kongres ini dilaksanakan untuk  untuk memenuhi Piagam Permesta. Ketua panitianya Henk Rondonuwu. Kongres ini dihadiri sekitar 1500 orang. Mereka perwakilan dari 30 kabupaten se-Indonesia Timur, para anggota DPP Permesta, wakil-wakil daerah di DPR (di Jakarta) dan Konstituante (di Bandung). Presiden dan Wakil Presiden juga diundang. Tapi mereka tidak hadir.

Menarik. Salah satu rancangan pembangunan yang dirumuskan dalam kongres itu adalah pendirian pabrik sabun dan minyak kelapa. Rancangan ini disebutkan bertujuan untuk menggerakkan industri rakyat. Sayang, pabrik sabun belum berdiri, tentara-tentara Permesta sudah harus berperang dengan tentara pusat. Maka terjadilah pergolakan Permesta. Barbara Harvey, peneliti sejarah Permesta mengatakan, salah satu pemicunya adalah keadaan ekonomi rakyat Minahasa yang lemah. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi, yaitu monopoli pusat dalam pembelian dan perdagangan kopra Minahasa.



0 komentar:

Posting Komentar