Rabu, 27 Juli 2011

Musik Gesek Di Rurukan: Bertahan di Tengah Pusaran Zaman

Seni Musik

Musik Gesek Rurukan Saat Tampil di sebuah acara pesta
 Orkes musik gesek di Rurukan mampu membuktikan kemampuannya bertahan di tengah pusaran zaman. Diperkenalkan awal abad 20, mungkin sejak tahun 1930-an, popular di tahun 1950-an, terserak di masa pergolakan dan sekarang bersaing dengan musik-musik modern.

Hari Masih pagi. Udara Wanua Rurukan, Kec. Tomohon Timur, Kota Tomohon terasa masih dingin. Namun, warganya yang kebanyakan sebagai petani holtikultura sudah ramai di jalanan. Kebanyakan sedang menuju ke kebun mereka masing-masing. Warga di sini kebanyakan hidup dari tanah yang subur, dan udara yang sejuk pemberian Opo Empung. Meski terhimpit di dua kota yang telah dipengaruhi gaya hidup modern, yaitu Kota Tomohon dan Kota Tondano, warga Wanua Rurukan agaknya masih setia dengan adat istiadat dan kebudayaannya.
Jika Anda kebetulan hadir di salah satu acara pesta perkawinan di Wanua Rurukan, anda pasti akan bisa menikmati alunan musik yang dimaikan oleh sekelompok orang. Alat-alat musiknya sederhana dan bahkan beberapa di antaranya sudah tua. Jenis musik yang dimainkan pun sedikit klasik, yaitu waltz, mars, foxstrote dan sekarang sudah dengan lagu-lagu pop Manado.
Musik ini dimainkan oleh kelompok orkes musik gesek khas Rurukan. Ada lebih dari satu kelompok musik gesek ini di Rurukan. Kebanyakan mereka memainkan musiknya di acara-acara pesta perkawinan atau acara-acara kebudayaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau swasta.
Jhon Tendean (68 tahun), pemimpin salah satu kelompok musik gesek di Rurukan pagi itu baru bersiap ke kebun. Selain memimpin kelompok musik gesek asuhannya, dia juga berprofesi sebagai petani. Tim Waleta Minahasa beruntung bisa bertemu dengannya di pagi itu. Ditemani kue khas Minahasa cucur yang disaji bersama kopi, kami bercerita banyak tentang perjalanan musik gesek ini.
Menurut Tendean, musik gesek di Rurukan sudah lama. Seingat dia, tahun 1930-an kelompok musik gesek di Rurukan sudah ada. “Ini kwa tu orang-orang Rurukan dari luar negeri yang da bawa kamari. Dorang itu ada yang bakarja di Australia deng Belanda. Ada di antara dorang tentara KNIL. Dorang yang bawa kamari tu depe alat-alat musik, kong satu kali dorang yang kase blajar bermain,” ujar Tendean.
Tendean mungkin termasuk generasi ketiga sejak pertama kali musik gesek ini di perkenalkan di Rurukan awal abad 20. Tendean kini telah juga mawarisi kemampuan bermain beberapa jenis alat musik gesek kepada anak-anaknya. “Sekarang ada tiga kita pe anak yang so bisa main musik gesek ini. Ada yang pegang gitar, juk, dan tambur. Bahkan, kita pe anak yang satu so boleh main biola,” ujar Tendean.
Tendean mewarisi kemampuan bermain musik di orkes musik gesek dari orang tuanya. Ayahnya yang bernama Theodorus Tendean dulu juga anggota kelompok musik gesek. Ayahnya mahir bermain alat musik jenis benyo. “Kalo tu alat musik yang kita ja pegang ini, biola, kita tahu orang so ada. Mungkin so ada sejak tahun 1930-an. Tua-tua wariskan pa torang muda-muda. Kita belajar main musik sejak kira-kira umur  14-15 tahun,” urainya. 

Dia menambahkan, kelompok musik gesek yang dipimpinnya terdiri dari tujuh personil. Masing-masing memainkan alat musiknya, yaitu  biola, string bass, gitar (dimainkan oleh tiga orang), dan juk.
Tendean bermain musik gesek, dan terutama biola sudah sejak 1950-an. Sampai sekarang dia tetap senang dengan musik gesek ini. “Tarasa senang kwa ja bermain musik ini lantaran kita lei memang hobi. Musik gesek beda dengan musik-musik modern, karena menyentuh perasaan,” kata Tendean dengan penuh semangat.

Tetap Bertahan di Tengah Perubahan
Orkes musik gesek di Rurukan mampu membuktikan kemampuannya bertahan di tengah pusaran zaman. Diperkenalkan awal abad 20, mungkin sejak tahun 1930-an, popular di tahun 1950-an, terserak di masa pergolakan dan sekarang bersaing dengan musik-musik modern.
“Dari yang kita inga, minat orang, khususnya di Rurukan ini terhadap musik gesek nda terlalu berubah dari pertama kali maso di sini. Lagu-lagu yang dimainkan setiap pentas menyesuikan dengan zaman. Termasuk, selain untuk mengiring orang berdansa di pesta-pesta dengan lagu-lagu waltz, mars, foxstrote, torang lei boleh bermain lagu-lagu pop Manado dan Rohani. Lagu-lagu rohani biasanya torang ja bermain kalo mo ba isi liturgi di gereja,” ujar Tendean.
Ada yang menarik dari kelompok-kelompok orkes musik gesek di Rurukan. Karena ini termasuk jenis musik rakyat, maka biasanya kelompok-kelompok orkes ini tidak memiliki nama kelompok, beda dengan kelompok-kelompok band sekarang. “Tidak ada nama kelompok. Dulu mungkin ada, maar sekarang orang cuma bilang sesuai tempat kelompok orkes berkedudukan. Misalnya warga menyebut, ‘kelompok musik gesek sendangan atau talikuran’,” jelas Tendean.
Biasanya orkes musik gesek ini pentas di acara-acara pesta perkawinan, ibadah di gereja atau acara-acara festival kebudayaan. Sekali pentas misalnya di acara pesta, kelompok musik yang dipimpinnya dibayar sebanyak Rp. 750.000 per sekali pentas. “Terserah tuan pesta, tapi biasa kalo main di acara pesta satu hari satu malam non stop. Torang main biasa mulai dari antar tu mempelai pria ke rumah mempelai wanita kemudian ke gereja lalu antar pengantin ke rumah mempelai wanita, baru ke bangsal pesta,” kata Tendean.
Musik gesek, menurut Tendean sekarang ini seolah sudah menjadi kebudayaan di Wanua Rurukan. Terasa tidak lengkap jika sebuah pesta perkawinan tidak ada musik gesek. “Kalo bermain di panggung, orang iko badansa. Musik gesek cocok untuk mengiringi orang berdansa,” ujarnya.
Tendean sempat juga mengisahkan keadaan kelompok musik gesek ini di masa pergolakan Permesta. Katanya, waktu pecah pergolakan, dia dan teman-teman di kelompok musik gesek ini ikut juga bergerilya di hutan. Namun, karena masing-masing anggota wajib menjaga alat musik yang dipegangnya, maka alat-alat musik tersebut ditinggalkan di rumah mereka masing-masing. “Waktu itu, tu alat-alat musik da kase tinggal di rumah. Kan, masih ada keluarga yang tinggal di kampung, jadi dorang no katu da baku tulung jaga tu alat-alat itu,” ungkap Tendean.

Setelah selesai pergolakan, mereka kembali ke kampung dan melahirkan lagi generasi baru pemain alat musik gesek di Rurukan. “Maar, so nda lengkap katu, lantaran ada yang so meninggal waktu pergolakan. Untung tu alat-alat musik selamat, jadi torang bangun ulang tu kelompok musik gesek ini,” jelasnya.

Usaha Regenerasi
Di Minahasa jenis musik gesek ini sangat langkah. Mungkin tinggal terdapat di Rurukan, dan beberapa wanua lain di sekitarnya.
Beruntung musik gesek ini hingga sekarang sangat akrab dengan kehidupan warga wanua Rurukan. Dari yang muda-muda sampai yang tua-tua gemar mendengar alunan musik gesek yang menyentuh perasaan itu. Sehingga, menurut Tendean usaha untuk melanjutkan kelestarian musik gesek ini memiliki harapan yang baik.
Menurut Tendean, sebenarnya tidak terlalu sulit belajar alat-alat musik gesek. Namun, jenis alat musik biola memiliki tingkat kesulitan tersendiri. “Depe kesulitan kwa kalo tu biola nda punya petunjuk nada, hanya mengandalkan perasaan,” katanya.
Menurut Tendean, sekarang ini banyak anak muda di Wanua Rurukan yang ingin dilatih bermain alat musik gesek. “Banyak yang suka mo latih. Murid-murid sekolah, ada juga yang menawarkan diri untuk dilatih,” ujarnya.
 Musik gesek Rurukan telah bertahan di tengah perubahan zaman. Meski sederhana, namun jenis musik ini bisa menghibur rakyat, dengan harga yang murah namun menyentuh perasaan. Sebuah seni musik import yang telah mengakar dalam kebudayaan Minahasa dan kini dinggap sebagai salah satu budaya peradaban ini. Mungkin saja, karena adaptasi itulah sehingga musik gesek bisa bertahan di tengah tantangan modernisasi terhadap budaya Minahasa. (dennipinontoan)

0 komentar:

Posting Komentar