Oleh: Denni Pinontoan
“Bahwa kumtua studing enam tahun sekali, bahkan ada yang juga sudah dua periode atau 12 tahun jadi kumtua baru sekarang dapat studing. Sedangkan DPRD sendiri sudah beberapa kali studing tapi belum optimal apa yang mereka perbuat untuk masyarakat Minahasa” (Harian Komentar, Jumat, 1 Mei 2009). Sebuah pembelaan keluar dari mulut seorang hukum tua di Kab. Minahasa untuk menampik kecaman dari seorang anggota dewan di kabupaten itu atas studi banding massal yang dilakukan oleh dia dan kawan-kawan sesama hukum tua.
Tapi sayang, yang menyampaikan kritikan, si anggota dewan itu, ternyata punya catatan buruk di mata si hukum tua yang kena kritik. Si hukum tua pun menambah pembelaannya dengan berujar, “Masa dia (oknum anggota dewan, red) tidak melihat ke belakang dulu dan melihat dirinya sendiri bersama rekan-rekannya melakukan studing dan langsung mengeluarkan statement seperti itu?“
Tak tahu mana ketang, maka udang. Sama-sama ada dalam struktur kekuasaan yang kompleks itu. Sehingga, menyoal studi banding, yang kemudian dikaitkan dengan penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam studi banding itu tak jadi bermutu. Benar, bahwa jika sebagian dana ADD hanya digunakan untuk studi banding, yang tak jelas maksudnya adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seorang anggota dewan. Tapi, ini kemudian menjadi persoalan, ketika yang menyampai kritik itu justru balik diserang, dengan pokok persoalan yang hampir sama. Maka, kontrolpun tak jalan.
Saling kecam antara si hukum tua dan anggota dewan itu, sedikit banyak menggambarkan realitas berpolitik kita, di republik yang bernama Indonesia ini. Ketika korupsi menjadi massal, maka tak tahu lagi mana yang bersih, dan secara moral memiliki kompetensi untuk mengkritik. Tapi, lebih daripada itu, fakta studi banding ini, sebenarnya sedang menggambarkan kepada kita di sini, dan kini, di Tanah Minahasa ini, betapa etika politik ala Minahasa telah ikut terjebak dalam paham politik Indonesiasentris. Bahwa, dalam tampilan terkininya, hukum tua, tak lagi seperti kepala ukung dalam masyarakat Minahasa tempo dulu, yang selain sebagai kepala pemerintahan wanua/roong, tapi juga kepala adat. Mengapa itu terjadi?
Ceritanya panjang. Tapi setidaknya sejarah birokratisasi terhadap kepala ukung bisa dirunut sejak penghujung abad 19. Waktu itu muncul apa yang dikenal dengan masalah agraris yang popular dengan sebutan ‘De Agrarische Quaestie’. Inti persoalannya adalah keputusan Gubernur Jenderal 6 Juli tahun 1870 di Bogor. Keputusan ini didasarkan pada keterangan Residen Manado tanggal 4 Mei 1866 serta advis Prokurator Jenderal Departemen Kehakiman Hindia Belanda 18 Maret 1867 No. 573/245/rahasia. Berdasarkan itu maka Minahasa ditetapkan sebagai tanah pemerintah, Gouvernementgebied dan diratifikasi oleh Menteri Urusan Daerah-daerah kolonial tahun 1879.
Hal ini sebenarnya sudah sejak tahun 1825 ketika perlahan-lahan pemerintah Belanda (di Hindia Belanda) merubah status tanah adat Minahasa menjadi territorial. Dari proses tersebut, kepala ukung kemudian berubah menjadi pegawai pemerintah dan rakyat menjadi bawahan pemerintah Belanda. Kepala Ukungpun disebut Hukum Tua.
Ketika bangsa-bangsa di nusantara menjadi bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka penyeragamanpun dilanjutkan. Setelah pemerintah kolonial mengklaim hak-hak adat menjadi bagian dari kebijakan birokrasi, di zaman NKRI ini, usaha dominasi terhadap bangsa-bangsa itu berlanjut dengan usaha penyeragaman di segala dimensi. Bahasa Melayu Riau itupun kemudian disahkan menjadi bahasa Indonesia. Rasa-rasanya tak akan diakui sebagai warga negara Indonesia, kalau tak belajar dan bisa bicara dalam bahasa Melayu Riau itu. Jakarta dijaidkan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Bendera yang harus dihormati oleh rakyat di bangsa-bangsa se-nusantara berwarna harus Merah Putih, tak boleh yang lain. Burung Garuda, burung mitos itu, juga dijadikan lambang negara. Dan, sebutan untuk roong/wanua, bagi kesatuan-kesatuan adat dan politik di Minahasa diseragamkan menjadi Desa. Sebutan Hukum Tua produk Belanda itu, dirubah menjadi kepala desa. Nanti, di era reformasi kembali lagi ke sebutan Hukum Tua.
Tapi lebih dari sekedar cerita sejarah, perubahan-perubahan itu sebenarnya membawa konsekuensi pada orientasi dan etika politik para hukum tua di Minahasa hingga sekarang. Pemilihan hukum tua, yang dikenang sebagai simbol demokrasi masyarakat Minahasa tempo dulu, kini juga ikut bergeser maknanya. Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman bercakap-cakap dengan seorang mantan hukum tua di tahun 50-an. Dia bilang, dulu wanua-wanua di Minahasa mencari calon hukum tua, sulit. “Bukan sulit karena tidak ada kader, tapi, sedikit yang berani. Sebab, menjadi hukum tua dalam sistem adat Minahasa pertama-tama dan utama adalah komitmen dan ketokohan. Bukan uang. Karena orientasi menjadi hukum tua dulu, adalah untuk membuktikan komitmennya terhadap rakyat wanua/roong yang dia pimpin,” katanya.
Beda dengan sekarang. Menjadi hukum tua, tak ubahnya menjadi caleg, seperti Pemilihan Calon Anggota Legislatif 9 April lalu, yang kebanyakan di antaranya tujuannya adalah kekuasaan dan kekayaan. “Menjadi pemimpin dalam masyarakat Minahasa tempo dulu, tujuannya adalah untuk membuktikan komitmen demi kebaikan wanua/roong,” begitu kata mantan hukum tua di era tahun 50-an itu.
Tapi memang, begitulah yang harus terjadi, ketika kekuasaan negara akhirnya berhasil menempatkan masyarakat wanua/roong dan hukum tuanya sebagai struktur paling bawah dalam pemerintahan dan kebijakan politiknya. Hukum Tua sekarang, meski masih dipilih oleh rakyat, tapi loyalitasnya, lebih kepada Bupati/Walikota atau satu tingkat di bawahnya, yaitu camat. Maka, dampaknya adalah munculnya sejumlah persoalan dalam pembangunan wanua/roong, yang lainnya adalah korupsi yang dilakukan oleh hukum tua. Beginilah akhir cerita, ketika negara dengan segala perangkat kekuasaannya berhasil menghegemoni wanua/roong, dan merusak banyak kearifan lokalnya. Ini juga cerita tentang nasib hukum tua kita.
0 komentar:
Posting Komentar