Jumat, 29 Juli 2011

DANAU TONDANO: Eceng Gondok Marajalela, Pilkada Menanti

Oleh: Denni Pinontoan

Seorang turis sedang menatap eceng gondok yang menutup tepian danau Tondano
DANAU Tondano, pinggiranya tampak kehijau-kehijauan. Tapi, hijau itu merisaukan. Sebab, kalau dibiarkan dia bisa mengubah danau Tondano, danau yang melegenda di Tanah Minahasa menjadi daratan. Jika sudah begitu, maka hilanglah kenangan atas danau Tondano. Eceng gondok, atau dalam bahasa Latin disebut ”eichhornia crassipes”, yang hijau itu sudah menutupi pinggiran danau. Daya tumbuhnya cukup hebat.

Spesies tanaman eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824. Ketika itu ia sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.

Antaranews.com, Kamis, 25 Agustus 2011 memberitakan, danau dengan luas 4.628 Ha itu diperkirakan kini kedalamannya  tinggal 12 meter saja. Hal itu sampaikan oleh Arfan Basuki, Kepala Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sulawesi Utara.

Menurut Pemerintah Kabupaten Minahasa, penyebab pedangkalan itu terutama adalah karena eceng gondok. Suara Pembaruan online, Rabu, 29 Juni 2011 memberitakan, menurut  Bupati Minahasa Stevanus Vreeke Runtu (SVR), bila eceng gondok yang telah menutupi sebagian Danau Tondano tidak dibersihkan hingga akhir tahun ini maka pedangkalan akan terjadi. Keadaan ini, menurut Bupati, akan mengancam tiga PLTA. Akibatnya adalah berkurangnya suplai energi listrik di Sulut. Selain itu, Danau Tondano sebenarnya memiliki potensi pengembangan budi daya perikanan air tawar. Data Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara Utara menyebutkan, jaring apung yang menancap di pesisir danau mencapai 5.325 buah. Belum termasuk karamba.

Bupati mengatakan lagi, enceng gondok sangat memprihatinkan. Daya tumbuhnya sangat cepat. Dia berjanji, Pemerintah kabupaten Minahasa akan berupaya agar akhir tahun ini tidak ada lagi eceng gondok di Danau Tondano. Penanganan eceng gondok di danau Tondano, pernah menjadi janji politik SVR waktu dia berkampanye untuk mencalonkan diri sebagai bupati kedua kali pada beberapa tahun 2007 silam. Janji itu, hingga kini belum terbukti.

Arfan, dalam pernyataannya itu tidak menyebut bahwa eceng gondok sebagai penyebab utama pendangkalan. Dia hanya menyebut, penyebabnya adalah jaring apung atau karamba. Kemudian petani ikan air tawar dominan mengunakan pakan berbentuk butiran. Ada juga yang disebabkan sisa pakan yang tidak dimakan kemudian mengendap ke dasar danau. Sebab lainnya, menurut Arfan adalah pembukaan lahan. Penjelasannya, masih banyak warga Kabupaten Minahasa yang bermata pencaharian sebagai petani. Ketika membuka lahan, hujan tiba kemudian terjadi erosi permukaan yang materialnya masuk ke kolam danau. Hal lainnya sebagai penyebab, menurut Arfan adalah tinja manusia serta aktivitas persawahan yang lumpurnya mengarah ke kolam danau.

Pada tahun 1923, kedalaman danau Tondano rata-rata 40 meter lebih. Pada tahun 2005 kedalamannya rata-rata tinggal 15 meter. Dalam jangka 82 tahun, kedalaman Danau Tondano berkurang 25 meter. Dalam jangka 50 tahun, bisa berkurang sampai 15 meter. Jika tahun 2005 kedalamannya tinggal 15 meter dan tahun 2011 ini tinggal 12 meter, maka, kurang dari 50 tahun depan Danau Tondano tinggal daratan. Nasibnya akan memiriskan seperti danau Limboto di Gorontalo, yang diperkirakan umurnya tinggal kurang lebih 15 tahun lagi.

Kedalaman Danau Tondano pertama kali diukur pada tahun 1934 oleh Zen dan Alzwer. Saat itu kedalamannya 40 meter. Pada 1974, Zen dan Alzwer juga melakukan pengukuran. Hasilnya, kedalaman danau Tondano berkurang menjadi 28 meter.

Selanjutnya pada 1983, TNI-AL juga sempat mengukur kedalamannya. Waktu itu, kedalamannya telah berkurang menjadi 27 meter. Pada tahun 1993 ketika diukur Pusat Penelitian dan Pengembangan Air kedalamannya tinggal 23 meter.

Data berdasarkan hasil pemetaan batimetri yang dilakukan Lembaga Penilitian (Lemlit) Universitas Negeri Manado (UNIMA) tahun 2005 menyebutkan, luas danau Tondano 4.667,5 Ha. Dari luas tersebut, 24,09 persen atau 1.591,25 Ha di antaranya berkedalaman kurang dari 10 meter. Hanya sekitar  51,88 ha atau 1,11 persen yang memiliki kedalaman lebih dari 20 meter.

Eceng gondok tumbuh subur di tepian danau yang umunya berkedalaman kurang dari 10 meter. Menurut Lemlit Unima, penyebab pendangkalan Danau Tondano terbesar disebabkan oleh potensi erosi  yang diukur dari Indeks Bahaya Erosi yang sudah sangat tinggi (IBE di atas 10,00) sehingga daerah sekeliling danau mengalami erosi hebat. Tingkatnya erosi antara 28,86 ton/Ha/tahun sampai 62,33 ton/Ha/tahun. Sedimen lumpur yang mengalir dari lereng-lereng bukit dan gunung serta dari lahan pertanian dan sawah, langsung masuk ke danau, karena hanya 8 dari 12 sungai dan 25 anak sungai yang bermuara di danau yang telah dilengkapi waduk dan check dam (bendungan penahan lumpur).

Meidy Tinangon, MSi, peneliti dari FMIPA UKIT mengatakan, tahun 1995 eceng gondok belum ditemui di danau Tondnao. Kala itu, Danau Tondano masih didominasi oleh tumbuhan jenis arakan (hydrilla verticilata) dan tanaman terbenam-berakar di dasar danau lainnya. Namun surveynya 4 tahun kemudian, yaitu tahun 1999, eceng gondok sudah tumbuh dan menjadi spesies dominan dalam struktur komunitas tumbuhan air di Danau Tondano.

Menurut Tinangon, eceng gondok hanyalah fenomena yang muncul oleh serangkaian persoalan yang diakibatkan ulah manusia sendiri.  ”Namun karena Eceng Gondok juga menyebabkan masalah baru yang lebih kentara, maka wajar jika tumbuhan berbunga ungu ini menjadi ’sasaran tembak’,” tulisnya.

Penyebab ledakan populasi eceng gondok tersebut, menurut Tinangon merupakan tanda telah terjadi pencemaran nutrien (makanan) tumbuhan. Proses pengkayaan nutrien ini dikenal dengan istilah ”eutrofikasi”. Danau yang sebelumnya miskin zat hara atau nutrien lama kelamaan akan menjadi lebih kaya kandungan nutriennya. Proses ini sebenarnya alamiah. Namun menjadi tidak wajar ketika campur tangan manusia lewat berbagai aktifitasnya yang semakin mempercepat penambahan bahan nutrien kedalam danau. ”Akibatnya adalah kandungan nutrien berlebih merangsang pertumbuhan berbagai jenis alga dan tumbuhan air termasuk Eceng Gondok.”

Ada berapa penyebab semakin cepatnya proses eutrofikasi tersebut. Menurut Tinangon, proses itu dimulai dengan penggundulan hutan di sekitar DAS Tondano. Hutan yang gundul atau pengkonversian hutan menjadi daerah pertanian dan pemukiman, menyebabkan meningkatnya erosi yang membawa sedimen-sedimen mengandung nutrien tanaman (nitrogen dan fosfat) masuk ke dalam danau melalui aliran-aliran sungai.

Kemudian, aktivitas pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi bagi pengkayaan nutrien di Danau Tondano. Karena sisa-sisa pupuk (nutrien) dialirkan ke danau, terutama di lahan kebun atau sawah di sekitar danau.

Berikut, penggunaan detergen dan pembuangan sampah organik ke danau juga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien danau ditambah lagi dengan sisa-sisa pembusukan tanaman air yang mati.

Aktivitas masyarakat lainnya adalah peternakan di sekitar danau dan budidaya ikan mujair dan ikan mas dalam jaring tancap yang memberikan kontribusi nutrien melalui kotoran hewan dan sisa limbah pakan ikan.

”Jadi, jelas bagi kita bahwa semua ini adalah karena kita gagal melakukan langkah-langkah ’pencegahan’ dan akhirnya kita harus ’mengobati.’ Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?”

Sebagai solusi, Tinangon menawarkan beberapa langkah. Yaitu, pengangkatan eceng gondok secara besar-besaran dan memanfaatkannya. Misalnya, daunnya untuk pakan ternak. Batang untuk kerajinan. Akar dan sisa tanaman yang membusuk untuk kompos dan biogas. Berikut, penghijauan kembali daerah tangkapan air (catchman area) DAS Tondano. Selanjutnya, pengolahan air limbah pertanian sebelum masuk ke danau. Pembatasan budidaya ikan dalam jaring tancap. Stop membuang sampah ke danau. Dan  Kurangi penggunaan detergen.

Institusi Lembaga Riset FMIPA UKIT bekerja sama dengan Yayasan Masarang telah melakukan penelitian terhadap eceng gondok di Pusat Kegiatan Program Penelitian dan Percontohan Pengendalian Eceng Gondok (P4EG) di Desa Telap Kecamatan Eris. Dalam laporan tahap pertama tahun 2005 lalu, telah menginvestasikan dana lebih dari 200 juta.

TAHUN ini, Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu kembali menelorkan ide untuk mengatasi masalah eceng gondok di danau Tondano. Caranya unik, yaitu memakan eceng gondok tersebut. "Pemkab Minahasa sedang menyusun sebuah rencana untuk melakukan lomba memasak eceng gondok. Jika diolah secara baik, eceng gondok bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Kita bisa mengendalikan pertumbuhan eceng gondok di Danau Tondano dengan cara memakannya," ujarnya seperti diberitakan Harian Tribun Manado, Minggu, 20 Maret 2011.

Selain dengan cara unik tersebut, SVR mengatakan, pihaknya juga terus berupaya memberantas eceng gondok secara mekanis, atau dengan cara mengangkat secara langsung. Menurutnya, Pemkab Minahasa bertekad tahun ini Danau Tondano akan bersih dari eceng gondok. Pemkab Minahasa bahkan telah menyiapkan dana sebesar Rp1 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2011 untuk usaha tersebut. Masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) telah diberi tanggung jawab untuk melakukan pembersihan eceng gondok. Makanya, dana 1 miliar itu didistribusikan ke masing-masing SKPD. SKPD kemudian mengkreasikan cara mengatasi eceng gondok.

Pemerintah Provinsi Sulut juga melakukan langkah penanganan eceng gondok. Dinas Koperasi dan UMKM Sulawesi Utara bekerja sama dengan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, menyelenggarakan pelatihan pembuatan pakan ternak dari eceng gondok di Kecamatan Kawangkoan pada 22-27 Agustus 2011.

Kegiatan pelatihan tersebut diikuti sebanyak 60 orang peserta berasal dari Kecamatan Kawangkoan, Remboken dan Kakas. Kepala Dinas koperasi dan UMKM Propinsi Sulawesi Utara Robby Assah SE Msi mengatakan, kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian Pemprop Sulawesi Utara untuk mengembangkan dan meningkatkan pendapatan peternak skala kecil di daerah ini. Umumnya para peternak skala kecil menghadapi masalah tingginya harga pakan ternak sehingga pendapatan yang mereka peroleh sangat kecil.

Pakar pakan ternak Fakultas Peternakan Ir. Berthy Rembet MS mengatakan, aplikasi penelitian mereka yang disumbangkan dalam pelatihan ini didasarkan pada struktur produksi dan kelompok pendapatan peternak yaitu Teknologi Biaya murah (Zero Cost Technology). Eceng gondok menjadi salah satu bahan pokok pembuatan pakan ternak, selain jerami jagung, serbuk gergaji, dedak kasar, serbuk sabut kelapa, dan limbah organik dipasar tradisional.

Kabar beredar, bahwa Pemprop Sulut akan mendatangkan investor untuk menangani persoalan pelik itu. Beberapa bulan lalu, Gubernur SHS berangkat ke Eropa, antara lain untuk melobi investor guna menangani eceng gondok. "Pak Gubernur Sulut sudah berangkat ke Eropa, terkait juga dengan melobi investor guna menangani enceng gondok,” Sekprop Sulut  SR Mokodongan seperti diberitakan Manadobisnis.com,  
27 Juni 2011 lalu. Namun, hingga kini belum terdengar realisasi rencana tersebut.

Eceng gondok juga menjadi isu politik bagi yang akan maju di Pilkada Minahasa. Tak kurang dari Drs Robby Mamuaja, birokrat handal Sulut. Dia mengaku punya cara untuk mengatasi eceng gondok di danau Tondano. “Kalau Tuhan berkenan saya akan maju di pemilihan bupati Minahasa nanti. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di sana, salah-satunya mengatasi eceng gondok yang mengakibatkan pendangkalan danau Tondano,” ujar Mamuaja seperti diberitakan http://beritamanado.com, Januari tahun ini.

Namun, soal cara mengatasi eceng gondok tersebut, Mamuaja masih merahasiakannya. “Pokoknya ada caranya, intinya pinggiran danau harus dimanfaatkan untuk pengembangan ikan. Kalau saya sampaikan sekarang nanti akan ditiru orang lain,” ujarnya.

Partai Golkar Minahasa juga angkat bicara mengenai persoalan eceng gondok di danau Tondano. Ketua DPD II Partai Golkar Minahasa Careig Naichel Runtu mengatakan, Partai Golkar Minahasa  memiliki komitmen terhadap kelestarian Danau Tondano. Menurutnya, berbagai program telah dilakukan PG untuk melestarikan Danau Tondano, seperti pengangkatan eceng gondok, pembuatan pupuk kompos dan biogas dari eceng gondok.

"Bukan hanya itu, program lain yang dilakukan Partai Golkar untuk melestarikan dan membersihkan eceng gondok, terus berjalan hingga kini dimana dalam seminggu jajaran pengurus, kader dan simpatisan turun langsung di danau untuk mengangkat eceng gondok," ujar Careig seperti dilansir harian Manado Post, Sabtu, 28 Mei 2011 lalu.

Careig N. Runtu, selain sebagai Ketua Partai Golkar Kab. Minahasa, juga sebagai anggota DPRD daerah itu. Careig adalah anak Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu. Dengar-dengar, Careig akan maju dalam Pilkada Minahasa tahun depan.


0 komentar:

Posting Komentar