Minggu, 31 Juli 2011

Girot Wuntu, “Menyepi” dengan Cita-cita


Oleh: Denni Pinontoan

Malam sudah menanti. Jalan Kel. Liningaan Tondano tampak mulai ramai dengan lampu-lampu warna-warni untuk memeriahkan Paskah. Hari itu, 4 April 2010.
Sebuah rumah kayu khas Minahasa yang sederhana, dari kejauhan tampak sepi. Lampu pijar di rumah itu memang sudah menyala, tapi belum tampak penghuninya. Nanti ketika pas di depan pintu rumah, baru tampak seorang perempuan muda berusia kira-kira 30-an tahun.
“Selamat sore,” Bodewyn Talumewo yang mengantar rombongan Mawale Cultural Center memberi salam kepada perempuan itu.
“Selamat sore. Mari maso,” perempuan itu menyapa kami ramah.
“Opa, ada?” Bodewyn kembali bertanya.
“Oh, ada. Mari maso dulu kwa,” perempuan itu mempersilahkan rombongan masuk ke dalam rumah.
Rumah kayu itu sederhana. Tidak terlalu luas. Di bagian depannya ada ruang tamu yang terbuka khas rumah-rumah orang Minahasa. Di bagian sebelahnya ada sebuah ruangan kira-kira seluas 3x3 meter. Tampak di dalamnya perangkat alat jahit menjahit. Rombongan Mawale pun masuk ke dalam rumah.
Dinding rumah itu tampak pahatan atau ukiran-ukiran kayu yang halus dan indah. Ada pahatan bermotif Tuhan Yesus yang menuntun seorang anak kecil. Yang lainnya ukiran bunga yang rumit tapi halus. Di bagian lain terlihat foto hitam putih Soekarno dan Mohammad Hatta. Ada juga foto sendiri hitam putih Soekarno yang berbentuk poster.
Kami masih dalam posisi berdiri ketika seorang lelaki uzur keluar dari bagian lain rumah itu. Rambut, janggot dan kumis lelaki yang berwajah tegar itu sudah memutih. Dia keluar dari bagian rumah yang agaknya sebagai ruang makan sekaligus perpustakaan kecil. Jalannya dituntun oleh perempuan yang menyapa kami tadi.
“Selamat sore, bung Girot,” Jenry Koraag, salah satu dari rombongan Mawale menyapa lelaki yang berjalan agak lamban itu. Yang lainnya ikut memberi salam.
Nama lengkap lelaki uzur itu adalah Girot Wuntu. Semenatara perempuan muda yang menyapa kami tadi adalah keponakannya bernama Adeleide Walangare. Dia adalah keponakan Girot yang sudah sejak dari kanak-kanak tinggal bersama tokoh komunis ini. Dia pun banyak tahu kehidupan Opanya (begitu dia menyapa Girot), terutama di beberapa tahun sejak Girot keluar dari penjara.
Girot membalas salam kami meski tidak terdengar jelas. Lelaki kelahiran tahun 1920 ini, seperti kata Keke - sapaan untuk keponakannya -  di sekitaran lima tahun terakhir ini mengalami kemunduran secara fisik maupun ingatan yang cukup drastis. “Dulu, opa nda bagini. Dia kalo so bacirita, depe semangat luar biasa. Dia kan dulunya agitator, jadi kalo ada tamang-tamang PRD (Partai Rakyat Demokratik - red) dulu yang kamari, dia bicara nda putus-putus. Satu pertanyaan, dia boleh jelaskan panjang lebar.” ujar Keke.
Girot Wuntu sekarang telah duduk bersama kami di ruang tamu yang kecil itu. Meski fisiknya sudah agak melemah, namun tampak dari tatapannya sebuah semangat yang tidak pernah padam. Di rumah ini memang cuma dia dengan Keke. Sehingga ketika rombongan kami datang, seketika rumah itu menjadi ramai dengan orang. Kebetulan rombongan Mawale juga bersama-sama dengan “istri-istri” kami, dan termasuk Teresa, anak saya.
Keke duduk di samping Girot. Perempuan yang juga pandai mengukir kayu ini, membantu kami menyampaikan informasi-informasi seputar kehidupan opanya. Sesekali Girot masuk dalam percakapan tersebut menjawab pertanyaan kami. Girot meminta beberapa kali Keke mengeluarkan sejumlah karyanya atau buku-buku yang menjadi bacaannya. “Kebanyakan opa pe buku depe isi aliran kiri,” ujar Keke.
Tentang beberapa karya ukiran di rumah itu, menurut Keke dibuat oleh Girot setelah dia keluar dari penjara. Dua lemari di sebuah ruangan di rumah ini berisi buku-buku “kiri” dan dua buah patung kayu perempuan telanjang.
“Ke, apa makna dari patung-patung perempuan telanjang ini?” tanyaku.
“Ini, opa cuma bilang depe arti kata keindahan. Bagi opa, perempuan adalah simbol keindahan,” jelas Keke.
Keke juga menjelaskan cerita ukiran Yesus dan anak kecil yang terpajang di dinding rumah Girot. “Ukiran ini punya cerita. Waktu opa di penjara, depe kepala penjara Katolik. Kepala penjara itu ternyata memperhatikan kemampuan mengukir opa. Kebetulan ada semacam liturgi yang bergambar Yesus dan anak kecil. Kemudian, si kepala penjara meminta opa untuk mengukir gambar itu. Lalu, jadilah ukiran ini,” ujar Keke.
Girot ternyata bukan hanya seorang idealis atau ideolog “kiri”, dia juga adalah seorang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi. “Girot itu kan dulunya pemimpin Lekra di sini,” ujar Bode menambahkan.
Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia di tahun 50-an dan 60-an. Lekra didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. DN Aidit dan Nyoto saat itu adalah para pemimpin PKI, yang baru dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Muso. Anggota Lekra yang terkenal antara lain Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin.
Lekra dibubarkan berdasarkan Tap. MPRS No. XXV/MPRS/tahun 1966, tentang pelarangan ajaran Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.
Keke, keponakannya itu bahkan diajarnya mengukir. Sebuah meja ukir bermotif bunga yang halus adalah buah tangan Girot dan Keke. “Waktu opa masih kuat-kuat, kita dia ja kase ajar ba ukir. Sambil ba ukir, dia bacirita tentang depe perjalanan hidop. Maar, nda sama deng katu ja kase belajar pa murid. Biasa no dia bacirita,” ujar Keke.
Keke mengaku, dia tahu mengenai ideologi komunis, marxisme dan gerakan-gerakan kiri lainnya dari interaksi dengan opanya sehari-hari. “Atau, kalau ada aktivis-aktivis dulu yang datang kamari, kita ba dengar dari dorang pe diskusi deng opa. Kita nda belajar secara formal, tapi dari tu ba bagitu no,” ujar Keke menjelaskan.
Girot mengatakan, bahwa dalam hidup ini terutama adalah kerelaan berkorban dan keberanian. Dia mengingatkan kepada kami pentingnya keberanian dalam memperjuangkan idealisme. “Keberanian itu penting bagi torang memperjuangkan idealisme,” ujarnya.
Soal minatnya terhadap terhadap pemikiran-pemikiran “kiri”, Girot mengaku bahwa sebenarnya dari segi pendidikan formal, dia sebenarnya hanya bermodalkan 4 tahun pendidikan Sekolah Rakyat (SR). “Saya hanya menempuh 4 tahun di Sekolah Rakyat. Selebihnya saya ke kebun membantu orang tua. Tapi, ada satu dari saya, yaitu selalu ingin mencari tahu, apa sebetulnya keadaan ini? Apa ini? Kenapa begini? Tanya-tanya sama orang lain, nda guna kalo dorang nda tahu. Saya pikir-pikir, bagaimana saya bisa tahu keadaan ini. Maka saya berusaha mencari tahunya dengan membaca. Tetapi, yang membimbing saya bisa tahu tentang semua ini adalah seseorang yang bernama Jan Dengah,” ujar Girot dengan nada yang terputus-putus.
Girot memahami agama, terutama Kristen secara kritis. Bicara agama, Girot mengkaitkannya dengan konsep “Kasihilaha sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” “Menurut opa itulah komunis sebenarnya. Yesus, menurut opa adalah Ur-komunis,” kata Keke mengulang apa yang pernah diucap oleh Girot kepadanya.
Girot menambahkan, “Ideologi, seperti komunisme, jangan dipaksakan. Apa seseorang membutuhkan itu atau tidak. Pengertian komunisme itu tidak mudah dipahami. Agama juga kalau dimengerti benar, itu baik. Asalkan dia dimengerti betul. Kuncinya adalah banyak belajar,” ujar Girot.
Menurut Keke, Girot sebenarnya memiliki satu anak laki-laki. Dulunya tinggal di Jakarta. Tapi, belakangan menetap di Amerika. Kata Keke, Girot pernah ke Jakarta menemui anaknya itu. “Maar, karena stou dorang da berseberangan pemikiran, maka opa pe anak itu pigi di Amerika, kong opa pulang ka sini,” kata Keke.
Girot, ternyata sangat saying kepada anak-anak kecil. Ini mungkin karena kerinduannya terhadap anak dan cucunya. Teresa, anak saya yang masih berusia 3 tahun lebih, ketika bersama-sama dengan kami waktu kunjungan itu sangat diperhatikan oleh Girot. Bahkan, waktu berpose, Girot sempat menawarkan kepada saya untuk menggendong Teresa. Tapi, saya tak tega melihat Girot yang sudah dalam keadaan lemah fisik menggendong Teresa. Dari tatapan terhadap Teresa saya menangkap sebuah kerinduan yang luar biasa untuk kehadiran anak cucunya. Tapi, lebih daripada itu saya menangkap rasa humanisnya yang tinggi.
Dari informasi lain, Girot adalah anak bungsu dari 13 bersaudara. Sekarang ini tinggal Girot yang hidup. Puluhan tahun Girot menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Di masa Belanda, dia pernah menjadi tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger). Sebelum pecah peristiwa G30s Girot pernah menjadi anggota Dewan di daerah ini mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah karya sastra sejarah telah ditulisnya, antara lain mengenai Perang Tondano, dan juga cerita-cerita sastra tentang kehidupan rakyat kecil.
Kini Girot hidup “menyepi” dari hiruk pikuk agama dan politik di rumahnya yang sederhana. Ditemani Keke, keponakannya yang setia itu, seolah umur panjang Girot dikuatkan dengan obsesinnya terhadap cita-cita ideologi yang dia pegang teguh hingga hari ini. Di masa Permesta dia adalah tokoh yang dicari-cari. Bahkan, perpustakaan pribadinya yang mengkoleksi ribuan judul buku dieksekusi oleh Permesta. Sampai jelang Orde Baru, dia termasuk orang yang diawasi oleh pemerintah.
“Pemilu tahun 1992, opa beking spanduk dari karong plastik. Sayang kita so lupa apa depe tulisan waktu itu. Maar, depe inti adalah mengkritisi sistem politik yang sedang berlangsung. Karena spanduk itu provokatif, sampe pihak dari koramil datang angka (tangkap) pa opa. Dorang periksa pa opa. Waktu kaluar, opa suruh kase di WC tu spanduk itu. Kong opa ganti deng gambar petani yang memikul cangkul. Arti gambar itu, menurut opa adalah kedaulatan hak-hak kaum petani,” ujar Keke.


 



0 komentar:

Posting Komentar