Orang takut dengan globalisasi. Sebab, katanya globalisasi adalah imprealisme kebudayaan. Dari aktivis sampai analisis, kritikus, akademisi bahkan politikus banyak yang menentangnnya. Kecuali yang nda mo ambe pusing adalah ‘tikus-tikus kantor”.
Johan Norberg membelanya. Tesis utamanya, bahwa banyak negara yang dulunya terkebelakang dan terisolir sekarang ini bisa maju karena menerima globalisasi dan sudah tentu kapitalisme globalnya. “Itu sebabnya saya mencintai apa yang sering secara agak kerontang dinamakan ‘globalisasi,’ proses di mana manusia, informasi, perdagangan, investasi, demokrasi, dan ekonomi pasar cenderung semakin melampaui batas-batas nasional. Internasionalisasi semakin membebaskan kita dari batas-batas ciptaan pembuat peta,” begitu keyakinan Norberg, seorang peneliti di Timbro, sebuah organisasi think-tank di Swedia.
Thomas L. Friedman sedikit banyak sama dengan Norberg dalam membela globalisasi. Dia memang mengakui bahwa ketakutan banyak orang pada globalisasi adalah soal bahaya “Amerikanisasi” atau imprealisme kebudayaan Amerika. Tapi, Friedman membalas kekhawatiran itu dengan mengatakan bahwa justru dengan semakin mendatarnya dunia malah akan lebih berpotensi untuk menumbuhkan suburkan keanekaragaman budaya. “Mengapa? Pertama-tama adalah karena uploading. Uploading membuat proses ‘globalisasi akan sesuatu yang sifatnya lokal menjadi mungkin.’”, katanya.
Friedman memberi contoh tentang pizza. Mengapa pizza bisa lebih mendunia ketimbang Big Mac? Jawabnya, “Pizza hanyalah selembar adonan rata, tempat setiap kebudayaan dapat menambahi dan membumbui dengan rasa yang berbeda. Karena itu, Jepang memiliki pizza sushi; Bangkok memiliki pizza Thai; dan Lebanon memiliki pizza mezze. Tatanan dunia yang datar hampir mirip dengan adonan pizza. Ia mengijinkan berbagai kebudayaan yang berbeda untuk membubuhi dan menambahkan rasa sesuai keinginan mereka…” jelas Friedman.
Lalu, Minahasa punya pizza apa? Tole mungkin akan bilang Minahasa punya ”pizzang goreng.” He..he..Kita hanya membayangkan seandainya pisang goreng goroho bisa menjadi salah satu adonan rata, dan kebudayaan lain bisa menambah kreasinya. Atau, Cap Tikus, sebagai alcohol murni yang bisa ditambah dengan bumbu-bumbu dari kebudayaan lain sehingga bisa menjadi minuman dari Minahasa yang mendunia. Tapi apakah, misalnya cap tikus yang ditambah dengan ginseng dari China dan diminum di hotel-hotel mewah Amerika masih bisa kita sebut itu sebagai Cap Tikus dari Minahasa yang mendunia? Mungkin yang paling bisa adalah minuman alcohol murni dari Indonesia. Maka Minahasa tersubordinasi di bawah nama Indonesia. Seandainya bisa seperti Bali, yang mungkin lebih muda di sebut di Las Vegas ketimbang Indonesia, maka Minahasa benar-benar telah mendunia.
Bagaimana dengan Bunaken yang katanya taman laut yang dapat membuat Minahasa menjadi popular sedunia? Potensinya tak terlalu menggembirakan. Bukti yang paling muda adalah dengan mengklik kata “Bunaken” di mesin pencari google. Sekali mengklik kata itu, kita hanya mendapat sebanyak 295,000 hasil telusur. Sementara kata “Kuta Bali” mencapai 1,290,000 hasil telusur. Masih lebih banyak kata “Cap Tikus” yang berjumlah 2,060,000 hasil telusur dibanding kata “Bunaken”. Menariknya, hasil telusur untuk kata “Bunaken”, “Kuta Bali”, dan “Cap Tikus” kalah banyak jumlahnya dengan hasil telusur dengan kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 5,850,000. Artinya, di dunia maya yang menembus batas itu, masih lebih populer korupsi di Indonesia dibanding potensi-potensi lokal, yang sebenarnya harus mendunia, melampaui Jakarta. Namun, yang menggembirakan kata “Minahasa” melampaui lebih setengah kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 12,900,000 hasil telusur. Tapi, semua itu sangat jauh dari hasil telusur kata “Indonesia” yang mencapai 341,000,000. Jangan-jangan kata “Indonesia” menjadi banyak hasil telusurnya karena kata “korupsi”-nya, ya? Mudah-mudahan ini bukan berarti kata “Indonesia” identik dengan kata “korupsi”. Hmm…
0 komentar:
Posting Komentar