Resensi
Ketika Maengket Jadi Barang Dagangan
Oleh: Denni Pinontoan
Judul : Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)
Penulis : Dr. Ivan R.B. Kaunang, S.S., M.Hum
Penerbit : Kerjasama Intan Cendekia Yogyakarta dan Program Doktor (S3) dan Magister S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali
Tahun : 2010
Tebal Halaman : vii + 228 hlm, 15,5 x 23,5 cm
MINAHASA berada dalam pusaran arus globalisasi. Hampir semua dimensi kehidupan Tou Minahasa, termasuk ekspresi seni terancam. Globalisasi dengan kapitalisme dan neoliberalismenya, memaksa Minahasa berubah secara paksa. Perubahan memang kodrat zaman, tapi globalisasi adalah kekuatan yang mengubah sesuatu tanpa dikehendaki oleh yang empunya. Maengket, tarian khas Tou Minahasapun terkomodifikasi. Kini, dia tidak lagi sebatas ekspresi spiritualitas dan seni, tetapi telah berubah menjadi sarana komersialisasi dan politisasi.
Kini hadir lagi satu buku yang mengkaji budaya Minahasa hadir untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Minahasa. Buku ”Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)”, terbit tahun 2010 karya Dr. Ivan R.B. Kaunang, S.S., M.Hum, mengulas salah satu dimensi kebudayaan Tou Minahasa, yaitu Maengket. Buku ini awalnya adalah disertasi penulis untuk program doktoral yang dipertahankan pada Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar – Bali tahun 2010 dengan judul ”Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara di Era Globalisasi”.
Dengan memakai kajian budaya sebagai pisau analisis, buku ini menghadirkan cara pandang yang baru terhadap sejarah, simbol dan ekspresi tari Maengket untuk membongkar kuasa-kuasa yang mengkomodifikasi dia di era globalisasi ini. ”Tabir kristalisasi politik identitas keminahasaan terbuka (dibuka lebar) melalui penjelasan buku ini untuk menjawab derasnya arus perkembangan global yang semakin kompleks dalam sepak berkesenian Tari Maengket,” tulis Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., dalam pengantarnya di buku ini. I Made Suastika adalah ketua Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Tari Maengket telah melewati perjalanan dengan zaman yang cukup panjang. Lahir di masa kuno Minahasa, awalnya Tari Maengket adalah untuk ritual keagamaan yang sakral. Tari Maengket khas dibandingkan dengan tarian yang lain di Nusantara. ”Tarian ini tidak sekadar menyanyi melainkan diungkapkan atau diperkuat dengan bentuk gerakan tari...Apa yang dinyanyikan itupula yang digerakkan,” tulis penulis buku, Ivan Kaunang.
Pada mulanya, Tari Maengket adalah berbentuk sakral, dan memiliki nilai-nilai religi yang tinggi. Sebuah unsur penting dalam ritual-ritual agama Tua Minahasa. Namun, begitu dia bersinggungan dengan perubahan zaman, termasuk perjumpaan dengan budaya luar, mulailah Maengket mengalami pergeseran. Globalisasi di Minahasa, menurut penulis buku ini, sudah terjadi cukup lama. Yaitu ketika tanah Minahasa mulai dikunjungi sejumlah bangsa, misalnya Cina, Arab, India, Spanyol, Portugis, Belanda dan Melayu. Sekarang, persinggungan dengan budaya bangsa-bangsa lain semakin intens dan memberi dampak bagi perubahan budaya.
Terkini, ketika sistem informasi dan komunikasi semakin tercepat karena perkembangan teknologi, arus globalisasi yang semakin kuat, Tari Maengket benar-benar bergeser. Maengketpun terkomodifikasi dalam pertunjukkan atau peragaan yang sarat dengan kepentingan modal dan politik. ”Kepentingan selera pasar didahulukan, akibatnya terjadi pergeseran pemaknaan dan pendefinisian terhadap sakralitas Maengket,” tulis Kaunang.
Buku ini, sebagai sebuah hasil penelitian ilmiah mengungkap banyak temuan yang selama ini tidak diperhatikan oleh buku-buku yang mengkaji tentang sejarah dan budaya Minahasa. Ada tiga temuan penelitian yang penulis hasilkan dari kerja penelitiannya terhadap Tari Maengket. Pertama, proses komodifikasi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi terjadi akibat adanya relasi antarinstusi. Tarian Maengket terkomodifikasi melalui relasi yang tercipta dari suatu kondisi ideologi yang sama antara pemilik modal (kapitalisme), dan penguasa (pemerintah). Tarian Maengket dalam pola ekonomis tersebut kini telah berubah menjadi alat komoditas yang sama dengan barang dan jasa.
Kedua, munculnya klaim-klaim hasil akhir dari produksi Tarian Maengket yang didominasi oleh individual, organisasi kelembagaan, kelompok /sanggar dengan meligitimasi kelompoknya sebagai kelompok elite dan memarjinalkan kelompok yang lain. Kelompok yang menang dalam klaim tersebut adalah kelompok yang memiliki relasi dengan penguasa dan pemilik modal.
Ketiga, Tarian Maengket kemudian diredefinisi sebagai seni pertunjukkan, tari populer yang dapat dilakukan di banyak tempat, sembarang waktu, dipentaskan dalam berbagai acara, penarinnya berpakaian warna-warni, dll. Pokoknya, telah sangat berbeda dengan Tarian Maengket pada masa awal, yang ditarikan pada musim panen, atau habis panen, dilakukan oleh banyak orang, dapat terdiri atas kaum pria atau wanita.
Begitulah nasib Tarian Maengket di era globalisasi. Nasib yang tragis, ”ketika sang walian dikudeta”, begitu judul epilog Benni E. Matindas dalam buku ini.
Halo, Salam Budaya.
Perkenalkan kita Mercy Tumurang, asal Tomohon, ba kuliah di ISI Yogyakarta jurusan tari.
kebetulan kita mo meneliti mengenai Tari Maengket, mar karna banyak kendala dan keterbatasan, riki ta tunda. kalo boleh tau, dimana kita boleh cari informasi mengenai tari Maengket? karna, diluar Manado bahkan susah skali ba cari buku-buku serta narasumber yang tepat.
Terima Kasih.