Oleh: Denni Pinontoan
Baru pertama kali itu saya bertemu dengan om David Roring. Bicaranya penuh semangat. Suatu malam kami bacirita soal Minahasa. Tapi begitu menyebut kata “GMIM”, dia tampak diam. Air mukanya berubah. Sedih. Menyesal.
”Kita dulu alumni SD GMIM Ranotana,” Om David berujar.
Dia berkata begitu karena torang pe acara bacirita tiba-tiba menyinggung soal GMIM. Dia menyesal, bekas sekolahnya, kini telah berubah nama menjadi Sekolah Dian Harapan. SD milik GMIM itu berubah nama sebab, mulai 29 Juli bersamaan dengan acara Soft Openingnya, SD itu resmi diambil alih pengelolaannya oleh Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPH) dibawa asuhan chief executive officer Lippo Group, James Riady.
Om David geram. Dia mengingat masa ketika dia menjadi murid di sekolah itu. Sebagai warga GMIM, dia bangga pernah bersekolah di SD itu.
”Maar, pas kita lewat di situ kemarin, oh tuhay, so ada tulisan ’Sekolah Dian Harapan’ pa depe papan nama.”
Pada 1 April lalu, Pdt. Junius Posumah, Ketua Yayasan AZR Wenas dan Jonathan Parapak, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman untuk kerjasama tersebut.
Bentuk kerjasamanya adalah investasi sarana berupa bangunan sekolah dan pendukungnya, tenaga pendidik dan bahan ajar yang dilakukan YPH terhadap sekolah GMIM tersebut.
”Kyapa, GMIM so nda mampu so mo kelola depe sekolah?” Kata Om David.
Yayasan Pelita Harapan mengiming-imingi petinggi Yayasan AZR Wenas dengan bangunan yang representatif. Sarana penunjang yang bertaraf internasional. Kurikulum sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dikeluarkan Kemendiknas. Dan, katanya diperkaya dengan muatan kurikulum berstandar internasional.
Waktu soft opening, sebagai tanda dimulainya alihkelolah tersebut, hadir Pembinan Yayasan Pelita Harapan, Dr James Riady, Drs Theo Sambuaga sebagai Presiden Komisaris Group Lippo dan Gubernur Sulut SH Sarundajang.
James Riady adalah anak Mochtar Riady, seorang pengusaha Indonesia terkemuka. Ia adalah pendiri dan presiden komisaris dari Grup Lippo. Mochtar Riady banyak dikenal orang sebagai seorang praktisi perbankan handal. Ia juga dikenal salah seorang konglomerat keturunan Tionghoa-Indonesia yang berhasil mengembangkan grup bisnisnya hingga ke mancanegara. Kakek James Riady, adalah seorang pedagang batik bernama Liapi (1808-1959), sedangkan neneknya bernama Sibelau (1989-1939).
Pada tahun 1947, ayah James Riady, ditangkap oleh pemerintah Belanda karena menentang pembentukan Negara Indonesia Timur. Bahkan sempat ditahan di penjara Lowokwaru, Malang. Ia kemudian di buang ke Cina. Di sana ia mengambil kuliah filosofi di Universitas Nanking. Mochtar Riady tinggal di Hongkong hingga tahun 1950, dan kemudian kembali lagi ke Indonesia. Pada tahun 1951 ia menikahi Suryawati Lidya, seorang wanita asal Jember.
Grup Lippo, sebuah grup yang memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Karyawannya diperkirakan berjumlah lebih dari 50 ribu orang. Aktivitas perusahaannya tidak hanya di Indonesia. Hadir di kawasan Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian, dan Shanghai. Usahanya berkembang mulai properti, infrastruktur multimedia, media, retail, pendidikan, kesehatan, hingga pengelola investasi. Pada 1989, Mochtar Riady menggabungkan Bank Perniagaan Indonesia dengan Bank Umum Asia menjadi Lippo Bank.
September tahun lalu, Mochtar Riady, menyerahkan tampuk pimpinan kelompok usaha Lippo kepada Theo L. Sambuaga. Sambuaga adalah politikus Golkar yang sebelumnya, sudah 15 tahun menjadi komisaris Lippo. Menurut Tempo (Senin, 11 Oktober 2010), alasan Mochtar memilih Sambuaga, karena Lippo ingin berekspansi ke Indonesia bagian timur. ”Sebagai orang Manado, Theo dianggap cocok dengan strategi Lippo yang ingin menggarap pasar di sana,” demikian Tempo menulis.
Sejak itu, Mochtar tak lagi aktif di manejemen Lippo. Dia sekarang lebih memilih berfokus pada keluarga dan kehidupan spiritual.
James Riyadi pernah terlibat dalam skandal pemberian sumbangan illegal dengan dana luar negeri untuk kampanye politik Bill Clinton. Mother Jones, sebuah majalah invenstigasi terkemuka di Amerika Serikat menulis, antara Mei 1990 dan Juni 1994 James Riady dan bekas penghimpun dana untuk Partai Demokrat, John Huang, telah berkongsi memberi sumbangan rahasia kepada Partai Demokrat. Dana itu juga untuk kampanye Bill Clinton. James Riady telah memberikan dana sebesar $475.000 sejak tahun 1991. Majalah itu juga menulis cerita kedekatan keluarga Riady dengan Soeharto di masa orde baru.
George Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresiden: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006) bahkan menulis, total dana yang telah disumbangkan keluarga Riady dengan eksekutif dan kolega-koleganya kelompok Lippo kepada mesin kampanye Clinton pada tahun 1992 senilai total $1.050.000. ”Jauh lebih banyak dibanding perusahaan, serikat buruh, atau selebritis Hollywood,” tulis Aditjondro.
Aditjondro menulis, di masa rezim Orde Baru berkuasa, untuk kepentingan kekuasaan dan usaha-usaha keluarga Soeharto, James Riady adalah pelobi terbaik Soeharto untuk AS. Joe Studwell dalam bukunya Asian Goodfahters: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2009), menyebut, keluarga Riady salah satu pengusaha kelas kakap yang dekat dengan kekuasaan Soeharto.
Kasus James Riady tersebut mencuat setelah pada tahun 1998, senat Amerika Serikat melakukan penyelidikan skandal keuangan kampanye presiden AS. James Riady didakwa dan mengaku bersalah atas pelanggaran dana kampanye oleh dirinya sendiri dan perusahaannya. Akibatnya, dia kemudian diperintahkan membayar denda sebesar $ 8.600.000. Denda ini tercatat sebagai yang terbesar yang pernah dikenakan dalam kasus keuangan kampanye.
Sejak menjadi Kristen pada tahun 1990, James Riady aktif sebagai seorang evangelis. Dia juga mendirikan yayasan, badan amal dan sekolah-sekolah berbasis Kristen di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia. Karena aktivitasnya ini, James Riady sering dituduh melakukan kristenisasi. Kini, dia hadir di Minahasa, mulai mengalihkelolah sekolah-sekolah milik GMIM. Selain SD GMIM di Ranotana, SD GMIM II Tomohon, juga telah dialihkelolah oleh Yayasan milik James Riady ini. Sekolah itu diberi nama SD Lentara Harapan.
Selain dua sekolah milik GMIM itu, sebelumnya, kerjasama juga telah terjadi antara Yayasan Pelita Harapan dan Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen (YPPK) DR. J.B. Sitanala. Situs ambon.go.id menyiarkan, pada 10 Januari lalu, bertempat di Gedung Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), kedua yayasan tersebut telah menandatangani MoU. YPPK telah menyerahkan sekolah-sekolah yang berada di kompleks persekolahan Rehoboth, yang terdiri dari SD Kristen I dan II Rehoboth, SMP Kristen Rehoboth dan SMA Kristen Rehoboth, untuk dikelola Yayasan Pendidikan Pelita Harapan selama 13 Tahun. Cita-cita ayahnya, Mochtar Riady untuk berekspansi ke Indonesia bagian Timur, agaknya sementara mewujud.
SEJARAH pendidikan GMIM tak lepas dari sejarah Pekabaran Injil di tanah Minahasa. Tanggal 12 Juni lalu, GMIM memperingati 180 tahun Pekabaran Injil dan Pendidikan di Minahasa. Bodewyn Talumewo menulis dalam majalah Waleta Minahasa (edisi No. 2 thn. I Juni 2010), pendidikan oleh gereja di Minahasa tidak lepas dari semangat pada zendelingnya dalam mengabarkan Injil di Tanah Minahasa.
Menurut catatan Talumewo, di masa zendeling NZG asal Jerman, Johann Friedrich Riedel (1798-1860) dan Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859), pendidikan kepada anak-anak bangsa Minahasa didorong secara optimal. Sebelum era Riedel dan Schwarz, pendidikan hanya sebatas untuk anak pegawai kolonial dan anak-anak orang Borgo. Hanya segelintir anak elit Minahasa yang bisa mengenyam pendidikan di masa itu.
Riedel dan Schwarz tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Mereka menginap di rumah wakil Indische Kerk atau Gereja Protestan Hindia Belanda Ds. Gerrit Jan Hellendoorn. Sekitar seminggu kemudian keduanya diajak turut dalam perjalanan dinas mengelilingi daerah Minahasa. Sesudah itu Riedel melayani daerah Tondano dan sekitarnya dan menetap di Tondano-Toulimambot. Sementara Schwarz melayani daerah Kakas, Remboken, Langowan, Tompaso, Kawangkoan dan Sonder. Schwarz mula-mula berdiam di Kakas kemudian menetap di Langowan.
Kedua zendeling ini menjadikan pendidikan dan pendirian sekolah-sekolah sebagai program utama. Mereka merintis pembinaan pemuda remaja melalui sistem anak piara. “Sistem pendidikan papendangan atau model pendidikan asli Minahasa kemudian diadopsi oleh para zendeling dalam bentuk anak piara. Mereka kemudian disebut moerid-stelsel atau murid yang menaati peraturan tertentu sebagai pedoman,” tulis Talumewo.
Selain sebagai zendeling, Riedel dan Schwarz juga berfungsi sebagai guru. Mereka juga mendidik anak-anak Minahasa untuk menjadi guru. “Para pemuda yang telah cakap menulis, membaca, berhitung, menyanyi, bisa diangkat menjadi guru. Mereka disebut guru angkat,” tulis Talumewo.
Sejak tahun 1851 telah berkembang pula sekolah-sekolah Kristen atas kegiatan para Zendeling antara lain Riedel, Schwarz. Waktu sekolah disebut Sekolah Genoskap (Genoofschapsscholen). Desa-desa yang belum memiliki sekolah merasa iri dan mendesak Walak mereka, supaya mengusahakan juga sekolah. Dengan ini atas usaha beberapa kepala Walak dididirikanlah sekolah-sekolah yang disebut Sekolah Walak yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Distrik atau Sekolah Negeri.
Waktu itu dalam satu sekolah hanya memiliki seorang guru jebolan pendidikan sistem anak piara dan moerid-stelsel, serta Sekolah Pendidikan Guru Kweekschool. Sejak awal abad XIX, tugas memberikan pelajaran kepada murid yang baru masuk sekolah diserahkan kepada murid-murid tertua. Mereka ini disebut magang. Awal abad XX, magang demikian yang telah mengajar selama 3-5 tahun, diuji pemerintah dan yang lulus mendapat ijasah Kweekeling (Calon Guru). Sesudah 3-5 tahun menjadi Kweekeling, maka diuji pula untuk mendapat ijasah hulponderwijzer (Guru Bantu).
Zendeling NZG giat mendirikan sekolah zending di setiap kampung/negeri yang dianggap sudah mampu dan memenuhi persyaratan. Statistik NZG menyebutkan bahwa untuk tahun 1827 tercatat 7 sekolah NZG dengan anak 300 siswa rintisan Hellendoorn, tahun 1830 ada 9 sekolah, tahun 1832 ada 20 sekolah dengan 700 anak, tahun 1835 ada 25 sekolah, tahun 1836 menjadi 33 sekolah, tahun 1837 ada 40 sekolah, dan berkembang tahun 1840 menjadi 65 sekolah dengan 4.000 anak.
Kegiatan para Hoofden (Kepala-kepala Distrik dan lain sebagainya) di Minahasa dalam rangka memajukan pendidikan juga besar. Mereka mengusahakan sekolah-sekolah negeri milik Distrik yang pendiriannya ditanggung oleh kas negeri. Pada tahun 1844 saja sekolah semacam ini telah berjumlah 12 buah. Walau begitu mutu sekolah ini buruk. Sebab sekolah ini dipimpin oleh guru pembantu dengan kualitas rendah.
Menurut data yang Talumewo kumpulkan, tercatat sebelum Perang Dunia II berkecamuk, tahun 1941 Minahasa dengan 450 buah desa dan penduduk sebanyak 377.000 orang telah memiliki sekolah dasar atau Sekolah Rakyat GMIM sebanyak 201 sekolah. Itu antara lain dari sekolah-sekolah yang ada sampai di masa itu.
Berefleksi atas kenyataan sejarah itu, Ds. AZR Wenas, Ketua Sinode GMIM pertama asal Minahasa pernah berujar, “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus menjalankan Misinya lepas dari Kua-sa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Menolong Orang yang Sakit dan Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”
GMIM sudah hadir dalam sejarah di Tanah Minahasa dengan semangat mencerdaskan Tou Minahasa. Sekolah-sekolahnya mulai dari taman kanak-kanak. Sekolah Dasar. Sekolah Menengah Pertama. Sekolah Menengah Atas. Semuanya telah berperan bagi usaha pencerdasan peradaban ini. Karena pendidikannya yang tergolong maju, maka GMIM pernah mengirim guru-gurunya ke beberapa daerah sekitar di pulau Sulawesi.
Harry Kawilarang mengenang pendidikan di Minahasa dengan menyebut peran guru-guru dari Minahasa. Para guru itu adalah hasil didikan sekolah-sekolah milik gereja di Minahasa. “Setelah selesai dari sekolah guru di Kawangkoan, Sonder dan Tondano, banyak dari guru-guru turunan Minahasa ini melanjutkan profesi sebagai tenaga pengajar pada berbagai pelosok di gugusan nusantara dari Sabang hingga Merauke, dan dari Lirung hingga pulau Roti,” tulis Kawilarang.
Almarhum
Phill M. Suluh, eks tentara Permesta dan wartawan mengenang bekas sekolahnya dalam bukunya “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri.” Dia menulis, gedung Gereja Tua GMIM Pniel Kakaskasen di masa Permesta pernah dipakai sebagai ruang kelas SD GMIM karena muridnya banyak. Di masa Permesta, Kakaskasen, kampungnya hancur, porak-poranda. Hanya gedung gereja GMIM Pniel dan Gereja Katolik di wanua itu yang masih berdiri kokoh ketika dia pulang dari gerilyanya di Minahasa Selatan sebagai tentara Permesta awal tahun 1960.
“Sejak dari kelas III SD sampai tamat 6 tahun, aku menjalani pendidikan di sekolah ini. Bangunan sekolahnya tampak masih ada meskipun sudah tak terawat. Perabotan di dalamnya berserakan dan sudah banyak yang hilang,” kenang Suluh.
Greity Sumayouw, mahasiswi Fakultas Teologi UKIT dalam skripsinya tentang Sejarah Gereja Wiau Lapi menceritakan tentang bagaimana usaha dari jemaat itu mempertahankan keberadaan sekolah milik GMIM di tengah pergolakan Permesta. Waktu itu, tulis Greity, rakyat wanua Wiau Lapi harus mengungsi ke wilayah-wilayah perkebunan karena perang. Para murid sekolah dasar tidak bisa lagi bersekolah dengan baik. “Tapi, atas inisiatif Alo Sengkey, kepala sekolah SD GMIM Wiau Lapi, sekolah tersebut juga ikut diungsikan ke perkebunan,” tulis Greity. Maka, ibadah dan kegiatan belajar tetap berjalan meski situasi bergolak.
Saya juga tentu tak bisa melupakan kenangan waktu bersekolah dulu. Waktu SD, saya sekolah di dua SD GMIM. Di Motoling dan di Kawangkoan. Tiga tahun pertama, saya bersekolah di SD GMIM Motoling. Tiga tahun kedua, pindah ke SD GMIM I Kawangkoan. Kalau SD GMIM Motoling letaknya di jalan menuju wanua Malola. Saya masih ingat, gedung sekolahnyaberbentuk huruf ‘L’. Setiap hari, sekitar 1 km saya berjalan menuju ke sekolah itu. Berapa puluh tahun kemudian, kalau pulang ke Motoling saya tidur di rumah yang cuma berjarak sepuluh langkah dari gedung sekolah itu. Sebab, istri saya, rumah orang tuanya di sebelah SD GMIM itu. Sungguh tak pernah saya bayangkan.
Saya masih ingat, ketika waktu istirahat kami para murid sering bemain di bagian belakang sekolah. Mengais-ngais tanah mencari undur-undur. Binatang kecil ini kami adu. Berlomba, siapa undur-undurnya yang paling cepat berlari mundur. Bila sudah selesai, undur-undur kami biarkan begitu saja. Kasihan.
Tanganku pernah keseleo. Gara-gara, saya dan teman bermain motor-motoran. Kami berlari-lari mengelilingi halaman sekolah meniru pengemudi motor. “Brum...brumm...brummm.” Motor-motoran tancap gas.
Suatu saat, pas dalam posisi berbelok, kaki saya tersenggol kaki teman yang menyusul dari belakang. Saya terjatuh. Tangan kiri saya tertindih tubuh teman yang ikut jatuh. Sakit sekali. Saya langsung pulang ke rumah sambil menangis. Oma saya memijit dengan minyak ‘sakti’ bikinannya. Setelah itu dikompres dengan cuka. Tiga hari saya tidak bisa ke sekolah. Akibatnya, tangan saya agak bengkok sedikit.
Para guru saya di SD GMIM Motoling ada yang galak ada juga yang ramah. Saya ingat bapak guru bernama Ferry Rindo-rindo. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sedikit galak guru matematika kami itu. Tapi, dia sebenarnya baik.
Selesai kelas tiga saya pindah ke SD GMIM I Kawangkoan. Opa saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit GMIM Bethesda. Kami sekeluarga, termasuk ibu ikut ke Tomohon. Keluarga kami kebanyakan di Kawangkoan. Setelah sembuh, opa menetap di Kawangkoan. SD GMIM I Kawangkoan berdiri samping Gereja Sion Sendangan, Kawangkoan. Waktu saya SD di sana, bangunan gerejanya masih asli, seperti waktu gedung itu dibangun pada akhir abad 19. Setelah tamat di SD GMIM 1 Kawangkoan pada tahun 1989, saya pulang ke Motoling. Saya masuk di SMP Kristen Motoling. Sekolah ini, juga milik GMIM.
Saya masih ingat betul petuah ibu ketika hendak kuliah di Fakultas Teologi UKIT sekitar 13 tahun silam. Ibu berpesan, “Biar orang tua maraya, yang penting ngana musti sekolah.” Ini, menjadi motivasi bagi saya untuk bersekolah. Beberapa kali bacirita deng beberapa teman, agaknya petuah ini adalah juga pesan orang tua mereka. Ini spirit sumekolah yang luar biasa. Seandainya petinggi-petinggi BPMS GMIM mau belajar dari sejarah pendidikan GMIM di tanah Minahasa. Di masa bergolak karena perang, jemaat dengan gigih mempertahankan sekolah-sekolahnya. Mereka punya visi jauh ke depan. Itu tentu demi anak cucu mereka, generasi Minahasa yang sekarang hidup di tengah persoalan komersialisasi pendidikan. Para leluhur kita, sadar betul makna sekolah bagi GMIM.
Lebih baik dibuat rata kiri, tanpa rata kanan, karena ia membuat bacaan lebih melelahkan mata. Kolom ini terlalu lebar untuk rata kanan. Thx.