Oleh: Denni H.R. Pinontoan
Sehari setelah kata ‘merdeka’ menggema di seantero Nusantara. Sehari setelah makna merdeka dikhotbahkan mulai dari tanah lapang sampai di istana merdeka. Itu terjadi pada tanggal 18 Agustus baru lewat. Di wanua Pinabetengan, polisi berjaga-jaga dengan senjata. Mereka tidak sedang mengejar koruptor. Tidak juga sedang menghadang teroris. Para polisi itu berjaga-jaga untuk menghadang rombongan Tou Minahasa yang akan ke Watu Pinawetengan.
”Para aparat kemanan dari berbagai unsur menghadang berlapis tiga mulai di Desa Pinawetengan hingga gerbang Watu Pinawetengan,” tulis Joppie Worek di grup Facebook Suara Rakyat Minahasa. Worek, adalah sekretaris pelaksana kegiatan ”Deklarasi Watu Pinawetengan Menuju Negara persatuan Republik indonesia” pada tanggal 18 Agustus itu. Kegiatan ini gigagas oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri “Gerakan Persatuan (Federal) Indonesiadari Minahasa (GERAPIM)”
Sekitar seratusan orang yang sedang menuju ke Watu Pinawetengan tempat pelaksanaan kegiatan itu dicegat di ujung wanua Pinabetengan. Alasan aparat, kegiatan ini tidak memiliki izin. Memang, sebelumnya, para penggagasnya sudah berusaha mengurus izin kegiatan. Tapi, pihak kepolisian tidak memberikannya. Alasanya tidak jelas. Alhasilnya, kegiatan tersebut batal dilaksanakan. Rombongan dan para penggagaspun kecewa. Tou Minahasa yang simpati dengan gerakan itu juga kecewa dan marah.
Padahal, kegiatan tersebut akan diisi dengan peringatan HUT RI ke-66. Rencana acaranya ada doa pembukaan. Pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pembacaan Teks Proklamasi, Pancasila, dan Mukadimah UUD 1945. Kemudian ada sambutan Ketua Gerakan Moral “Persatuan Minahasa” Mayjen (Purn) C J Rantung, yang juga mantan Gubernur Sulawesi Utara. Bahkan, ada pembacaan Puisi dan Prosa, serta Harapan Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah di Watu Pinawetengan, rombongan akan berziarah dan meletakkan karangan bunga di Makam Pahlawan Nasional Dr GSSJ Ratulangi di Tondano.
Sebuah gerakan kebudayaan yang berisi seruan moral menyikapi perjalanan bernegara Indonesia Raya. Tidak ada pengibaran bendera Minahasa. Tidak ada Proklamasi Republik Minahasa Merdeka. Tidak ada milisi Minahasa yang siap mati demi membela acara itu. Pokoknya, tidak ada yang membahayakan negara.
Memang, dalam undangan yang disampaikan penggagas melalui email, bahwa dalam kegiatan itu nantinya akan ada pernyataan sikap. Pihak penggagas, dalam hal ini dr. Bert Adriaan Supit, yang juga Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa (MAM) menyebutkan bahwa pernyataan sikap yang rencananya akan dibacakan di acara itu adalah: 1.) Bahwa Pancasila dan UUD RI harus BEBAS dari Ideologi Agama Islam sesuai Keputusan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. 2.) Bahwa bentuk dan sistem NKRI sudah GAGAL karena terlalu sentralistik kekuasaan POLITIK dan EKONOMI, serta KORUPSI di PUSAT KEKUASAAN sudah TIDAK TERKONTROL LAGI, dan sudah merembet keseluruh sendi Bangsa Indonesia.
Pihak penggagas juga telah menyiapkan naskah “Deklarasi Watu Pinawetengan Menuju Negara Persatuan Republik Indonesia.” Naskah itu berisi 11 point latar pemikiran dan pertimbangan, serta 5 point pernyataan dan seruan. Fokusnya adalah kritik terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik. Sambil menyatakan bahwa bangsa Minahasa tetap menghormati Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD 45 dan semangat kebhinekaan yang diikrarkan oleh para pendiri relublik ini. Memperhatikan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia yang memprihatinkan, maka pihak penggagas merasa perlu menyerukan kepada penyelenggara negara ini untuk mempertimbangkan aspirasi perubahan sistem negara, dari “kesatuan” menuju “persatuan” yang federal. Usulan ini “untuk tercapainya cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia dan demi penyelamatan Republik Indonesia hasil proklamasi 17 agustus 1945.”
Juga, naskah sambutan yang dipersiapkan oleh Mayjen (Purn) C.J. Rantung, sebagai Pembina Gerakan Moral ’Persatuan Minahasa’ untuk dibacakan pada kegiatan itu, tampak sangat nasionalis. “Para pendahulu kita telah mengambil bagian dalam babakan kehidupan bersama dengan bangsa-bangsa lain di kepulauan nusantara ini melalui peristiwa kesepakatan bersama kongres pemuda tahun 1928 menjadi ’persatuan bangsa indonesia’ menuju indonesia merdeka, menuju Indonesia yang bersatu dan berdaulat,” tulis Rantung dalam naskah sambutannya itu.
Dia juga mengajak segenap tou Minahasa untuk melestarikan semangat “persatuan” dan “kerukunan.” Tou Minahasa, menurut Rantung harus juga terus mengabdikan dirinya bagi masa depan Indonesia. “Dari Watu Pinawetengan, saya selaku “putera Minahasa”, selaku tonaas wangko umbanua yang pernah memimpin Propinsi Sulawesi Utara ini selama 10 tahun. Ingin mengajak seluruh Tou Minahasa, di seluruh persada Indonesia tercinta untuk terus memberi diri berjuang dan berkarya secara kritis dan kreatif bagi masa depan Indonesia.”
Apa yang salah dengan kegiatan itu kalau, baik bentuk acara maupun isinya masih berbicara tentang ke-Indonesia-an atau mungkin tepatnya, perspektif ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an? Dokter Bert Supit mensinyalir, penghadangan itu terjadi karena aparat terjebak pada isu yang dimaikan oleh kelompok tertentu di Minahasa. “Dalam kesempatan ini saya perlu menyampaikan bahwa pihak kepolisian terjebak dalam permainan isu dari kelompok-kelompok tertentu yg mengatakan bahwa perayaan ini adalah deklarasi separatis,” kata Supit seperti yang rilis portal berita http://beritamanado.com/, Jumat, 19 Agustus.
Memang sebelumnya, ormas Brigade Manguni Indonesia (BMI), melalui Sekretaris Jenderalnya, Renata Ticonuwu, mengatakan bahwa BMI siap menjegal kegiatan tersebut. Alasannya, bahwa gerakan ini separatis. “Gerakan GERAFIM adalah gerakan separatis, karena bisa mengancam kesatuan dan persatuan NKRI.” Ticonuwu mengatakan itu pada konferensi Pers di Hotel Griya Sintesa Peninsula Manado, Jumat, 5 Agustus lalu. Tapi, menariknya, pada tanggal 18 Agustus itu yang tampak melakukan penghadangan bukan BMI melainkan aparat kepolisian.
Sebuah ironi terjadi sehari setelah tanggal 17 Agustus, hari ‘merdekanya” Indonesia. Ketika masih ada niat baik untuk ikut merayakan hari, justru penghadangan dan pembatalan kegiatan dilakukan oleh aparat, yang tentu merepresentasi negara. Ini menjadi tanda buruk bagi makna ‘kemerdekaan”, ya, merdeka berpendapat, berkumpul dan menyatakan kritik terhadap negara. Sehari setelah ‘merdeka’, makna kebebasan yang menjadi esensi dari kemerdekaan republik ini, ‘mati’! Jika negara sudah takut pada kritik, maka di situlah awal kehancurannya.
Hem... aparat selalu bertindak cepat menghadapi yang lemah tapi lambat menghadapi koruptur. parah...