Rabu, 14 Desember 2011

(Orang) Minahasa Harus Merdeka!

Oleh: Greenhill Weol (director Mawale Cultural Center)
..sebuah provokasi..

~ The enemy is within the gates; it is with our own luxury, our own folly, our own criminality that we have to contend ~ -Cicero

~ If you know the enemy and know yourself you need not fear the results of a hundred battles. ~ -Sun Tzu

~ An army without culture is a dull-witted army, and a dull-witted army cannot defeat the enemy. ~ -Mao


Ya. Judul diatas memang sebuah provokasi. Saya memang seorang provokator. Silahkan tangkap saya. Tetapi saya bukan provokator semacam yang pernah diisukan beredar-edar pada masa hangat-hangatnya kerusuhan beberapa waktu lalu itu. Yang menyebabkan dimana-mana berjalan kuatir kalau lupa bawa KTP itu. Bukan seperti itu komang. Tetapi memang saya banyak memprovokasi orang-orang Minahasa di sekitar saya beberapa waktu terakhir ini, baik dalam diskusi-diskusi, atau pakai mass media semacam ini, dengan ya itu tadi, Minahasa harus merdeka. Sekarang pun, saya sedang melakukan hal yang sama terhadap anda. Bukan karena saya seorang ultranationalist, bukan. Cuma karena menurut saya memang sudah semestinya begitu. Orang-orang yang paling pertama mengalami tentu saja mahasiswa teman-teman saya. Biasanya teman yang akan saya “provokasi” itu akan saya ajak berbicara tentang hal-hal yang lain, yang remeh-temeh. Tentang langit yang tidak berawan, kopi kantin Manus yang pas pahitnya, atau si Fredy yang belum berhasil dapa maitua, misalnya. Dan di tengah-tengah pembicaraan itu saya tiba-tiba akan menyelutuk “Apa ngana pe pendapat tentang Minahasa Merdeka?”. Reaksi mereka beragam. Ada yang lalu tatigo sehingga nasi yang sedang dimakannya keluar dari hidung, ada yang tenang-tenang saja seolah kata-kata tadi meaningless buanget githu loh, ada yang secara skeptis menepis segala kemungkinan ke arah pembicaraan yang lebih intens tapi ada juga yang langsung menyambut dengan deretan pidato bergelora macam bung Tomo yang isinya lebih aman tidak dibeber di sini.

Paling sering saya diwanti-wanti untuk tidak mengobarkan lagi jenis perang yang dulu telah memakan korban nyawa putra-putra terbaik Minahasa itu. Saya sering membalas dengan mengatakan bahwa saya juga, seperti banyak diantara kita, punya saudara-saudara yang jatuh korban pada perang itu, Tuhan berkati jiwa mereka semua, dan justru setelah perang itulah kita orang Minahasa lebih banyak “dikorbankan”. Bukan begitu? Tetapi, diantara semua, ada sebuah respon yang diberikan oleh seorang sahabat, seorang sejarahwan asal Langowan, kedengaran paling wise: apa torang so mampu mo merdeka?. Kemudian Ia lalu mendetailkan kebutuhan-kebutuhan sebuah daerah untuk, bahasa revolusinya, berdikari. Dia sangat cermat memaparkan, “yang ini torang memang ada, mar yang ini nyanda.” Begitu bahasanya. Sayapun mau-tak-mau jadi takjub bukan karena ngga ngeh dengan segala prasyarat itu dalam berprovokasi, namun karena akhirnya saya temukan lagi seorang Muda Minahasa yang punya rasio dalam pikirannya. Soalnya, lebih sering ketemu dengan orang yang kalau tidak so talalu tako, so nintau tako!

Kemudian, dalam intensitas diskusi dengan mereka, saya menegaskan: Orang Minahasa adalah orang-orang merdeka. Sudah semestinya begitu. Itu sudah mengalir dalam nadi kita. Jadi mau lari kemanapun pasti keinginan itu akan muncul jua. Masalah mampu dan tak mampu itu teknis. Jadi sekali lagi saya tegaskan: Orang Minahasa Harus Merdeka. Ini memang provokasi, tetapi dalam artian yang tidak dekonstuktif. Bagi saya, kemerdekaan Minahasa hari ini berarti kebebasan dari trauma masa lalu dan kebebasan dari pembunuhan masa depan. Secara praktis, ringan, dan yang terpenting kontekstual, kurang-lebih yang saya maksudkan adalah: tidak lagi mendengar Jenderal kita dimatikan karirnya, tidak lagi tidak melihat menteri kita dalam kabinet, tidak lagi mendengar bahwa kita tidak pernah menderita dalam penjajahan, tidak lagi melihat harga cingke (dan hasil bumi lain) tidak wajar, tidak lagi mendengar tentang Bibir Manado, tidak lagi melihat orang mabo bakudusu deng peda, tidak lagi mendengar orang bapajak di muka lorong , dan, ini yang paling sulit mungkin, mudah-mudahan tidak lagi melihat tambio di pinggir jalan. Hal-hal semacam itulah yang lebih dekat terhadap hati masyarakat kita, yang menjadi keresahan di setiap sudut desa, ketimbang berkampanye besar-besaran tentang Minahasa Merdeka, namun tanpa kejelasan merdeka dari apa dulu? Setidaknya temukanlah musuhmu, perangilah dan jadilah merdeka! Dan ingat, berperang tanpa senjata itu mengantar nyawa belaka. Jadi selanjutnya, diskusi beralih ke masalah senjata. Spontan seorang teman nyelutuk tentang pengetahuannya dalam “persenjataan” seperti peda tiga step, pana wayer, cakram, lilang, dsb., dsb. Lengkap dengan daya bunuhnya sekaligus. Luarbiasa! Setelah ditanya, ternyata di kampung asalnya memang sering terjadi perang antar kampung yang sudah dianggap semacam “olahraga” atau hiburan. Kalau tidak ada ngga sreg gitu. Wah! Ini salah satu prilaku yang justru harus dimerdekakan.

Beberapa waktu lalu saya ikut bergabung dalam sebuah diskusi banyak elemen Minahasa yang ingin menilai seberapa merdeka kita sebenarnya. Setelah banjir opini dan berromantika visi, saya dan beberapa teman yang masih muda mendapat bagian untuk bicara. Kami bicara tentang satu hal: Minahasa Cuma bisa dimerdekakan dengan kembali menata kebudayaannya. Caranya: Seperti yang telah kami lakukan secara estafet beberapa waktu terakhir ini dengan membangun kantong-kantong praktisi seni-budaya muda Minahasa di berbagai pelosok. Di Sonder, Wuwuk, Tomohon, Koha, Treman, Kalasey, muncul bangun-bangun budaya Minahasa baru berupa teater, sanggar seni, kelompok tari yang anggotanya para muda-mudi Minahasa yang mulai kembali secara sadar memulai sebuah pencarian identitas sebagai Orang Minahasa. Sebuah identitas yang sudah sedemikian lama secara sistematis dikaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan. Sekarang, di penjuru-penjuru Minahasa, ada muda-mudi yang melalui kegiatan seni-budaya macam pentas teater, menulis dan membaca puisi, cerpen dan esay, mementaskan sebuah pentas koreografi, serta memulai proses pengayaan intelektual dengan membaca dan berdiskusi tentang karya Shakespeare sampai Marx, seraya berkata dengan bangga “Saya Orang Minahasa” seraya menjaga keseimbangan spiritualnya secara kontinyu dengan Sang Khalik, maka sejarah barupun mulai ditulis hari itu juga. Sebuah sejarah yang tak lagi menuduh kita sebagai pemberontak atau antek kolonial yang sama sekali ahistoris. Sebuah sejarah yang menempatkan Bangsa Minahasa tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah namun setara dengan bangsa-bangsa besar manapun di dunia. Lebih banyak orang-orang Minahasa yang di kembalikan ke wale, kembali ke rumah dalam artian kembali memperkaya dirinya dengan kwalitas-kwalitas seorang Touna’as yang sudah diresepkan oleh leluhur kita maka lebih mudahlah kita memperoleh kemerdekaan kita dari semua yang menjajah kita, dan kita, Orang Minahasa dapat menjadi apa pun yang kita inginkan. Kita telah dilahirkan dengan sebuah falsafah hidup yang lengkap: pengetahuan, kekuatan dan kebijaksanaan. Itulah senjata kita! Orang Minahasa Seharusnya Merdeka, so butul itu.

Sebagai penutup catatan pembuka yang sudah mulai kepanjangan ini, sebagai sebuah provokasi, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin dapat anda maknai secara pribadi: masa tu laeng bole kong kita nyada!.

(2006)

0 komentar:

Posting Komentar