Rabu, 14 Desember 2011

Menuju termonologi baru

CATATAN KEMERDEKAAN:
Menuju termonologi baru

Oleh
Daniel Kaligis


SEORANG kawan nasionalis pernah mengirim “kibar merah-putih” lewat jejaring sosial setahun silam; Lambang negara tercabik di atas tumpukan sampah kota besar, di sana modernisme memutar roda-roda gila kehidupan bersama asap knalpot serta dentang logam pembangunanisme, industrialiasi, juga keraguan. “Untuk sebuah kemegahan,” dengus nafas memacu neuron-neuron yang bersuara via produktivitas dan efisiensi.


Kibar itu, memaki kemiskinan; sekian masa pertontonkan kekumuhan. Tampak cabik, berdebu dan pengap; Di situ seakan hadir aroma lumpur selokan, tajam menusuk hidung. Lumut dan jamur  menjalari sekeliling sampah yang sekian lama tak dibereskan. Bau itu ‘mungkin saja’ mengapung bila hujan datang mengguyur; lainnya hanyut jauh, sisanya kering krontang bersama berkas-berkas hari terik. Cakrawala ibu negara kita terbakar, matahari politik.


Kenangan lama kembali; basah di benak, pengalaman masa lalu. Hitung masa edar yang sudah berulang puluhan kali. Di dapur berlantai tanah persiapan itu dimulai. Sarapan sesudah membasuh badan kerempeng. Nasi mengepul dari belanga yang masih berada dekat perapian, berpindah ke atas piring; lauk sisa semalam, teri goreng dengan saus pedas, disendok ke atas nasi yang masih hangat. Lemak tidur menjingga itu meleleh, aromanya membuat lapar menjadi lengkap. Smokol, supaya siap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa di tiap Agustus, ada upacara dan berbagai atraksi di ibukota kecamatan.


Beberapa menit menjelang pukul sembilan. Barisan pengibar bendera berderap menuju tiang. Sementara, peserta upacara menanti, tegang. “Hormaaaaat grrrrraaaak!” Kaki rapat, telapak tangan kiri dikepal, wajah terangkat di bawah topi, tangan kanan didekatkan ke dahi. Indonesia Raya lalu mengalun dalam penghormatan yang khusuk. Anak-anak bangsa yang setia, pada puluhan ketika menyihirnya menjadi merdeka dengan tanda kutip; Sejumlah pulau digambarkan kitab sejarah untuk konstruksi teritori di bayang-bayang konstitusi yang hari ini dipertanyakan kebenarannya. “Merdeka itu seperti apa?.” Jawablah sendiri-sendiri.

Dari kawasan Orchard catatan ini coba saya terakan, manakala iklan negara di tv lokal Singapore memberitakan tentang barikade payung yang akan dikibarkan oleh begitu banyak manusia, menggambarkan bendera negeri itu akan berkibar di hari kemerdekaan negara bekas Straits Settlement (koloni) Inggris dan sekarang sudah menjadi lokomotif ekonomi Asean itu. Oh iya; hari kemerdekaan Indonesia dan Singapore, sama-sama di bulan Agustus setiap tahun. Indonesia, kakak yang “mengaku” lewat proklamasinya di 17 Agustus 1945, namun pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda nanti terjadi pada 19 Desember 1949. Singapore punya pengalaman sendiri,  keluar dari Malaysia dan menjadi sebuah republik pada 9 Agustus 1965.


Di atas Mass Rapid Transit yang kencang berlari meninggalkan pemandangan gedung-gedung bertingkat, lalu laut yang indah tanpa sampah, saya coba mencari panduan tentang Singapore dari google. Ada beberapa catatan di bawah ini. Rupanya, Singapore modern didirikan Thomas Stamford Raffles. Awalnya wilayah itu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu. Berdasarkan tulisan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menyatakan, ketika Singapore dibersihkan, bukit yang terdapat di situ telah dikenali sebagai bukit larangan. Di sana ditemukannya sebuah prasasti yang tak teridentifikasi dan telah kabur. Prasasti Singapura itu menunjukkan negeri itu telah menjadi sebuah pusat administrasi jauh sebelum tibanya pihak Inggris. Prasasti itu telah dimusnahkan oleh seorang insinyur Inggris. Namun, terdapat nota mengenai sebuah salinan tulisan tersebut yang telah diantarkan ke London tetapi gagal ditafsirkan.

Di antara abad enambelas dan kurun abad sembilanbelas, Kepulauan Melayu secara berangsur-angsur menjadi milik penjajah dari Eropa. Portugis tiba di Melaka pada tahun 1509. Dan pada abad tujuhbelas, Belanda telah menguasai kebanyakan pelabuhan utama di Kepulauan Melayu. Belanda memonopoli semua perdagangan rempah-rempah yang pada saat itu merupakan bahan perdagangan penting. Eropa termasuk Inggris, cuma mempunyai hak perdagangan yang kecil.

Pada 1818, Thomas Stamford Raffles telah dilantik menjadi gubernur di salah satu pelabuhan Inggris yaitu di Bengkulu, Sumatera. Thomas Stamford Raffles yakin bahwa Inggris perlu mencari jalan untuk menjadi penguasa dominan di rantau ini. Salah satu jalan ialah dengan membangun sebuah pelabuhan baru di Selat Melaka. Thomas Stamford Raffles berhasil menyakinkan East Indies Company untuk mencari pelabuhan baru di rantau ini. Thomas Stamford Raffles tiba di Singapura pada 29 Januari 1819. Dia menjumpai sebuah perkampungan Melayu kecil di muara sungai Singapore yang diketuai oleh seorang Temenggung Johor.

vivo city menjelang malam

Hari ini, pemandangan yang semraut adalah berjubelnya manusia, namun semua paham pada apa itu “Q”, tak saling mendorong, sopan dan tertib. Kaki-kali berlari dari ruang-ruang bawah tanah menyusuri lorong-lorong kokoh, terus bergulir dari eskalator dan lift, berpindah dengan konstanta yang selaras menujuh perobahan. Sekeping pengalaman yang boleh saya resapi di bawah rindang pepohonan di depan One Fullerton, di mana tugu Singa “muntah air” itu terlihat megah.

Beberapa kutipan di atas untuk dilupa, boleh saja. Namun, bagi saya, seperti ada jurang tercipta dalam benak, dengan tegas ini sebuah pembanding bagi Indonesia, yang adalah “kakak” dalam tataran “usia”, dan lebih dulu umumkan proklamasi merdekanya pada dunia.

Juang berdarah-darah, kemudian modifikasi sejarah secara kejam dan menempatkan rakyat sebagai tertuduh setiap kesempatan. Babad yang menjadi aneh bin ajaib, seperti mimpi-mimpi yang terus menggejala ketika sosialisasi pembangunan itu meratatanahkan para miskin, menjadi jampi-jampi yang mengusir setan betina “gender” dalam kerubutan paternal angkuh saling mencakar demi proyek-proyek. Kemerdekaan hari ini masih vis a vis dengan skenario sistem dalam memainkan uang sogok membeli kedaulatan rakyat.

Hanya sebuah kenang. Kibar waktu yang teramat kasib. Perjalanan masa silam tuju masa kini dengan segala romantikanya. Dari klasik menuju sebuah terminologi baru, entah apa itu. Namun, dari selayang kembara, termonologi itu berwujud. Di sana, memimpikan, merdeka tanpa kekumuhan. Merdeka adalah sebuah hasrat untuk berpindah dari kemalasan menuju turbulensi yang tak pernah berhenti selama jiwa dikandung badan. Merdeka adalah revolusi mindset yang menghasilkan karya-karya tak terbatas, bahwa kemanusiaan adalah “panglima” yang berjalan bergandengtangan dengan pembangunan dan lingkungan hidup. Dirgahayu mimpi-mimpi, merdekakanlah pemikiran.

Marina Bay, First of August, 2011 

0 komentar:

Posting Komentar