Rabu, 14 Desember 2011

Puisi-puisi Benni E. Matindas

DI BALIK BUKIT-BUKIT

di balik bukit-bukit sana
telah lahir.

bergegas.
coba memahami ketakpahammu
atau, ya, pergi saja
ke bagian paling keras dari biji syakwasangka,
sekiranya noktah khianat sukar tanggal dari retina,
baca keras-keras tentang hakmu
lalu teriakkan lagi
kita jauh lebih berdaya dari pagar desa
kita jauh lebih dari urusan cemar, suci, urusan ibadat — bahkan!

di balik bukit-bukit 
urusan kita sedemikian penting,
kecuali itu,
waktu pun sebegitu singkatnya, di palungan Bayi sudah langsung dipalang
dicekik
dipaku diracuni dihunjam tombak

di balik bukit-bukit sana, tebing berlumut
urusan kita: tadahkan lidah
(tak perduli serapah masih membasah sekujur,
atau kita masih pulang dengan kekudusan yang sundal)



MAZMUR JIWA TERGADAI

ada
sepotong sukacita
erat kugenggam.
kita menerkam ia!!
ketika
 sedikit, amat sedikit ia mengintai
dari timbunan bongkah-bongkah harap yang kandas
dari endapan cinta yang berkarat. Dan asing.
dari galaunya undang-undang yang berpacu dengan pelanggaran

(sungguh, malam ini, kita enggan berkisah
tentang korupsi yang nyaris jadi kurikulum wajib sekolah kehidupan
apalagi tentang demokrasi yang diintip lewat lobang laras bedil)

sukacita ini terlalu lemah
lilin nanti tidak lagi berarti Natal
lilin adalah cacimaki ketika listrik mati.
sukacita ini terlalu duka
esok, natal adalah kelemahan yang meronta
yang beramai-ramai kita perkosa!

natal adalah arus dendam
tatkala birahi membentur kehampaan,
atau riangnya bocah piatu bersepatu baru
atau nasi-jaha separoh arang
atau harum lilin terbakar; yang pasti
bukan senggama daging yang dahsyat.

seperti juga yang sudah
dendam itupun kita lanjutkan
di natal nanti
tanpa palungan
tanpa gembala
tanpa nyanyian malaikat
tanpa emas tanpa kemenyan tanpa mur tanpa
do’a

tanpa Bayi Yesus

malah tanpa jiwa kita sendiri
kerna Bayi Yesus adalah Surat Gadai bagi jiwa-
jiwa kita yang meregang bisu
menuntut penebusan



KEPADA IBU MARIA

malam ini Bunda tampaknya gundah
Yesus tidak minta
untuk kita memperingati kembali kelahiranNya
namun
memperingatkan kita untuk dilahirkan kembali dalamNya.

ada yang terlepas dari sana. Entah apa
ada yang terkelupas dari sini. Damai
ada yang datang membelenggu. Hidup
ada yang menguap dan sirna. Hidup
ada yang jauh tertinggal
ada yang mengepung!

helai-helai daun putih kini robek, Bunda
darah ‘lah jadi lambang kemenangan
abortus menjadi ijazah kehidupan
buah, bahkan ularnya, sudah ditelan manusia

wajah Anak Domba rusak tertimbun di sampah
letih, dan berdarah
jari-jemari bergerak lemah
sesekali terhenti,
diam
ketika kita kembali membuang ampas-
ampas sampah
di situ.
Eli, Eli, lama sabakhtani



KISAH SIKLUS SINTERKLAS

rombongan Sinterklas tiba.
di mulut lorong kanak-kanak bertempiar ketakutan
tapi nyatanya berjingkrak riang, “Klas! Klas…!!”
bahkan berlarian buntuti mobil Sinterklas.

seperti tahun-tahun yang sudah,
Sinterklas memang hanya datang untuk rumah pagar tembok tinggi putih,
tunggu di luar bocah-bocah telanjang kaki
telanjang jiwa
membayangkan: kado besar bergambar kucing,
                               anak orang kaya dielus Sinterklas,
                               dipotret bersama,
                               nyanyi sahut-sahutan.

gadis kecil pulang timpang
kakinya luka tersandung saat dihalau Pit Hitam menebar kacang dan gula-gula
gadis kecil sukacita, di saku ada lima kacang dan dua permen
itu cukup buat ia percaya betapa kaya, welas asih, pemberi, dan riangnya, Natal.
malamnya dalam tidur ia membagi kacang ribuan Pit
Hitam kerontang kelaparan di Ethiopia
dan menyisipkan permen hanya ke saku Pit yang sore tadi,
seraya berbisik:
                               “Jika belum kenyang,
                                  jangan kau makan sinterklasmu,
                                    telan saja laparku


(Puisi KISAH SIKLUS SINTERKLAS ini sudah ditambahi beberapa kata sambung pada naskah aslinya agar bersifat balada.)



DI UJUNG KEHADIRAN

derak tanah tanah kering, perahan niat yang
kusam jatuh ke ranggas belukar, muntahan iba yang
angkuh meremas silsilah, leleh syahwat yang
merana
kehilangan getar
beku
mengatup.

—     orang sekampung meluap
dengan parang, arit, sosoroka, dan jerat
bergerak ke setiap jurusan
merampasi setiap tanda-tanda hidup
dengan alasan suci
dan setipis pasti.

serak puing puing arang, bergayut sawang yang
jijik menghadang niat setiap arah,
pagi tekun menyusun muak (tak lupa sisikan jam-jam untuk perang)
malam terhenyak menghitung makna.

—     kekasih,
masih mungkinkah
kita selusuri sepi lorong-
lorong dekat sebuah kandang ternak
untuk Tangis
Kanak-
Kanak


Benni Matindas, pakar filsafat, penulis, dan penyair. Kini tinggal di Jakarta.

Catatan: Puisi-puisi Natal ini ditulis tahun 1979-1985. Pernah terbit dalam buku antologi sajak “Tadah Lidah” (Jakarta: Penerbit Inti Sarana Aksara, 1985). Moga menjadi berkah.

0 komentar:

Posting Komentar