Minggu, 03 Juni 2012

Minahasa Menggugat

Oleh Denni Pinontoan

Foto Eka Egeten
menggebleng rakjatperkuda organisasiperkedok partai,
terus teruskan itumuliakan dirikelilingdjemulaparhaus kebebasanrindukan stabilisasi tiga zaman sudah pergijang ketiga lebih gilademikian dialami

Begitu J F Malonda, pengarang  asal Minahasa mengeluhkan keadaan Tanah Minahasa, Tou, Tanah dan  Adatnya. Ia menulis sajak yang berjudul "Biadab" itu tahun 1951 (J.F. Malonda, Membuka Tudung Dinamika Filsafat Purba Minahasa, Manado: Jajasan  Budaja "W'ongken Werun", 1952).  Sebagaimana sajak itu ada, "Biadab" ini juga sedang merefleksikan sesuatu. Sesuatu itu bisa mengenai yang hidup, bernafas dan berpikir bisa juga yang  tidak bergerak, diam dan membisu. Bisa  soal kedukaan, bisa juga soal kesukacitaan. .
Kentara sekali, Malonda ada dalam suatu keprihatinan yang mendalam, sehingga menggugat.  Sudah pasti, yang sedang menjadi keprihatinannya adalah Tou, Tanah dan Adat Minahasa. Situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sedang dalam keadaan terdesak, adalah realitas semasa Malonda hidup. Realitas, sejatinya bersifat empiris. Tapi, realitas tidak berdiri sendiri. la dibangun oleh berbagai kepentingan yang bisa baik, tapi juga kebanyakan di antaranya ada yang jahat. Realitas kemiskinan, peperangan dan ketidakadilan misalnya, sudah jelas dibangun oleh berbagai kepentingan penguasa dan pemilik modal yang jahat .
Di  bagian lain tulisannya dalam buku itu, Malonda menilai bangsa Barat – yang adalah penjajah- yang  merasa diri superior dengan segala arogansi intelektualnya dan hegemonistik,  pada akhirnya memang menindas bangsa Timur, termasuk Minahasa. Katanya, "Memang pinter sekali pribadi-pribadi Barat memakai kebudajaan-kebudajaan  Timur yang terkenal mendalam dan kehalusannya, sebagai alat. ... Sesudah membawa perobahan dalam kebudajaan-kebudajaan Timur sesuai dengan kehendak mereka, kebudajaan-kebudajaan itu dikembalikan ke Timur, untuk menindas masjarakat Timur".
Tapi, dia mencatat perlawanan Tou Minahasa terhadap keadaan yang menindas tadi itu. Sejumlah peperangan Tou Minahasa melawan bangsa penjajah, dalam refleksi kita sekarang adalah untuk menggugat ketidakadilan dan untuk mengumumkan kepada dunia bahwa, "Kami  Tou Miinahasa adalah manusia merdeka. Masyarakat Kami demokratis dan egaliter. Sehingga penjajahan dalam bentuk apapun harus dihapus!”
Tapi jauh sebelum Malonda menulis tentang protesnya terhadap bangsa Barat yang barangkali hampir tidak ada bedanya dengan kekristenan pada waktu itu, N Graafland, di pertengahan dan penghujung abad 19, mengungkapkan dengan pujian tentang peran kekristenan yang dibawa masuk oleh bangsa Barat itu. Katanya: ”Apakah segala sesuatu yang telah dicapai orang-orang Kristen itu masih kurang’, ‘Untuk menangkis anggapan seperti itu saya hanya mengajukan pertanyaan, ‘Dari mana daerah-daerah ini - di mana paham Kristiani bukan saja memegang peranan yang menentukan,  melainkan juga telah dipeluk oleh semua orang – memperoleh persedian makanan? Dari mana orang Kakas memperoleh makanan yang dibutuhkan, dan dari mana Negeri Kawangkoan dan apalagi negeri Wuwuk berserta beberapa negeri yang berada di sekitarnya memperoleh beras dan jagung yang kemudian dijual ke Amurang? 'Daerah pesisir Tondano yang khususnya dihuni orang-orang Kristen, sering kali memenuhi kebutuhan Negeri Tondano pada masa-masa paceklik..”

Graafland, sebenarnya ingin mengatakan bahwa kemajuan dan harapan kemakmuran di Tanah Minahasa adalah jasa dari Kekristenan. Kalau begitu, siapa yang benar dan siapa yang salah, Malonda dengan protesnya atau Graafland dengan pujiannya?
Kita sebenarnya tidak sedang bicara benar atau salah. Karena ternyata kebenaran sejatinya ada dalam ketidakbenaran. Tapi kita bicara tentang keberadaan tanah kita Minahasa. Karena di satu pihak, kekristenan yang dibawa oleh bangsa Barat di abad-abad lampau telah cukup memberi peran untuk kemajuan negeri ini. Tapi, di pihak lain, perjumpaan  kekristenan dan keminahasaan yang kadang tidak terjadi secara dialogis telah menyebabkan terkikisnya nilai-nilai budaya peninggalan leluhur. Pada beberapa hal, keberadaan Tanah Minahasa menjadi kabur. Identitas Minahasa yang berbudaya, demokratis dan egaliter, vis-a-vis dengan nilai-nilai Barat yang telah menformat sedemikiaan rupa nilai-nilai kekristenan yang mestinya penuh kasih, bersahabat dan membebaskan menjadi superior, hegemonisrik dan feodalistik

Sehingga yang ingin saya katakan, bahwa persoalan kita bukan pada nilai-nilai kekristenannya, yang sekarang secara lembaga banyak dianut oleh Tou Minahasa melainkan ada pada paradigma atau pandangan hidup orang-orang yang membawanya masuk pada abad-abad lampau itu. Riedel, Schwarz, Graafland dan penginjil-penginjil lain berbangsa Barat yang membawa masuk kekristenan di Tanah Minahasa, datang dengan satu semangat yaitu mengkristenkan Tou Minahasa, yang menurut paradigma yang sedang laku dunia mereka, sebagai orang-orang kafir, bodoh dan itu yang mereka sebut alifuru. Di luar dunia Barat, menurut mereka adalah berdosa sehingga perlu ditobatkan.

Nilai-nilai kekristenan akhimya  memang mengalami pergeseran. Dari nilai yang penuh kasih, bersahabat dan membebaskan, ketika diambil alih oleh Barat dan kemudian diformulasi dengan paradigmanya yang mengagungkan subjek-objek, akhimya menjadi superior, hegemonistik, feodal, dan kebenaran menjadi tunggal. Sampai saat ini pun kita Tou Minahasa masih berada dalam pengaruh paradigma itu. Alhasilnya, Tou, Tanah dan Adat Minahasa, menjadi abu-abu, antara kebarat-baratan dengan paradigmanya itu dan keminahasaan, yang terkesan memaksa diri untuk mempertahankan apa pesan leluhur. Itu antara lain persoalan kita.

Sementara kita masih bersoal dengan itu, kita pun berhadapan dengan hegemonisasi budaya Jawa dan budaya lain yang juga feodalistik. Ini persoalan kita yang lain. Persoalan ini kompleks. Karena dia bukan saja murni gerakan budaya, tapi telah tampil bersimbiosis mutualis dengan sistem politik, sosial dan ekonomi Negara. Dia hampir masuk ke semua lini kehidupan. Nyong dan Nona Minahasa yang nanti mengangggap diri modern  ketika menyebut nyaku dengan gue, angko dengan loe, inang dan amang dengan nyokap dan bokap, dan lain-lain adalah contoh nyata hal itu. Juga, pemerintah kita yang mengganti sistem pemerintahan wanua/roong dengan desa atau kelurahan.  dan kepala pemerintahanya dari hukum tua, menjadi kepala desa  dan lurah  Sebelumnya, sebutan ukung untuk menunjuk kepala pemerintahan di tingkat wanua/roong juga telah dirubah menjadi hukum tua.

Belum lagi kalau kita berjalan-jalan di Boulevard malam atau siang harinya. Makanan khas kita, tinutuan/pedaal harus kalah bersaing dengan mie bakso, soto makassar dan cap cae. Atau antara RW, tinoransak dan ragey dengan KFC, ayam kalasan, dan lain-lain.
Hegemoni budaya Jawa dan lain-lain itu, pada akhimya memang telah bercampur baur dengan sistem negara kita yang kemudian menjadi sentralistik. Apakah karena kebanyakan pemimpin negara ini ditingkat pusat orang adalah orang orang Jawa yang lama hidup dengan sistem dan nilai budayanya yang feodalisitik (kita ingat, di Jawa dulunya banyak kerajaan yang bercokol) atau karena persoalan kekuasaan yang harus direbut dan dipertahankan. Belum terlalu jelas. Yang pasti, Tou, Tanah dan Adat Minahasa, sedang dalam keadaan terancam keberadaannya

Dengan mempersoalkan pengaruh bangsa Barat yang telah mendesain sedemikian rupa nilai-nilai kekristenan sesuai kepentigannya dan hegemoni budaya juga agama, bukan berarti saya sedang menolak perubahan atau keberadaan yang lain. Keprihatinan kita bersama adalah soal ancaman punahnya identitas dan harga diri Tou, Tanah dan Adat Minahasa. Kalau tidak disikapi secara serius, hal-hal ini memang akhimya akan menjadi penyebab dan mengancam.

Saya sadar, bahwa Tou Minahasa  ada dalam perubahan, yang antara  lain karena tuntutan perubahan dunia. Globalisasi telah membuat bumi yang kita pijaki ini mirip sebuah dusun kecil. Karenanya, pengaruh-pengaruh luar, baik yang positif maupun yang negatif akhirnya memang menjadi realitas kehidupan. Belum lagi semangat liberalisme dalam bidang ekonomi, yang merupakan tantangan sekaligus peluang. Pluralitas dalam berbagai hal, mestinya menghasilkan paradigma yang pluralis (pluralisme). Dan hal itu, mestinya tidak  serta-merta membuat Tou, Tanah dan Adat Minahasa menjadi relatif karena perjumpaan dengan yang lain.

Perjumpaan harus aktif dalam memaknai perbedaan. Kalau sudah begini pemahaman kita, maka Tou, Tanah dan Adat Minahasa, yang dalam diskusi kita sedang dalam kepungan hegemoni budaya bangsa Barat, yang kini kebanyakan di antaranya masih tampil dengan superioritas dan arogansi intelektualrrya juga budaya lain yang feodalistik, harus tampil dengan suara-suaranya yang menggugat. Salah satu bentuk gugatan itu, pertama-tama adalah membuat autokritik tentang keberadaan Minahasa kita, kemudian bertanya, apa yang  telah Tou Minahasa buat berhadapan dengan realitas yang mengancam itu? Dari mana kita memulainya? Apa kekuatan kita untuk melawannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan  terjawab kalau kita bersatu dalam  kepelbagaian dengan cara saling  berdialog/berdialektika. Kemudian dilanjutkan dengan membangun kekuatan bersama secara politik, sosial, ekonomi dan tentu budaya. Minahasa harus tampil sama tinggi dan besar dengan bangsa-bangsa lain. Minahasa harus menggugat.

Karena Minahasa, menurut Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, seperti dikutip Malonda dalam bukunya itu adalah, ” Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.”

0 komentar:

Posting Komentar