Jumat, 15 Juni 2012

Kisah “Rumah Jiwa” di Tepi Zaman


Minahasa Hari Ini: Waruga, Baliho Pilkada, Gereja..(Kiawa, Sabtu, 24 Maret 2012)
MAWALE, begitu warga Langowan menyebut lokasi pemukiman itu. Ia berada di wanua Tounelet. Diapit oleh persawahan. Sore itu, pemandangan padi yang mulai menguning dan menara-menara gereja yang terdapat di hampir setiap arah pandangan, menampilkan sesuatu yang khas Langowan. Namun, ia kontras dengan sebuah waruga yang berada di tepi jalan, yang salah satu bagian alasnya menjadi dinding saluran air.

Mawale adalah sebuah pemukiman tua. Menurut sejarah setempat, sebagian besar wanua di Langowan, penduduk pertamanya berasal dari Mawale. Sebelum Mawale, mereka menetap di Palamba. Penduduk yang tinggal di Palamba kemudian menjadikan Mawale sebagai lokasi perkebunan. Di sekitar tahun 1600-an Mawale menjadi pemukiman.

Saya, dan beberapa teman dari Mawale Cultural Center (MCC), sore itu datang ke Mawale karena ada kabar, di pemukiman itu baru ditemukan sebuah waruga.  Waruga itu, katanya ditemukan saat warga menggali saluran air. Bertepatan hari itu, Sabtu, 9 Juni 2012, MCC menggelar temu Mawale di wanua Koyawas. Yonathan Kembuan mengundang kami untuk diskusi di sana. Kembuan, aktif di Gerakan Mahasiswa Minahasa, selain ia sebagai tokoh mahasiswa di UKIT.

Di Mawale memang ada waruga. Sampai saat ini ada dua yang diketahui oleh warga. Waruga yang satu berada di halaman Kantor Desa Tounelet. Yang satu lagi, terdapat pas di tepi jalan. Sebagian tubuhnya menjadi dinding saluran air. Kondisi waruga itu sungguh sangat memperihatinkan. Tidak lagi berwujud. Bagian alasnya yang sudah rata jalan yang masih tampak. Penutup dan badannya tak lagi berbentuk. Kata beberapa warga di Mawale yang kami temui saat sedang mengerjakan saluran air, waruga itu sebenarnya sudah lama diketahui warga. Namun, nanti baru ketika dilakukan penggalian tanah untuk drainase baru menjadi perhatian.

Ada yang menarik dari percakapan singkat dengan beberapa orang  di kompleks waruga itu. Seorang lelaki, yang kira-kira berusia 60-an tahun mengatakan, kondisi waruga yang seperti ini antara lain karena warga di situ sudah tak lagi memberi perhatian terhadap benda-benda peninggalan. ”Ini terjadi sejak injil masuk ke daerah sini,” ujar lelaki itu.

Tapi, sebenarnya mereka sadar, benda-benda peninggalan, macam waruga memiliki arti sejarah dan budaya. Itu tampak ketika dengan penuh kebanggaan mereka menceritakan waruga yang dipindahkan di halaman kantor desa itu.

”Kalo komang tu waruga di kantor desa masih bagus,” ujarnya lagi.

Kami memang tak sempat singgah di waruga depan kantor desa. Namun, dari kira-kira jarak 25 meter, waktu kami berjalan menuju ke lokasi waruga ini, tampak waruga di depan kantor desa itu memang terurus dengan baik. Sangat berbeda dengan  waruga yang satu ini.

Beberapa warga yang kami temui itu sempat menyebut mengenai waruga yang satu berada di kantor desa. ”Waruga itu kurang da kase pindah kwa di kantor desa. Waktu da kase pindah dulu, ada minta tua-tua yang masih mangarti da ator supaya gampang mo angka,” ujar salah satu warga.

Soal waruga yang ini, kata mereka, membutuhkan biaya besar untuk menatanya kembali. ”Apa lei depe kondisi so bagini. Butuh biaya basar mo kase ator deng kase pindah,” kata warga.

Warga di situ juga tampak masih mewarisi simbol-simbol kultural Minahasa lainnya. Misalnya tentang arti kata wanua ”Tounelet.’ ”Kalo Tounelet  sandiri, depe arti ’orang yang ba lewet (menyeberang). Karena dari Mawale ini, torang pe tua-tua dulu ba lewet atau menyeberang ke pemukiman yang disebut Tounelet sekarang. Ada kwa kuala besar di belakang Mawale ini,” ujar salah seorang dari mereka.

Tentang arti ”Waruga”, Jessy Wenas, budayawan Minahasa dalam tulisannya Orang Minahasa Masih Menggunakan Waruga Sampai Tahun 1908, menyebutkan, ia terbentuk dari dari dua kata, wale artinya rumah dan  ruga atau roga artinya terbongkar hancur. Jadi, ”waruga” artinya wale-ruga, ”rumah tempat menghancurkan jasad tubuh manusia menjadi tulang-belulang sebagai proses pemakaman pertama, pemakaman kedua adalah mengambil tulang-belulang itu untuk dimasukkan kedalam peti kayu yang disebut ’Walongsong’.”

C.T. Bertling di tahun 1931 dalam tulisannya De Minahasische ”Waroega" en ”Hockerbestattung" pada Nederlatuhch-Indie Oud en Nieuw XVI, menyebutkan, kata Waruga berasal dari kata "wa" (singkatan dari kata"wawa") yang berarti ”sempurna, benar” dan kata "roega" (ruga) yang berarti ”dikenakan pakaian”; ”tubuh yang terlarut.” ”Waroega akan menjadi tempat di mana seluruh tubuh menjadi hancur,” tulisnya.

Orang Minahasa percaya, bahwa tubuh memang bisa hancur, namun jiwa atau gegenang/mukur tetap hidup, dan ia akan berpindah ke suatu tempat. Waruga yang badannya berbentuk kubus dengan atap yang berbentuk segitiga (seperti lazimnya atap rumah) disimbolkan sebagai rumah bagi jiwa. Orang yang meninggal dimasukan di dalam badan waruga. Biasanya, jenasanya diatur dalam posisi duduk. Bagian luarnya dihiasi dengan relief-relief. Di Sawangan, Airmadidi, Minahasa Utara, waruga-waruga yang dikumpul di satu lokasi tampak indah dengan relief-relief atau ukiran-ukiran yang bermacam-macam motif. Di beberapa tempat di daera Toutemboan, waruga-waruganya sangat sederhana. Hanya ada semacam garis-garis yang menyimbolkan sesuatu.

Sekarang ini banyak dijumpai waruga dalam keadaan memperihatinkan. Selain karena banyak warga yang tidak lagi peduli, namun juga karena ulah para pencuri dan pencari harta karun. Banyak waruga antara badan dan penutupnya sudah terpisah. Jangan berharap kita akan melihat kerangka atau benda-benda peninggalan dari orang yang menghuni waruga itu. Bagian dalamnya sudah kosong. Kerangka dari si empunya waruga memang sudah menjadi abu, menyatu kembali dengan bumi. Benda-benda yang biasanya diikutsertakan pada orang yang dikubur itu mungkin sudah dibawa lari, dicuri. Bahkan, waktu lalu sempat heboh, di Sawangan ada beberapa arca sebagai hiasan waruga dicuri orang dan dijual ke luar daerah.

Sebelum ke Mawale kami cukup lama berdiskusi dengan beberapa orang muda di wanua Koyawas dan Lowian. Topik diskusi berkisar pada persoalan orang muda Langowan dan kebudayaan Minahasa. Beberapa hal sempat terungkap dalam diskusi tersebut. Saya bertanya kepada mereka, apakah bisa dikatakan sedang terjadi degradasi kebudayaan Minahasa di kalangan anak muda? Mungkin istilah ”degradasi” terlalu ekstrim untuk menyebut persoalan kebudayaan di Langowan. Namun, ada beberapa jawaban menarik yang dikemukakan oleh orang-orang muda di situ.

”Iya, bisa jadi seperti itu. Buktinya, di wanua Lowian, Koyawas, Tounelet dan sekitarnya sudah jarang orang muda yang bisa berbahasa Toutemboan secara fasih. Orang Langowan mungkin termasuk terbuka pada budaya luar karena perjumpaannya dengan orang-orang lain. Mereka juga suka merantau, banyak yang sekarang menetap di Amerika,” ujar Stenly, pemuda yang sehari-hari sebagai penyiar di radio Trivana, Langowan.

”Atau, mungkin juga karena kekristenan. Menarik untuk mencari tahu mengapa zending memilih Langowan sebagai pusat penginjilan dengan dihadirkannya Zendeling Johann Gottlieb Schwarz pada tahun 1830-an,” saya menggoda dengan pertanyaan yang agak nakal.

Tapi, pertanyaan ini sebenarnya bersesuain dengan kenyataan. Percakapan singkat dengan beberapa warga di Mawale, mungkin sebagai bukti sementara tesis saya itu. Hari ini, Langowan adalah kotanya ”seribu gereja”. Kiri kanan, muka- belakang gedung-gedung gereja dari berbagai denominasi menghiasi kota itu. Saya menyebut Langowan sebagai kota, karena teringat pada diskusi yang kemudian meluas ke masalah politik. Ada salah satu dari antara mereka yang sempat berujar, kalau soal pemekaran Langowan dari Kabupaten Minahasa, ”kota Langowan harga mati!”

Gereja GMIM Sentrum di pusat kota Langowan, yang berjarak sekitar satu kilometer dari wanua Koyawas dan mungkin 500 meter dari Mawale, menurut sejarah, dulunya tumbuh sebuah pohon besar yang bagian batang utamanya terdapat lubang. Pohon itu, konon menjadi tempat ritual agama tua Minahasa untuk menyembah kepada Amang Kasuruan. Dari situlah asal kata Langowan diambil. Dalam bahasa Tontemboan, lubang disebut rangow. Di kemudian hari, oleh orang-orang Belanda mengejanya menjadi Langowan. Zendeling Schwarz-lah yang mengubah tempat ritual agama Minahasa itu menjadi gereja untuk ritual Kristen.

Zendeling Schwarz adalah seorang Kristen taat yang lahir dari keluarga yang berlatar belakang pietis Jerman. Ia dilahirkan di Koningsberg (sekarang masuk di wilayah Polandia) pada tanggal 21 April 1800. Bertha Pantow mengkaji peran Zendeling Schwarz, dalam disertasinya pada Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia (1994) yang berjudul, Beberapa Perubahan Kebudayaan di Minahasa Tengah 1829-1859. Mengenai biografi Schwarz, Pantow  mengutip Hiebink, direktur Zending dan sekaligus sebagai tim redaksi pada MNZG, yang menulis biografi Schwarz pada majalah itu. Hiebink menuliskan, tiga hari setelah dilahirkan orang tuanya membawanya ke gereja untuk dibaptis.

Hiebink mengutip pengakuan iman Schwarz, ”Orang tua saya, yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, dan takut akan Tuhan, tidak menganggap saya sebagai milik mereka, tetapi sebagai milik Tuhan, dan akan selalu mendoakan saya.”

Pantow mencatat beberapa perubahan yang dilakukan oleh kerja penginjilan Schwarz selama ia bekerja sebagai zendeling di Langowan dan beberapa wilayah Minahasa Tengah lainnya. Selain peubahan yang dinilai positif, misalnya modernisasi pendidikan, kesehatan dan tata sosialnya, namun hal yang mendasar adalah perubahan di ranah mentifak. Schwarz, sebagaimana ajaran pietisme yang sangat mempengaruhinya, menolak praktek religi tua Minahasa.

”Secara tulus J.G. Schwarz mempunyai cita-cita untuk meningkatkan kehidupan orang Minahasa setelah melalui apa yang disebut proses pertotaban dan mengaku menjadi Kristen, sesuai dengan ajaran Pietis,” tulis Pantow.

Namun, selain krisenisasi ada juga faktor lain, yaitu perubahan zaman yang kian cepat. Budaya Minahasa, seolah terpinggir dari arus deras zaman. Sama seperti waruga di Mawale, ”rumah jiwa” itu, yang kini harus menerima nasibnya, rata dengan tanah di pinggir jalan. Meski begitu, ia masih berguna sebagai salah satu bagian dinding saluran air.

Apakah itu artinya, waruga ini mengingatkan kewajiban untuk melanjutkan tradisi, seperti air yang terus mengalir? Entahlah.

0 komentar:

Posting Komentar