Dari Kawangkoan ke Batavia
Dari arah Tomohon, pas di ujung Kawangkoan,
Minahasa sebelah kiri jalan ada sebuah rumah panggung. Di depannya ada patung
dua orang berdiri di atas kamera besar. Itulah Museum dan tugu “Mendur
Bersaudara”, Alex dan Frans Mendur. Museum dan tugu tersebut mengenang kakak
beradik wartawan foto di masa kemerdekaan dan revolusi Indonesia, Alexius Impurung
Mendur dan adiknya Frans Soemarto Mendur.
Prasasti Mendur Bersaudara ditandangani oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudoyono pada perayaan puncak Hari Pers Nasional yang dilaksanakan di Sulawesi
Utara pada 11 Februari 2013. Di meseum yang berbentuk rumah panggung khas
Minahasa itu, orang-orang dapat menyaksikan foto-foto bersejarah karya Mendur
bersaudara.
Tugu
dan Museum itu dibangun di kampung kelahiran Alex dan Frans, Kawangkoan. Kota
kecil ini juga tempat kelahiran Justus dan Frans ‘Nyong” Umbas, kakak beradik
fotografer IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) bersama Alex dan Frans.
Alex anak
pertama dan Frans anak keempat dari pasangan August Mendur dan Ariantje
Mononimbar. Keseluruhan anak August dan Ariantje berjumlah 11 orang.
Alex lahir di
Kawangkoan pada 7 November 1907 dan meninggal
di Bandung 31 Desember 1984. Istrisnya bernama Innes Mandoinsong. Anak-anak
mereka Lexy Rudolf Mendur, Yvone Marlene Mendur, dan Maya Mayon Mendur.
Frans lahir di
Kawangkoan pada 16 April 913. Ia menikah dengan Jamailah binti Sariih. Dari
perkawinan mereka lahir anak-anak, Jian Samartini Mendur, Johny Sumanjono
Mendur, Zakaria, dan Juni Prihatini. Frans meninggal di Jakarta, 16 April
1971. Konon, nama tengah Frans, “Soemarto” diberikan oleh ayah angkatnya di
Jawa.
Ivan R.B.
Kaunang, sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado
mengatakan, Agust, ayah Alex dan Frans, di Kawangkoan semasa hidup memiliki
kemampuan mengobati orang sakit dengan obat ‘makatana.” Ia meramu akar-akar dan
dedaunan untuk dijadikan obat. Kemampuan itu diwarisi dari ayah Agust.
Di usia remaja
Alex dan Frans merantau ke Jawa. Mula-mula di Surabaya lalu ke Batavia. Di
Surabaya pernah bergabung dengan
organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pimpinan Dr. Soetomo. Alex mulai
bekerja sebagai wartawan foto di koran berbahasa Belanda, De Java Bode sejak tahun 1932.
De Java Bode adalah koran tertua di
Batavia. Terbit mulai tanggal 11 Agustus 1852. Ia merupakan penerus
mingguan Bataviasch Advertentie-Blad yang muncul sejak 1
November 1851 dan diterbitkan oleh W. Bruining dari Rotterdam. Pada
mulanya cuma terbit dua kali seminggu (setiap Rabu dan Sabtu) dengan
4 halaman. Ukurannya seperti tabloid. Alex bekerja di koran ini sampai
tahun 1935. Di masa pendudukan Jepang, koran ini tidak terbit. Nanti terbit
lagi sesudah kemerdekaan, sampai tahun 1958.
Frans kemudian
mengikuti jejak kakaknya bekerja di koran itu. Ia mulai bekerja tahun 1935.
Frans belajar fotografi dari kakaknya. Frans memulai karir di dunia fotografi ketika
ia menguji hasil belajar dari kakaknya dengan mengirim foto karyanya ke De Java Bode dan mingguan Werelnieuws.
Hasilnya ia diterima bekerja sebagai pembantu wartawan foto.
Di tahun 1945, Alex bekerja di
kantor berita milik Jepang, Domei. Kantor berita yang menjalankan
kepentingan politik pemerintah Jepang berdiri di negeri asalnya pada tahun
1935. Di saat proklamasi, Alex sebagai kepala bagian fotografi di kantor berita
itu.
“Sebenarnya, Alex sudah bekerja
sebagai wartawan foto sejak tahun 1931. Ia menjadi wartawan di Majalah Actueel Wereld Nieuws En Sport In Beeld,”
kata Kaunang.
Frans di saat itu bekerja di koran Asia Raja (Asia Raya). Koran yang mulai
terbit 29 April 1942 ini dipakai sebagai alat propaganda Jepang. Pada tanggal
12 Maret 1945, Asia Raja mengadakan
konferensi meja bundar di Hotel Miyako di Batavia. Sejumlah pembicara dari
Gerakan Hidoep Baroe yang dipimpin Soekarno dan Mohammad Hatta mendiskusikan
cara memperkuat gerakan kemerdekaan. Selain di koran Asia Raja dia juga bekerja di Jawa Shimbun Sha, semacam
Sarekat Penerbit Suratkabar di masa itu.
Tiga Foto Bersejarah
Kalau
bukan Alex dan Frans, kita mungkin tidak akan melihat bagaimanan Soekarno dan
Hatta membacakan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Merah-Putih di Jalan
Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada hari
Jumat, 17 Agustus 1945.
Kristupa
Saragih dalam Mendur Bersaudara, Pejuang
Bersenjatakan Kamera, di kompasiana.com
mengisahkan bagaimana Alex dan Frans ada di momen itu dan melakukan sesuatu
yang luar biasa di masa itu.
“Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus
1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya
bahwa ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Alexius Impurung Mendur,
abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei,
mendengar kabar serupa. Kedua Mendur Bersaudara ini lantas membawa kamera
mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Soekarno, ” tulis Kristupa.
Menuju ke rumah Soekarno tidak gampang. Waktu itu patroli Jepang
yang bersenjata lengkap berjaga-jaga. Tapi Alex dan Frans, dengan naluri
kewartawanan, mereka nekat menuju ke rumah Soekarno.
“Mendur Bersaudara berhasil merapat ke rumah di Jalan Pegangsaan
Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta tatkala jam masih menunjukkan pukul 5 pagi,
pada hari Jumat, 17 Agustus 1945,” tulis Kristupa.
Saat itu, Soekarno yang akan membacakan teks proklamasi masih tidur
karena kena gejala malaria. Nanti kira-kira pukul 9, minum obat, Soekarno pun
bangun. Pada pukul 10, hari Jumat, 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Peristiwa besar itu berlangsung sangat sederhana. Dan,
hanya Alex dan Frans, fotografer yang hadir waktu itu. Kamera Leica Leitz bergantungan
dileher mereka siap membidik moment bersejarah.
Frans kemudian mengabadikan peristiwa itu dengan tiga bidikan, tiga
foto. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran
bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah
Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran
bendera. Alex juga melakukan melakukan pemotretan.
“Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang
tersisa.“ tulis Kristupa.
Usai itu mereka segera meninggalkan kediaman Soekarno. Tentara
Jepang memburu mereka. Sialnya, Alex
berhasil ditangkap tentara Jepang. Foto-foto hasil bidikannya semuanya
disita dan dimusnakan.
Adiknya, Frans yang beruntung. Ia lolos dari kejaran tentara Jepang.
Negatif fotonya dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor
harian Asia Raya. Nanti beberapa hari kemudian baru diambil. Ketika didatangani
tentara Jepang, Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor. Maka,
selamatlah negatif foto itu.
Namun, ini bukan perjuangan akhir Frans dan Alex. Mencuci dan
mencetak foto di masa darurat itu tidak mudah.
Alex dan Frans harus diam-diam
menyelinap di malam hari, panjat pohon dan lompati pagar di sampaing kantor
Domei (sekarang kantor Antara).
“Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Resiko bagi
Mendur Bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman
mati,” tulis Kristupa.
Meski foto-foto sudah dicetak, namun mereka belum bisa mempublikasikannya
di media. Jepang melakukan pengawasan
ketat terhadap semua media. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya
diberitakan singkat tanpa foto di harian Asia
Raya, 18 Agustus 1945.
Nanti 6 bulan kemudian, 20 Februari 1946 foto-foto proklamasi 17
Agustus 1945 karya Frans baru bisa dipublikasikan. Pertama kali terbit
halaman muka Harian Merdeka, koran tempat Alex bekerja.
Alex banyak menghasilkan karya foto jurnalistik. Salah satu foto monumental lain karya Alex adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto Soekarno yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.
IPPHOS yang Revolusioner
Setelah
setahun Indonesia merdeka, tepatnya 2 Oktober 1946, Alex dan Frans, “Mendur
besaudara” bersama Justus dan Frans ‘Nyong” Umbas, “Umbas bersaudara”, juga Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan
Malvin Jacob, mereka kemudian mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Mereka adalah pemuda-pemuda
Minahasa yang tergabung di KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). IPPHOS
berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta.
Piet
Mendur, keponakan Alex dan Frans, generasi terakhir di IPPHOS, bergabung
bersama mereka di awal tahun 1950-an. Saat itu usianya baru 17 tahun.
"Saya
dipanggil ke Jakarta untuk menjadi wartawan di IPPHOS tempat Alex dan Frans
bekerja. Itu adalah sebuah kebanggana bagi saya karena diberikan kesempatan
bekerja dengan mereka," ujar Piet kepada Tribun Manado News.
IPPHOS
punya peran penting di masa revolusi. Para fotografer handal asal Minahasa ini
mengabadikan peristiwa-peristiwa penting di masa transisi itu. Yudhi
Soerjoatmodjo, seorang fotografer dan kurator pemeran foto mengatakan, IPPHOS
adalah revolusioner!
"Yang
revolusioner dari IPPHOS bukan cuma pilihan mereka untuk berjuang membela
republik, tapi cara mereka memperlihatkan hidup dengan mata dan hati yang
terbuka lebar," kata Yudhi pada Temu Wicara IPPHOS remastered Ivaa, Yogyakarta, 7 Maret 2014.
Menurut
Yudhi, sikap revolusioner IPPHOS adalah perjuangan demi kemanusiaan dan
kebenaran serta toleransi.
"Tapi
yang paling revolusioner dari IPPHOS adalah bagaimana mereka mengguratkan
cita-cita tentang Indonesia dan manusia Indonesia yang cerdas, moderen dan
inklusif dalam karya-karyanya – yang berjuang bukan cuma atas nama kemerdekaan
dan keadilan bagi dirinya sendiri namun juga demi kemanusiaan, kebenaran, dan
toleransi terhadap semua manusia," kata Yudhi.
Yudhi
menunjukkan bagaimana sikap revolusioner “tole-tole” Minahasa ini di IPPHOS.
Alex, kata Yudhi, adalah seorang profesional “ mencampakkan segala kenyamanan
yang bisa ia capai sebagai pegawai Belanda demi membela sebuah republik kere.”
Frans, ‘si pelarian politik membangun
ketrampilan melawan penjajah justru dengan bekerja untuk penjajah. Justus
Umbas, seorang akuntan serius, “yang
diam-diam seorang aktivis yang ditakuti Belanda. Dan “Nyong” Umbas yang melawan
Belanda dengan menjadikan Belanda kawannya."
Sampai
akhir hayat, para ‘revolusioner’ ini tetap konsisten pada idealisme jurnalisme.
Mereka tetap independen. Tidak memilih menjadi pegawai negeri pada Kementerian
Penerangan RI, meski peluang itu sangat terbuka lebar.
“IPPHOS tetap
independen, di kala kesempatan bagi Mendur Bersaudara terbuka luas untuk meraup
lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing,” tulis Kristupa.
Piet Mendur,
generasi terakhir di IPPHOS menuturkan kepada Sinar Harapan, dengan jumlah koleksi foto IPPHOS pada 1945-1949 sebanyak
23.000 bingkai, sebetulnya IPPHOS bisa hidup dari royalti koleksi foto-foto itu.
Tapi pendataannya tidak terlalu bagus.
Kantor IPPHOS di
Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta ditutup pada 2003. Tidak ada lagi aktivitas
di dalamnya.
“Sekarang sudah jadi lahan parkir gedung itu, sayang sekali. Tapi ya, kami tidak bisa bikin apa-apa karena gedung itu dianggap milik negara dan negara bisa pindah tangankan ke pihak lain,” kata Piet. (Denni Pinontoan)
Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma Cuma
Hanya Di SumoQQ(dot)Com
Real Website Real Player, Real Winner
Silahkan Buktikan dan Bergabung Bersana kami
Dan Raih Bonus Extra Jumbo :
- Bonus Extra Jumbo Rollingan
- Bonus Refferal Seumur Hidup
CS Ramah & Profesional Siap Melayani 24 Jam
Proses Transaksi Di Jamin Super Cepat
Kartu Bagus (Easy To Winn)
Support 6 Bank Local
Minimal Deposit & Withdraw 15Rb
Jangan Mikir Lagi Bos !!
Jalan dan Kesempatan Sudah Ada Di Depan Mata
Jangan Sia2 Kan Kesempatan Yang Ada bos !!
Ingat Bahwa Kemenangan Ada Di Pilihan Anda.
Jadi Jangan Sampai Salah Pilih Situs
Ingin Jadi Jutawan SumoQQ(dot)com Solusimya !!
Hub kami Untuk Info Lebih Lanjut :
Skype : SumoQQ
Fb : SumoQQ
BBM : D8ACD825
Line : SumoQQ
WA : +855 96 497 3259
Link Alternatif :
www(dot)SumoQQ(dot)net
www(dot)SumoQQ(dot)info
www(dot)SumoQQ(dot)org
Join Sekarang !! Kami Tunggu Kehadiran Para Calon Jutawan