Minggu, 28 Agustus 2011

KH. Arifin Assagaf: Maknai Semangat Keislaman dalam Permesta

|1 komentar
Oleh: Denni Pinontoan

Tanggal 2 Maret 1957 malam, seorang pemuda keturunan Arab, Jawa dan Minahasa harus memilih jalan lain dalam hidupnya. Ia memilih untuk berjuang bersama Permesta ketimbang berangkat ke Surabaya untuk sekolah. Dia juga harus melepas pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri di kantor Jawatan Pertanian Rakyat Maluku Utara. Pemuda itu, bernama Arifin Assagaf. Usianya masih 26 tahun lebih 3 bulan. Ayahnya, seorang yang punya jabatan di Maluku Utara, bingung setengah mati.

Kabar Proklamasi Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang diumumkan oleh Ventje Sumual dan kawan-kawan di Makassar cepat menyebar ke seluruh nusantara. Proklamasi Permesta diumumkan pada 2 Maret 1957 di Gubernuran Makassar. Pengumuman itu diambil dalam sebuah pertemuan yang berlangsung dari jam 03.00 sampai jam 06.00 sore.

Arifin pada malam itu berada di atas kapal yang sedang bersiap-siap menuju ke Surabaya. Tak pikir panjang Arifin turun dari kapal. Di tangannya ada selebaran Proklamasi Permesta. Secara tiba-tiba dia urungkan niatnya ke Surabaya gara-gara membaca selebaran itu. Semangatnya berkobar.  

”Saatnya melawan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap rakyat di Indonesia bagian Timur,” pikirnya.

Dia segera berkeliling kota Ambon dan menyebarluaskan naskah kopian Proklamasi Permesta. Diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, baginya sudah berada di luar batas toleransi. Dia mengingat kejadian awal tahun 1956. Waktu itu dia dan satu temannya dari Maluku Utara mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah untuk belajar ke luar negeri. Rencananya Arifin akan ke Kanada. Temannya yang satu akan Fransisco, Amerika. Namun, pada saat sudah mau berangkat, rencana itu batal.

Pemerintah pusat merubah jumlah peserta yang akan belajar ke luar negeri. Dari rencana 60 berubah menjadi hanya 50 orang. Beberapa orang dari Indonesia Timur dieliminir, termasuk Arifin dan teman yang sama-sama dari Maluku Utara. ”Kebanyakan yang dikirim pemuda-pemudi dari Jawa saja.”

Kejadian itu membekas di hatinya. ”Semua Jawa. Orang-orang Jawa saja yang diprioritaskan pemerintah!”

Arifin tidak menerima cara-cara pemerintah pusat seperti itu. Meski sebenarnya di dalam dirinya mengalir darah Jawa, yaitu dari neneknya. Tapi, bagi Arifin, pembedaan itu adalah bentuk ketidakadilan. Naskah Piagam Permesta yang ada ditangannya menegaskan kritik terhadap sentralisme yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Jakarta.   

Salah satu poin dalam ”Piagam Perdjoangan Semesta” menyebutkan: ”Penerimaan2 siswa di tempat-tempat pendidikan penting dalam negeri dan pengiriman2 siswa ke luar Negeri harus diberi quotum jang vast untuk Indonesia Bagian Timur.” Itu sangat pas dengan pengalaman Arifin di awal tahun 1956 itu.

Diskriminasi yang dialami oleh rakyat Indonesia Bagian Timur, dalam pandangan Arifin sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dia yakini. ”Dalam Islam, diskriminasi haram hukumnya. Juga tentu agama-agama lain yang percaya kepada kedaulatan Tuhan. Itu dilarang.”

Tekad Arifin muda berjuang dalam Permesta sangat bulat. Segera setelah mengambil keputusan untuk berjuang dalam Permesta, dia ke Manado. Di sini dia bergabung di Kompi II Permesta sebagai staff. Di kompi itu, ada temannya Jan Torar dan Kumontoy. Tak beberapa lama kemudian, dia ke Ternate. Waktu ke Ternate, waktu itu naik perahu. Di sana dia sempat menjadi kepala staff, semacam kodam sekarang. ”Torang pe pangkat waktu itu ja ator sandiri. Jadi, bisa dengan cepat menjadi pimpinan.”

Wilayah perjuangan Permesta meliputi hampir semua bagian Indonesia Timur. Dari Makassar, Minahasa sampai Irian Jaya. Pemimpin Permesta di Maluku dan Irian Barat adalah Jan Maximilian Johan Pantow, atau biasa disapa Noen (Nun) Pantow. Ia menjabat Komandan KDP-I ADREV PRRI di Maluku-Irian Barat.

Arifin termasuk tokoh Permesta yang tetap konsisten dengan perjuangannya. Karena tidak mau menyerah, akibatnya dia beberapa tahun mendekam di penjara. Pertama di Ternate, kemudian dipindahkan ke Ambon, ke Surabaya, Semarang, Madiun dan terakhir di Nusa Kambangan.

”Ketika saya ditangkap, anak saya pertama baru berumur 8 bulan dan nanti ketemu lagi pada usianya yang tiga tahun. Sampai-sampai dia tidak mengenal saya sebagai ayahnya. Anak saya itu diberi nama Taufik Permesta Assagaf Putra.”

Setelah bebas dari Nusa Kambangan, Arifin langsung ke Manado. Dia menetap di Kampung Arab, Manado. Waktu itu dia dilarang masuk ke Maluku Utara tanpa ijin.

Ada rokok dan kopi hitam yang selalu menemaninya
KINI, Arifin Assagaf sudah uzur. Dia lahir 6 Januari tahun 1931. Saya mewawancarai dia Kamis 28 Juli 2011 lalu. Arifin tinggal di sebuah rumah sederhana di Kelurahan Malendeng, Kec. Tikala, Kota Manado. Salah satu bagian rumahnya dijadikan sebagai Taman Pengajian anak-anak. Waktu saya dan Greenhill Weol ke rumahnya, anak-anak sementara berkumpul untuk belajar ngaji. Meski sudah uzur, tapi Arifin masih aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Satu yang khas padanya adalah rokoh gudang merah dan gudang garam surya yang selalu menemani dia. Arifin termasuk perokok berat. Kopi hitam, juga menjadi teman kesayangannya.

Arifin adalah ulama muslim yang sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan lintas agama di Sulawesi Utara, bahkan Indonesia. Masyaraka, pada umunya mengenal Arifin sebagai ulama muslim yang aktif dalam gerakan perdamaian. Dia pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Badan Kerjasama Antar Umat Agama (BKSAUA) Sulawesi Utara.

Marga ”Assagaf” yang melekat padanya sangat terkait dengan kisah migrasi Islam di Minahasa. Leluhurnya dari Hadramaut, Arab yang kemudian menjadi tokoh politik, Islam dan masyarakat di Palembang, Sumatera di masa kolonial. Namun, setengah dalam dirinya mengalir darah Suratinoyo dari Jawa dan Kawilarang dari Minahasa.

Prof. EA. Sinolungan pernah mewawancarai KH. Arifin Assagaf pada tahun 2001. Dalam wawancara itu, KH. Arifin Assagaf menceritakan bahwa datuknya, Raden Syarief  (Sayyid) Abdullah bin Umar Assagaf dari Palembang dibuang Belanda ke Manado pada tahun 1880. Kemudian pada tahun 1882 pindah ke Kampung Jawa Tondano. Umar kawin dengan Raden Roro Ruliah Suratinoyo. Ayah Raden Roro Ruliah Suratinoyo adalah Suratinoyo, waktu itu hukum tua Kampung Jaton. Ibunya, adalah salah satu anak perempuan Hukum Besar Kawilarang Tondano. Perkawinan inilah yang menurunkan keturunan Assagaf, yang salah satu generasi keturunannya adalah K.H. Arifin Assagaf. Sehingga, menurut Arifin, dia dengan Alex Kawilarang, salah satu tokoh Permesta, masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat.

Kemudian, dari perkawinan ketiga datuknya dengan perempuan bernama Meyer (orang Barat), lahir keturunan keluarga besar Assagaf, antara lain generasinya adalah tokoh NU Sulut, Hamid Assagaf dari Kampung Arab Manado. Saudara datuknya yang lain ke Ternate. Dia kawin dengan Raden Ayu Azimah, Putri sultan Badaruddin II.   

Nenek Arifin adalah generasi kedua komunitas Kampung Jawa Tondano, yang para leluhurnya dibuang oleh Belanda pada tahun 1831. Mereka dibuang ke Tondano karena terlibat dalam Perang Jawa atau Perang Dipenogoro yang terjadi pada tahun 1825 sampai 1830. Waktu itu ada sekitar 70 laki-laki pengikut Kyai Modjo dari Jawa yang dibuang oleh Belanda ke Manado dan kemudian ditempatkan di Tondano. Keturunan mereka itulah yang membentuk Kampung Jawa Tondano.

Komunitas ini berkembang karena terjadi kawin mawin dengan perempuan-perempuan Minahasa. Arifin mengamini bahwa perjumpaan pengikut Kyai Modjo yang muslim dengan perempuan-perempuan Minahasa adalah mujizat dari Allah SWT.

Ketika rombongan pengikut Kyai Modjo datang ke Tondano, waktu itu baru sekitar 22 tahun Perang Tondano (1808-1809) usai. ”Jadi, di masa itu ada semboyan dari mereka, ’Musuh Belanda, adalah kawan kita. Kawan Belanda adalah musuh kita. Nah, orang-orang buangan ini adalah musuh Belanda sehingga dengan muda diterima dan menjadi kawan orang-orang Minahasa,” tutur Arifin.

Orang-orang Jawa yang dibuang itu adalah orang-orang yang tidak pernah tahu gereja apalagi mendengar bunyi lonceng gereja. Tiba-tiba mereka dibuang di tengah-tengah masyarakat yang bukan seagama dengan mereka. ”Jadi, maksud Belanda adalah untuk menghancurkan mereka. Untung orang-orang Minahasa menerima mereka dengan terbuka, bahkan merelakan anak-anak perempuan mereka kawin dengan orang-orang buangan itu.”  

”Dengan pengalaman ini, saya kemudian menemukan makna dari perbedaan itu. Permesta menentang diskriminasi. Dan, Islam, bagi saya adalah keimanan untuk perdamaian,” tuturnya sambil meneguk kopi hitam yang hampir dingin.


Ismail, Temanku di SMA Seorang Muslim

|0 komentar

Oleh: Denni Pinontoan

Aku masih mengingat kenangan itu. Sekitar 14 tahun lalu, ketika itu aku masih di SMA Nasional Kawangkoan. Di kelas IPA Biologi kami, ada satu satu teman yang beragama Islam. Namanya masih aku ingat, Ismail Saleh. Dia seorang keturunan Gorontalo. Tinggal di Kelurahan Kinali. Tapi sebenarnya kompleks rumahnya di sebuah tempat yang biasa kami sebut Kampung Islam. Kompleks ini ada yang masuk di wilayah administrasi Kelurahan Kinali dan yang lainnya di Kelurahan Sendangan Kawangkoan. Sekitar 500 meter jaraknya dari terminal Kawangkoan. Di dekat kampung Islam ini, dulunya ada bioskop “Gembira”. Tapi sayang sekarang bioskop itu sudah tidak ada. Beberapa tahun lalu dilalap api.

Aku sebenarnya pindahan di SMA itu. Sesuatu terjadi waktu aku di SMA Negeri Motoling. Padahal waktu itu sudah kelas 3, kelas ujian. Tapi karena sesuatu itu maka terpaksi aku harus pindah di SMA Nasional di Kawangkoan. Sampai guruku mengapa aku nekat pindah di saat dekat ujian akhir seperti itu.

Di sekolah ini aku bertemu dengan temanku itu. SMA ini sebenarnya dikelolah oleh Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), salah satu denomiasi gereja di Minahasa yang berdiri pada tahun 1933. Waktu pertama masuk kelas, seperti murid baru lainnya, aku masih asing dengan suasana dan orang-orang di sekolah itu.

Is, begitu kami biasa memanggil teman yang muslim itu. Awalnya tak aku tahu kalau dia seorang muslim. Sebab, logatnya sangat kental Kawangkoan.

Tapi, beberapa hari di sekolah itu, setelah akrab dengan teman-teman sekelas, aku baru tahu bahwa Is adalah seorang muslim. Teman yang lainya ternyata bermacam-macam juga denominasi gerejanya. Alva Tandaju, temanku yang lain, belakangan aku tahu ternyata adalah anggota jemaat gereja Advent Hari Ketujuh. Aku tahu itu, setelah hari Sabtu pertama di sekolah itu dia tidak masuk kelas. Aku kira dia absen. Setelah bertanya kepada teman-teman yang lain, mereka bilang hari Sabtu adalah hari Sabat bagi Alva.

Aku masih ingat suatu hari, bertepatan dengan lebaran Is, kami teman-teman sekelas mendapat undangan ke rumahnya. Senangnya bukan main. Sebab yang ada di kepala kami waktu itu, undangan itu pasti sangat terkait dengan makan-makan. Dan, benar itu yang terjadi. Kamipun ke rumahnya. Memang tidak semua. Tapi waktu itu cukup ramai.

Di rumah Is, seperti yang kami duga, kami memang benar-benar makan. Habis makan hidangan khas lebaran yang enak, kamipun santai ngobrol. Di meja kecil di ruang tamu kue-kue bermacam-macam ”merk” tersaji manis. Orang tua Is juga sangat senang menerima kami. Ini sangat serasi dengan huruf-huruf kaligrafi Arab yang dihias di dinding. Meski kami tidak mengerti artinya, tapi hiasan-hiasan huruf itu menggambarkan religiusitas keluarga Is. Tidak ada perasaan apa-apa pada kami. Yang kami tahu hari itu bahwa Is adalah teman kami sekelas dan hari itu adalah hari sucinya. Ditambah dengan keramahan keluarganya, maka jadilah acara itu adalah juga acara kami, seperti hari Natal rasanya.

Memang, ketika dikelas sehari-hari kami adalah teman. Seperti saya berteman dengan teman-teman yang Kristen lainnya. Meski Is adalah muslim dan Gorontalo, tapi tidak ada perbedaan agama dan ras di antara kami. Kami juga sering berbagi rokok. Kebetulan waktu itu, meski masih SMA dan sangat dilarang oleh guru, saya, Is dan beberapa teman lainnya sudah merokok. Kecuali Alva yang karena dia Advent maka tidak bisa merokok. Aku tak tahu apakah sekarang dia merokok atau tidak. Mudah-mudahan dia sudah merokok, sehigga nanti kalau ketemu bisa berbagi rokok. (he..he...).

Aku baru sadar sekarang betapa masa di SMA itu adalah masa yang paling menyenangkan ketika bicara perbedaan agama. Sebab, waktu itu tidak ada dalam pikiran dalam kami soal bahwa hanya Kristen yang paling suci dan Islam kafir misalnya. Aku tahu tahu mengapa begitu. Yang jelas, kalau beribadah, ya kami beribadah seperti lazimnya ibadah-ibadah sekarang ini.

Temanku Is itu orangnya ramah dan sangat bersahabat. Tak ada yang kurang berteman dengan dia dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Waktu itu, aku juga belajar dari teman-temanku yang lebih dulu mengenal Is. Mereka tak memandang Is sebagai satu-satunya yang muslim di antara mereka yang Kristen. Sebaliknya, Is juga tak merasa rendah diri atau was-was bersahabat dengan kami. Bila makan bersama, kamipun sudah tahu bahwa Is adalah muslim dan tidak makan makanan diharamkan oleh islam. Dan, Is tak perlu merasa khawatir bila bersama-sama kami ketika makan di kantin sekolah.

Di antara kami memang tak ada perbincangan serius soal ajaran agama masing-masing. Namun, beberapa cerita lucu seputar ajaran agama sering menjadi hiburan kami. Kami seolah-olah saling mengejek, tapi cara menyampaikannya secara berkelakar. Dan, kami pun tahu itu bahwa cerita lucu itu tidak benar dan memang hanya hasil karangan kami atau didengar dari orang lain.

Sekitar 4 atau 5 tahun lalu, ketika aku kembali ke Kawangkoan untuk penelitian skripsi di Kampung Islam itu, aku berencana untuk bertemu dengan Is. Tapi waktu itu tak ketemu. Kata orang-orang sekitar rumahnya, Is lagi ke Gorontalo. Kata mereka Is juga sudah kawin. Aku ingin sekali bertemu dengan dia waktu itu.

Namun, sejak tamat SMA sampai hari ini aku tak pernah lagi bertemu Is. Waktu acara penamatan, lazimnya anak-anak sekolah waktu itu, kami juga coret-coretan baju seragam. Memang kata orang tua waktu itu tidak baik. Tapi euforia kami mengalahkan itu. Mudah-mudahan kami, anak-anak yang nakal ini bisa dimaafkan oleh orang tua kami. He..he...

Kenangan waktu SMA bersama Is itu sangat menyenangkan, dan menjadi kenangan tesendiri bagiku. Betapa, massa itu perbedaan agama adalah sesuatu yang wajar, dan tak ada yang perlu dirisaukan. Perbedaan mestinya dirayakan bukan dihancurkan. Sebab, dengan perbedaan kita bisa saling berbagi, saling belajar, dan banyak hal lainnya. Di kelas IPA Biologi SMA Nasional, bersama Is dan teman-teman lainnya aku banyak belajar bagaimana hidup dalam perbedaan adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena saya yakin bahwa persahabatan kami itu ada tulus.


Jumat, 26 Agustus 2011

Mayor Frans Karepouwan Lebih Takut Tinju Kolonel D.J Somba

|3 komentar
BATALION ' R ' JIN KASUANG ' dari kiri kekanan : ? , Telly Karepouan [ anak dari komandan BATALION Bpk FRANS KAREPOUAN ] , Frits Malilangkay , Ocky Senduk , Ronny Senduk , Bobby Kaunang , Eddy Lumowa [ diatas kuda], yang jongkok pegang senjata Nico Mamuaya. Foto: Koleksi Erwin
Sepenggal Kisah Nyata Seputar Instruksi Dhar-004/Aprev-Permesta

Oleh: Erwin Saderac Pioh

Secara singkat isi instruksi DHAR-004 adalah; pemindahan pasukan ADREV-Permesta WK.III/Brigade Pancasila dibawah Kolonel (ADREV/Permesta) W. Tenges yang berlokasi di Minahasa atau KDP-II ADREV-Permesta ke Wilayah Gorontalo dan Sulawesi Tengah ke bekas Wilayah RTP-Anoa/ADREV-Permesta. Tetapi instruksi ini akhirnya dibatalkan setelah berbagai pertimbangan oleh pucuk pimpinan APREV-Permesta.

Tetapi sebuah lelucon terjadi seputar setelah pembatalan instruksi DHAR-004. Di markas WK.III di Tangkunei para perwira WK.III dan beberapa perwira staff KDPII/ADREV-Permesta berkumpul untuk pemberitahuan mengenai pembatalan instruksi. Hadir waktu itu termasuk komandan-komandan Batalion dari WK.III dan beberapa komandan unit-unit otonom. Tepat setelah pemberitahuan pembatalan belum semua komandan Batalion hadir, yaitu; Komandan Batalion R/”Jin Kasuang” Mayor (ADREV-Permesta) Frans Karepouwan. Pada saat itu munculah ide Kolonel (ADREV/Permesta) untuk mengerjai Komandan Batalion R/”Jin Kasuang,” dan memberi tahu yang lain di Markasnya untuk ikut skenerionya.

Tak lama Kemudian Komandan Batalion R; Mayor (ADREV-Permesta) Frans Karepouwan dan peleton kawalnya muncul di markas WK.III dan melapor ke Komandan WK.III; Kolonel (ADREV-Permesta) W. Tenges.

Terjadi Percakapan:

“Lapor Komandan (sambil memberi hormat), Batalion R/Jin Kasuang melapor kesiapan ikut rapat Instruksi DHAR-004,” Mayor Karepouwan melapor.

Kolonel Tenges (dengan raut wajah serius) berkata, “Dipersilahkan mengambil tempat Mayor….” Dia lanjut bicara, “Begini Frans saya jelaskan, sebelumnya anda sudah tahu-kan, lewat tembusan kawat sebelumnya tentang rencana operasi ADREV-Permesta DHAR-004?

“Siap, komandan…” balas Mayor Karepouwan.

Kolonel Tenges lalu berujar, “Ini rinciannya;…Bahwa kita pasukan WK.III harus hijrah ke wilayah pertempuran baru, ke tempat wilayah yang telah di tinggalkan RTP-“Ular Hitam” dan RTP-“Anoa” ADREV/Permesta-tepatnya di Gorontalo dan sebagian wilayah Sulawesi Tengah, kedua wilayah tersebut sekarang ini sebagian besar-nya berada dalam pengawasan musuh, dan dalam pemenuhan instruksi ini kita pasukan WK.III harus se-segera mungkin berangkat ke-sana!”

“Dan Frans, Batalion anda saya perintahkan berada paling depan dari formasi Brigade WK.III, sekarang segera siapkan Batalion R untuk persiapan operasi…”

“Komandan, ijin untuk bicara,” kata Mayor Karepouwan sambil mengangkat tangan kanannya.

“Ya, dipersilahkan…”

“Komandan,…saya siap melaksanakan perintah, tapi coba komandan pikir! Dari mana perlengkapan kita untuk kesana, apakah kita sudah memiliki tambahan amunisi dan personel?? Kita Batalion R di daerah kasuang itu saja sangat kesulitan logistik, untung-untungan diberikan makanan dari rakyat sekitar yang bersimpati kepada pasukan ADREV-Permesta,…”

Dia juga bicara dalam dialek Manado, ”Eh masa komandan nyanda tau? Torang di Batalion R kadang ja makang tentara pusat(TNI-Jawa) kalo dorang lewat patroli pa torang pe daerah, kong skarang dorang so jarang lewat,….kong bagimana torang mo pindah ke Gorontalo-Sulawesi Tengah sekitar 400 kilo meter dari sini, apa tu KSAD so Gila?!

Kolonel Tenges dan lain-lainnya di Markas WK.III tertawa terbahak-bahak. Sementara Mayor Frans masih dalam raut wajah serius terus berbicara....

Tak lama setelah gelak tawa tersebut, Kolonel Tenges memberitahukan yang sebenarnya. Bahwa Instruksi DHAR-004 telah dibatalkan, dan untuk itulah rapat singkat itu diadakan.

Tak lama kemudian Mayor Frans Karepouwan berkata, “Kurang ngajar, batal kote’ kwa…, sudah kalo bagitu kita deng pengawal pengawal so mo bale ke Batalion, jang Tentara Pusat tahu kita nda ada di Batalion kong dorang patroli.”

Kolonel Tenges balas berujar, “Iyo, Frans batal torang mo pigi. Hehehehehehehehe kita cuma mo test pa ngana pe kesiapan.… Oke dipersilahkan kembali ke Batalion.”

Setelah memberi hormat ke komandan WK.III Mayor Frans Karepouwan segera melangkah keluar markas dan di ikuti peleton kawalnya sambil masih mendengar tawa senda gurau dari beberapa staff WK.III.

Tak lama kemudian seorang Perwira Staff berseru, “Kalo bagitu jang lupa Mayor Frans tangka banya banya tu TNI for Brigade pe logistik.”

Suara gelak tertawa kembali terdengar sementara Mayor Frans melangkah pergi.  Sambil menggerutu dan berseru kepada mereka, dia berkata, ”So Gila tu rencana DHAR-004! deng ngoni lei so saraf kurang da tatawa!”

Tertawa pun semakin keras mengiringi langkah Mayor Frans Karepouwan dan peleton kawalnya. Dia sempat berkata kepada anak buahnya, “Kurang ngajar! Dorang Kolonel Tenges so beking badot pa kita ini hari.” Pengawal-pengawalnya berusaha menyembunyikan senyum geli dan tak berani tertawa.

Pada tahun 1958 sampai 1961, wilayah tugas Batalion R/ “Jin Kasuang”/WK.III/KDP-II ADREV-Permesta berada di ruas jalan antara Tomohon-Tondano. Batalion pimpinan Mayor (ADREV-Permesta) Frans Karepouwan ini sangat ditakuti oleh TNI di wilayah tersebut. Hampir semua patroli TNI di wilayah tersebut diserang setiap berpatroli. Banyak personil TNI hilang di daerah ini dan tak pernah diketahui lagi keberadaanya sekalipun telah dilakukan pencarian setelah perang Permesta. Gara-gara itu, Batalion “R” ADREV-Permesta itu dijuluki oleh TNI asal Jawa sebagai  “Jin Kasuang,” sebuah kekecualian nama julukan yang didapat bukan dari kalangan pasukan Permesta, atas keberanian bertempur dan kengerian yang mereka timbulkan terhadap lawan. Kengerian yang mereka timbulkan bukan tanpa sebab; beberapa sebab adalah perlakuan pasukan TNI sendiri terhadap daerah pendudukan dengan menyiksa tawanan sampai mati, melakukan pembunuhan terhadap rakyat sipil yang memberi makan pasukan Permesta, dan perkosaan di desa-desa. Hal hal ini dilakukan TNI karena semata-mata menutupi kekalahan mereka. Juga karena semakin banyaknya korban di pihak mereka dan perang tak kunjung dimenangkan oleh pasukan TNI/pemerintah pusat Jakarta, sekalipun TNI menguasai Kota-kota Strategis di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.

Dalam pertemuan dengan ex-Overstee (ADREV-Permesta) W. Sigar yang kemudian pensiun Kolonel TNI, pada sebuah acara di tahun Januari 2004 di tempat dari ex-KSAD (ADREV-Permesta) H. N. V Sumual, W. Sigar menjelaskan jumlah korban yang signifikan yang pernah dilihatnya dalam Arsip-Arsip KOSTRANAS pada awal-awal 1980-an ketika beliau bertugas disana. Dari total unit-unit TNI-AD yang bertugas di perang Permesta tercatat kehilangan kurang lebih 17,000 personil di luar dari mereka yang luka-luka dan invalid. Dalam rincian tersebut juga disebut ada beberapa batalion dari KODAM V/Brawijaya di isi kembali personilnya sampai 3-4 kali karena pernah ada Batalion tersisa 1 kompi jumlah personilnya dari awal diberangkatkan dari pulau Jawa. Bahkan ada kompi dalam Batalion yang pernah tinggal Komandan Kompi-nya yang hidup.

Pasukan Batalion R/”Jin Kasuang” akhirnya dapat ditertibkan akhir 1960 setelah sebuah kunjungan oleh Panglima KDP II/Minahasa, Kolonel (ADREV-Permesta) D. J Somba ke markas mereka. Dia memperingatkan mereka untuk menghentikan bentuk-bentuk perang urat-saraf yang melampaui batas-batas. 

Pada suatu hari, dalam sebuah jamuan makan di Markas Batalion R/”Jin Kasuang,” Panglima KDP II/Minahasa Kolonel (ADREV-Permesta) D.J Somba tidak memakan makanan yang disiapkan. Dia khawatir jangan menu makanannya mengandung daging Tentara Pusat/Jakarta. Sambil tetap memperhatikan Komandan Batalion R/”Jin Kasuang” melahap makanannya, panglima Somba memperingatkan bahwa dia akan meninju mereka apabila kedapatan atau ada laporan tentang cara-cara mereka tersebut.

Rupanya Tinju Kolonel (ADREV-Permesta) D. J Somba lebih ditakuti Batalion R/Jin Kasuang. Mengingat, konon tinju Kolonel (ADREV-Permesta) D.J Somba pernah membuat seekor sapi pusing dan roboh. Sekali saja sang Kolonel meninju, sapi itu roboh!

(tulisan ini dikutip dari grup suararakyatminahasa@groups.facebook.com, atas seizin penulisnya dan telah dilakukan editing oleh pengelola blog Minahasaku)

Rabu, 24 Agustus 2011

Globalisasi: Dari Pizza, Pisang Goreng sampai Korupsi

|0 komentar
Orang takut dengan globalisasi. Sebab, katanya globalisasi adalah imprealisme kebudayaan. Dari aktivis sampai analisis, kritikus, akademisi bahkan politikus banyak yang menentangnnya. Kecuali yang nda mo ambe pusing adalah ‘tikus-tikus kantor”.

Johan Norberg membelanya. Tesis utamanya, bahwa banyak negara yang dulunya terkebelakang dan terisolir sekarang ini bisa maju karena menerima globalisasi dan sudah tentu kapitalisme globalnya. “Itu sebabnya saya mencintai apa yang sering secara agak kerontang dinamakan ‘globalisasi,’ proses di mana manusia, informasi, perdagangan, investasi, demokrasi, dan ekonomi pasar cenderung semakin melampaui batas-batas nasional. Internasionalisasi semakin membebaskan kita dari batas-batas ciptaan pembuat peta,” begitu keyakinan Norberg, seorang peneliti di Timbro, sebuah organisasi think-tank di Swedia.

Thomas L. Friedman sedikit banyak sama dengan Norberg dalam membela globalisasi. Dia memang mengakui bahwa ketakutan banyak orang pada globalisasi adalah soal bahaya “Amerikanisasi” atau imprealisme kebudayaan Amerika. Tapi, Friedman membalas kekhawatiran itu dengan mengatakan bahwa justru dengan semakin mendatarnya dunia malah akan lebih berpotensi untuk menumbuhkan suburkan keanekaragaman budaya. “Mengapa? Pertama-tama adalah karena uploading. Uploading membuat proses ‘globalisasi akan sesuatu yang sifatnya lokal menjadi mungkin.’”, katanya.

Friedman memberi contoh tentang pizza. Mengapa pizza bisa lebih mendunia ketimbang Big Mac? Jawabnya, “Pizza hanyalah selembar adonan rata, tempat setiap kebudayaan dapat menambahi dan membumbui dengan rasa yang berbeda. Karena itu, Jepang memiliki pizza sushi; Bangkok memiliki pizza Thai; dan Lebanon memiliki pizza mezze. Tatanan dunia yang datar hampir mirip dengan adonan pizza. Ia mengijinkan berbagai kebudayaan yang berbeda untuk membubuhi dan menambahkan rasa sesuai keinginan mereka…” jelas Friedman.

Lalu, Minahasa punya pizza apa? Tole mungkin akan bilang Minahasa punya ”pizzang goreng.” He..he..Kita hanya membayangkan seandainya pisang goreng goroho bisa menjadi salah satu adonan rata, dan kebudayaan lain bisa menambah kreasinya. Atau, Cap Tikus, sebagai alcohol murni yang bisa ditambah dengan bumbu-bumbu dari kebudayaan lain sehingga bisa menjadi minuman dari Minahasa yang mendunia. Tapi apakah, misalnya cap tikus yang ditambah dengan ginseng dari China dan diminum di hotel-hotel mewah Amerika masih bisa kita sebut itu sebagai Cap Tikus dari Minahasa yang mendunia? Mungkin yang paling bisa adalah minuman alcohol murni dari Indonesia. Maka Minahasa tersubordinasi di bawah nama Indonesia. Seandainya bisa seperti Bali, yang mungkin lebih muda di sebut di Las Vegas ketimbang Indonesia, maka Minahasa benar-benar telah mendunia.

Bagaimana dengan Bunaken yang katanya taman laut yang dapat membuat Minahasa menjadi popular sedunia? Potensinya tak terlalu menggembirakan. Bukti yang paling muda adalah dengan mengklik kata “Bunaken” di mesin pencari google. Sekali mengklik kata itu, kita hanya mendapat sebanyak 295,000 hasil telusur. Sementara kata “Kuta Bali” mencapai 1,290,000 hasil telusur. Masih lebih banyak kata “Cap Tikus” yang berjumlah 2,060,000 hasil telusur dibanding kata “Bunaken”. Menariknya, hasil telusur untuk kata “Bunaken”, “Kuta Bali”, dan “Cap Tikus” kalah banyak jumlahnya dengan hasil telusur dengan kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 5,850,000. Artinya, di dunia maya yang menembus batas itu, masih lebih populer korupsi di Indonesia dibanding potensi-potensi lokal, yang sebenarnya harus mendunia, melampaui Jakarta. Namun, yang menggembirakan kata “Minahasa” melampaui lebih setengah kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 12,900,000 hasil telusur. Tapi, semua itu sangat jauh dari hasil telusur kata “Indonesia” yang mencapai 341,000,000. Jangan-jangan kata “Indonesia” menjadi banyak hasil telusurnya karena kata “korupsi”-nya, ya? Mudah-mudahan ini bukan berarti kata “Indonesia” identik dengan kata “korupsi”. Hmm…

Selasa, 23 Agustus 2011

Buku

|1 komentar
Resensi

Ketika Maengket Jadi Barang Dagangan

Oleh: Denni Pinontoan

Judul : Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)
Penulis : Dr. Ivan R.B. Kaunang, S.S., M.Hum
Penerbit : Kerjasama Intan Cendekia Yogyakarta dan Program Doktor (S3) dan Magister S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali
Tahun : 2010
Tebal Halaman :  vii + 228 hlm, 15,5 x 23,5 cm

MINAHASA berada dalam pusaran arus globalisasi. Hampir semua dimensi kehidupan Tou Minahasa, termasuk ekspresi seni terancam. Globalisasi dengan kapitalisme dan neoliberalismenya, memaksa Minahasa berubah secara paksa. Perubahan memang kodrat zaman, tapi globalisasi adalah kekuatan yang mengubah sesuatu tanpa dikehendaki oleh yang empunya. Maengket, tarian khas Tou Minahasapun terkomodifikasi. Kini, dia tidak lagi sebatas ekspresi spiritualitas dan seni, tetapi telah berubah menjadi sarana komersialisasi dan politisasi.
Kini hadir lagi satu buku yang mengkaji budaya Minahasa hadir untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Minahasa. Buku ”Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)”, terbit tahun 2010 karya Dr. Ivan R.B. Kaunang, S.S., M.Hum, mengulas salah satu dimensi kebudayaan Tou Minahasa, yaitu Maengket. Buku ini awalnya adalah disertasi penulis untuk program doktoral yang dipertahankan pada Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar – Bali tahun 2010 dengan judul ”Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara di Era Globalisasi”.
Dengan memakai kajian budaya sebagai pisau analisis, buku ini menghadirkan cara pandang yang baru terhadap sejarah, simbol dan ekspresi tari Maengket untuk membongkar kuasa-kuasa yang mengkomodifikasi dia di era globalisasi ini. ”Tabir kristalisasi politik identitas keminahasaan terbuka (dibuka lebar) melalui penjelasan buku ini untuk menjawab derasnya arus perkembangan global yang semakin kompleks dalam sepak berkesenian Tari Maengket,” tulis Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., dalam pengantarnya di buku ini. I Made Suastika adalah ketua Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Tari Maengket telah melewati perjalanan dengan zaman yang cukup panjang. Lahir di masa kuno Minahasa, awalnya Tari Maengket adalah untuk ritual keagamaan yang sakral. Tari Maengket khas dibandingkan dengan tarian yang lain di Nusantara. ”Tarian ini tidak sekadar menyanyi melainkan diungkapkan atau diperkuat dengan bentuk gerakan tari...Apa yang dinyanyikan itupula yang digerakkan,” tulis penulis buku, Ivan Kaunang.
Pada mulanya, Tari Maengket adalah berbentuk sakral, dan memiliki nilai-nilai religi yang tinggi. Sebuah unsur penting dalam ritual-ritual agama Tua Minahasa. Namun, begitu dia bersinggungan dengan perubahan zaman, termasuk perjumpaan dengan budaya luar, mulailah Maengket mengalami pergeseran. Globalisasi di Minahasa, menurut penulis buku ini, sudah terjadi cukup lama. Yaitu ketika tanah Minahasa mulai dikunjungi sejumlah bangsa, misalnya Cina, Arab, India, Spanyol, Portugis, Belanda dan Melayu. Sekarang, persinggungan dengan budaya bangsa-bangsa lain semakin intens dan memberi dampak bagi perubahan budaya.
Terkini, ketika sistem informasi dan komunikasi semakin tercepat karena perkembangan teknologi, arus globalisasi yang semakin kuat, Tari Maengket benar-benar bergeser. Maengketpun terkomodifikasi dalam pertunjukkan atau peragaan yang sarat dengan kepentingan modal dan politik. ”Kepentingan selera pasar didahulukan, akibatnya terjadi pergeseran pemaknaan dan pendefinisian terhadap sakralitas Maengket,” tulis Kaunang.
Buku ini, sebagai sebuah hasil penelitian ilmiah mengungkap banyak temuan yang selama ini tidak diperhatikan oleh buku-buku yang mengkaji tentang sejarah dan budaya Minahasa. Ada tiga temuan penelitian yang penulis hasilkan dari kerja penelitiannya terhadap Tari Maengket. Pertama, proses komodifikasi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi terjadi akibat adanya relasi antarinstusi. Tarian Maengket terkomodifikasi melalui relasi yang tercipta dari suatu kondisi ideologi yang sama antara pemilik modal (kapitalisme), dan penguasa (pemerintah). Tarian Maengket dalam pola ekonomis tersebut kini telah berubah menjadi alat komoditas yang sama dengan barang dan jasa.
Kedua, munculnya klaim-klaim hasil akhir dari produksi Tarian Maengket yang didominasi oleh individual, organisasi kelembagaan, kelompok /sanggar dengan meligitimasi kelompoknya sebagai kelompok elite dan memarjinalkan kelompok yang lain. Kelompok yang menang dalam klaim tersebut adalah kelompok yang memiliki relasi dengan penguasa dan pemilik modal.
Ketiga, Tarian Maengket kemudian diredefinisi sebagai seni pertunjukkan, tari populer yang dapat dilakukan di banyak tempat, sembarang waktu, dipentaskan dalam berbagai acara, penarinnya berpakaian warna-warni, dll. Pokoknya, telah sangat berbeda dengan Tarian Maengket pada masa awal, yang ditarikan pada musim panen, atau habis panen, dilakukan oleh banyak orang, dapat terdiri atas kaum pria atau wanita.
Begitulah nasib Tarian Maengket di era globalisasi. Nasib yang tragis, ”ketika sang walian dikudeta”, begitu judul epilog Benni E. Matindas dalam buku ini.



Puisi-Puisi Greenhill Weol

|0 komentar
Puisi-puisi Greenhill Weol (Sastrawan, pegiat di Mawale Cultural Center) 

Retro Epic

Ini cirita tentang kita
Waktu masi skola di SMA taong 1992

Dapa inga tu dulu-dulu
Waktu katu kita masi sadiki muda
Jaman blum tau hidop pe siksa
Tu waktu torang nyanda farek
Kalou nyanda singga mega mol
Apa lagi ka hai ki ato gacho
Tiap malam minggu bagini
Paling makang pisang ato mi
Mangada plein tikala

Torang ley blum bawa-bawa hp
So mujur tu ada telpon ruma
Kalo perlu kurang cari saratus
Kong lari-lari ka telepon umum
For mo telepon kape-kape Memora
Itu komang torang sorasa

Amper tiap hari barmaeng bola
Di skola jam bersenang sampe bel maso
Abis itu tu klas kurang bobou naga
Lantarang samua laki-laki so mandi suar
Mar yang penting torang nyanda saki mata
Haga-haga televisi deng jam-jam
Main winning kong bayar ley

Memang torang kala gaya katu no
Blum ja bapake tu gombrang, jangkis,
Apalagi span-span
Blum ada tu nama gaul, choi-choi,
Apalagi dugem

Kalou takumpul deng tamang-tamang
Paling bakuti gitar
Scorpions, Bonjovi, Stryper, Guns ato Metallica
So rasa jago kalo so hafal
Depe pemain pe nama
Blum ada Corner, Musro, en tu sagala pub kasiang

Mar sadap kwa tu dulu
Pisang 50, frak 150, bakso 250, bola plastik 500, cokakola blek 700, kaset 2000, dragon 5000, ...
Samua kasiang masih mura
Cuma komang memang masi siksa
Tu nama cari maitua
Musti banya bardoa deng bakaca
Soalnya dorang blum ja lia oto!
Lia henpon lia merek
Nya’ rupa skarang do ce
Parampuang kurang ja muat dari pinggir jalang!



Kami Kalah (Tapi Belum Mati)

Aku lihat putri-putri kami dicuri
Ditebus pergi rupiah ke penjuru negeri
Aku lihat putra-putra kami bunuh diri
Hancur menghantam aspal gengsi

Aku lihat ibu-ibu kami gila menari
Tari-tari bobrok tak punya arti
Aku lihat bapa-bapa kami korupsi
Padahal merangkap jabatan suci

Wahai Empung Pencipta Bumi
Leluhur yang gagah berani
Anak-cucu yang belum membumi
Tana' dimana kelak kami kembali
Masih ada bijak sang manguni
Belum lupa cara mengacung santi
Karena kami memang kalah hari ini
Tapi kami belum mati


Kita, Minahasa

Melawan penjajahan tidak selalu berarti mengangkat senjata
Memenggal putus kepala mereka
Hanya kobarkan api angkara murka belaka
Namun ada cara yang lebih mulia dan manusia
Yakni menyatakan senyata-nyatanya
Kepada mereka bahwa kita, bangsa minahasa
Adalah bangsa yang punya isi kepala
Punya kuat dan tenaga
Dan terlebih diatas semua: punya bijaksana
Buat mereka duduk satu meja dengan kita
Lantas tampar mukanya dengan kemampuan indah berbahasa
Cengangkan ia dengan kerendahan hati yang mulia
Lantas permalu ia dengan ahlak yang cerminkan kasih sang maha
Lantas..
Ajaklah ia untuk mengayun langkah bersama
Hidup berdampingan dalam sukacita dalam satu dunia
Sebab,
Hoi ta pe sudara-sudara
Torang ini Minahasa!

Minggu, 21 Agustus 2011

Sehari Setelah ‘Merdeka’

|1 komentar

Oleh: Denni H.R. Pinontoan
 
Sehari setelah kata ‘merdeka’ menggema di seantero Nusantara. Sehari setelah makna merdeka dikhotbahkan mulai dari tanah lapang sampai di istana merdeka. Itu terjadi pada tanggal 18 Agustus baru lewat. Di wanua Pinabetengan, polisi berjaga-jaga dengan senjata. Mereka tidak sedang mengejar koruptor. Tidak juga sedang menghadang teroris. Para polisi itu berjaga-jaga untuk menghadang rombongan Tou Minahasa yang akan ke Watu Pinawetengan. 
”Para aparat kemanan dari berbagai unsur menghadang berlapis tiga mulai di Desa Pinawetengan hingga gerbang Watu Pinawetengan,” tulis Joppie Worek di grup Facebook Suara Rakyat Minahasa. Worek, adalah sekretaris pelaksana kegiatan ”Deklarasi Watu Pinawetengan Menuju Negara persatuan Republik indonesia” pada tanggal 18 Agustus itu. Kegiatan ini gigagas oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri “Gerakan Persatuan (Federal) Indonesiadari Minahasa (GERAPIM)”
            Sekitar seratusan orang yang sedang menuju ke Watu Pinawetengan tempat pelaksanaan kegiatan itu dicegat di ujung wanua Pinabetengan. Alasan aparat, kegiatan ini tidak memiliki izin. Memang, sebelumnya, para penggagasnya sudah berusaha mengurus izin kegiatan. Tapi, pihak kepolisian tidak memberikannya. Alasanya tidak jelas. Alhasilnya, kegiatan tersebut batal dilaksanakan. Rombongan dan para penggagaspun kecewa. Tou Minahasa yang simpati dengan gerakan itu juga kecewa dan marah.
            Padahal, kegiatan tersebut akan diisi dengan peringatan HUT RI ke-66. Rencana acaranya ada doa pembukaan. Pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pembacaan Teks Proklamasi, Pancasila, dan Mukadimah UUD 1945. Kemudian ada sambutan Ketua Gerakan Moral “Persatuan Minahasa” Mayjen (Purn) C J Rantung, yang juga mantan Gubernur Sulawesi Utara. Bahkan, ada pembacaan Puisi dan Prosa, serta Harapan Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah di Watu Pinawetengan, rombongan akan berziarah dan meletakkan karangan bunga di Makam Pahlawan Nasional Dr GSSJ Ratulangi di Tondano.
            Sebuah gerakan kebudayaan yang berisi seruan moral menyikapi perjalanan bernegara Indonesia Raya. Tidak ada pengibaran bendera Minahasa. Tidak ada Proklamasi Republik Minahasa Merdeka. Tidak ada milisi Minahasa yang siap mati demi membela acara itu. Pokoknya, tidak ada yang membahayakan negara.
            Memang, dalam undangan yang disampaikan penggagas melalui email, bahwa dalam kegiatan itu nantinya akan ada pernyataan sikap. Pihak penggagas, dalam hal ini dr. Bert Adriaan Supit, yang juga Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa (MAM) menyebutkan bahwa pernyataan sikap yang rencananya akan dibacakan di acara itu adalah: 1.) Bahwa Pancasila dan UUD RI harus BEBAS dari Ideologi Agama Islam sesuai Keputusan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. 2.) Bahwa bentuk dan sistem NKRI sudah GAGAL karena terlalu sentralistik kekuasaan POLITIK dan EKONOMI, serta KORUPSI di PUSAT KEKUASAAN sudah TIDAK TERKONTROL LAGI, dan sudah merembet keseluruh sendi Bangsa Indonesia.
            Pihak penggagas juga telah menyiapkan naskah “Deklarasi Watu Pinawetengan Menuju Negara Persatuan Republik Indonesia.” Naskah itu berisi 11 point latar pemikiran dan pertimbangan, serta 5 point pernyataan dan seruan. Fokusnya adalah kritik terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik. Sambil menyatakan bahwa bangsa Minahasa tetap menghormati Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD 45 dan semangat kebhinekaan yang diikrarkan oleh para pendiri relublik ini. Memperhatikan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia yang memprihatinkan, maka pihak penggagas merasa perlu menyerukan kepada penyelenggara negara ini untuk mempertimbangkan aspirasi perubahan sistem negara, dari “kesatuan” menuju “persatuan” yang federal. Usulan ini “untuk tercapainya cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia dan demi penyelamatan Republik Indonesia hasil proklamasi 17 agustus 1945.”
            Juga, naskah sambutan yang dipersiapkan oleh Mayjen (Purn) C.J. Rantung, sebagai Pembina Gerakan Moral ’Persatuan Minahasa’ untuk dibacakan pada kegiatan itu, tampak sangat nasionalis. “Para pendahulu kita telah mengambil bagian dalam babakan kehidupan bersama dengan bangsa-bangsa lain di kepulauan nusantara ini melalui peristiwa kesepakatan bersama kongres pemuda tahun 1928 menjadi ’persatuan bangsa indonesia’ menuju indonesia merdeka, menuju Indonesia yang bersatu dan berdaulat,” tulis Rantung dalam naskah sambutannya itu.
            Dia juga mengajak segenap tou Minahasa untuk melestarikan semangat “persatuan” dan “kerukunan.”  Tou Minahasa, menurut Rantung harus juga terus mengabdikan dirinya bagi masa depan Indonesia. “Dari Watu Pinawetengan, saya selaku “putera Minahasa”, selaku tonaas wangko umbanua yang pernah memimpin Propinsi Sulawesi Utara ini selama 10 tahun. Ingin mengajak seluruh Tou Minahasa, di seluruh persada Indonesia tercinta untuk terus memberi diri berjuang dan berkarya secara kritis dan kreatif bagi masa depan Indonesia.”
            Apa yang salah dengan kegiatan itu kalau, baik bentuk acara maupun isinya masih berbicara tentang ke-Indonesia-an atau mungkin tepatnya, perspektif ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an? Dokter Bert Supit mensinyalir, penghadangan itu terjadi karena aparat terjebak pada isu yang dimaikan oleh kelompok tertentu di Minahasa. “Dalam kesempatan ini saya perlu menyampaikan bahwa pihak kepolisian terjebak dalam permainan isu dari kelompok-kelompok tertentu yg mengatakan bahwa perayaan ini adalah deklarasi separatis,” kata Supit seperti yang rilis portal berita http://beritamanado.com/, Jumat, 19 Agustus.
Memang sebelumnya, ormas Brigade Manguni Indonesia (BMI), melalui Sekretaris Jenderalnya, Renata Ticonuwu, mengatakan bahwa BMI siap menjegal kegiatan tersebut. Alasannya, bahwa gerakan ini separatis. “Gerakan GERAFIM adalah gerakan separatis, karena bisa mengancam kesatuan dan persatuan NKRI.” Ticonuwu mengatakan itu pada konferensi Pers di Hotel Griya Sintesa Peninsula Manado, Jumat, 5 Agustus lalu. Tapi, menariknya, pada tanggal 18 Agustus itu yang tampak melakukan penghadangan bukan BMI melainkan aparat kepolisian.
 Sebuah ironi terjadi sehari setelah tanggal 17 Agustus, hari ‘merdekanya” Indonesia. Ketika masih ada niat baik untuk ikut merayakan hari, justru penghadangan dan pembatalan kegiatan dilakukan oleh aparat, yang tentu merepresentasi negara. Ini menjadi tanda buruk bagi makna ‘kemerdekaan”, ya, merdeka berpendapat, berkumpul dan menyatakan kritik terhadap negara. Sehari setelah ‘merdeka’, makna kebebasan yang menjadi esensi dari kemerdekaan republik ini, ‘mati’! Jika negara sudah takut pada kritik, maka di situlah awal kehancurannya.
 
           

Kamis, 04 Agustus 2011

Sekolah GMIM, Antara Kenangan dan Kenyataan

|1 komentar
Oleh: Denni Pinontoan

Baru pertama kali itu saya bertemu dengan om David Roring. Bicaranya penuh semangat. Suatu malam kami bacirita soal Minahasa. Tapi begitu menyebut kata “GMIM”, dia tampak diam. Air mukanya berubah. Sedih. Menyesal.
”Kita dulu alumni SD GMIM Ranotana,” Om David berujar.
            Dia berkata begitu karena torang pe acara bacirita tiba-tiba menyinggung soal GMIM. Dia menyesal, bekas sekolahnya, kini telah berubah nama menjadi Sekolah Dian Harapan. SD milik GMIM itu berubah nama sebab, mulai 29 Juli bersamaan dengan acara Soft Openingnya, SD itu resmi diambil alih pengelolaannya oleh Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPH) dibawa asuhan chief executive officer Lippo Group, James Riady.
            Om David geram. Dia mengingat masa ketika dia menjadi murid di sekolah itu. Sebagai warga GMIM, dia bangga pernah bersekolah di SD itu.
            ”Maar, pas kita lewat di situ kemarin, oh tuhay, so ada tulisan ’Sekolah Dian Harapan’ pa depe papan nama.”
            Pada 1 April lalu, Pdt. Junius Posumah, Ketua Yayasan AZR Wenas dan  Jonathan Parapak, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman untuk kerjasama tersebut.
Bentuk kerjasamanya adalah investasi sarana berupa bangunan sekolah dan pendukungnya, tenaga pendidik dan bahan ajar yang dilakukan YPH terhadap sekolah GMIM tersebut.
            ”Kyapa, GMIM so nda mampu so mo kelola depe sekolah?” Kata Om David.
            Yayasan Pelita Harapan mengiming-imingi petinggi Yayasan AZR Wenas dengan bangunan yang representatif. Sarana penunjang yang bertaraf internasional. Kurikulum sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dikeluarkan Kemendiknas. Dan, katanya diperkaya dengan muatan kurikulum berstandar internasional.
            Waktu soft opening, sebagai tanda dimulainya alihkelolah tersebut, hadir Pembinan Yayasan Pelita Harapan, Dr James Riady, Drs Theo Sambuaga sebagai Presiden Komisaris Group Lippo dan Gubernur Sulut SH Sarundajang.
James Riady adalah anak Mochtar Riady, seorang pengusaha Indonesia terkemuka. Ia adalah pendiri dan presiden komisaris dari Grup Lippo. Mochtar Riady banyak dikenal orang sebagai seorang praktisi perbankan handal. Ia juga dikenal salah seorang konglomerat keturunan Tionghoa-Indonesia yang berhasil mengembangkan grup bisnisnya hingga ke mancanegara. Kakek James Riady, adalah seorang pedagang batik bernama Liapi (1808-1959), sedangkan neneknya bernama Sibelau (1989-1939).
Pada tahun 1947, ayah James Riady, ditangkap oleh pemerintah Belanda karena menentang pembentukan Negara Indonesia Timur. Bahkan sempat ditahan di penjara Lowokwaru, Malang. Ia kemudian di buang ke Cina. Di sana ia mengambil kuliah filosofi di Universitas Nanking. Mochtar Riady tinggal di Hongkong hingga tahun 1950, dan kemudian kembali lagi ke Indonesia. Pada tahun 1951 ia menikahi Suryawati Lidya, seorang wanita asal Jember.
Grup Lippo, sebuah grup yang memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Karyawannya diperkirakan berjumlah lebih dari 50 ribu orang. Aktivitas perusahaannya tidak hanya di Indonesia. Hadir di kawasan Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian, dan Shanghai. Usahanya berkembang mulai properti, infrastruktur multimedia, media, retail, pendidikan, kesehatan, hingga pengelola investasi. Pada 1989, Mochtar Riady menggabungkan Bank Perniagaan Indonesia dengan Bank Umum Asia menjadi Lippo Bank.
September tahun lalu, Mochtar Riady, menyerahkan tampuk pimpinan kelompok usaha Lippo kepada Theo L. Sambuaga. Sambuaga adalah politikus Golkar  yang sebelumnya, sudah 15 tahun menjadi komisaris Lippo. Menurut Tempo (Senin, 11 Oktober 2010), alasan Mochtar memilih Sambuaga, karena Lippo ingin berekspansi ke Indonesia bagian timur. ”Sebagai orang Manado, Theo dianggap cocok dengan strategi Lippo yang ingin menggarap pasar di sana,” demikian Tempo menulis.
Sejak itu, Mochtar tak lagi aktif di manejemen Lippo. Dia sekarang lebih memilih berfokus pada keluarga dan kehidupan spiritual. 
James Riyadi pernah terlibat dalam skandal pemberian sumbangan illegal dengan dana luar negeri untuk kampanye politik Bill Clinton. Mother Jones, sebuah majalah invenstigasi terkemuka di Amerika Serikat menulis, antara Mei 1990 dan Juni 1994 James Riady dan bekas penghimpun dana untuk Partai Demokrat, John Huang, telah berkongsi memberi sumbangan rahasia kepada Partai Demokrat. Dana itu juga untuk kampanye Bill Clinton. James Riady telah memberikan dana sebesar $475.000 sejak tahun 1991. Majalah itu juga menulis cerita kedekatan keluarga Riady dengan Soeharto di masa orde baru.
George Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresiden: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006) bahkan menulis, total dana yang telah disumbangkan keluarga Riady dengan eksekutif dan kolega-koleganya kelompok Lippo kepada mesin kampanye Clinton pada tahun 1992 senilai total $1.050.000. ”Jauh lebih banyak dibanding perusahaan, serikat buruh, atau selebritis Hollywood,” tulis Aditjondro. 
Aditjondro menulis, di masa rezim Orde Baru berkuasa, untuk kepentingan kekuasaan dan usaha-usaha keluarga Soeharto, James Riady adalah pelobi terbaik Soeharto untuk AS.  Joe Studwell dalam bukunya Asian Goodfahters: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2009), menyebut, keluarga Riady salah satu pengusaha kelas kakap yang dekat dengan kekuasaan Soeharto.
Kasus James Riady tersebut mencuat setelah pada tahun 1998, senat Amerika Serikat melakukan penyelidikan skandal keuangan kampanye presiden AS. James Riady didakwa dan mengaku bersalah atas pelanggaran dana kampanye oleh dirinya sendiri dan perusahaannya. Akibatnya, dia kemudian diperintahkan membayar denda sebesar $ 8.600.000. Denda ini tercatat sebagai yang terbesar yang pernah dikenakan dalam kasus keuangan kampanye.
Sejak menjadi Kristen pada tahun 1990, James Riady aktif sebagai seorang evangelis. Dia juga mendirikan yayasan, badan amal dan sekolah-sekolah berbasis Kristen di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia. Karena aktivitasnya ini, James Riady sering dituduh melakukan kristenisasi. Kini, dia hadir di Minahasa, mulai mengalihkelolah sekolah-sekolah milik GMIM. Selain SD GMIM di Ranotana, SD GMIM II Tomohon, juga telah dialihkelolah oleh Yayasan milik James Riady ini. Sekolah itu diberi nama SD Lentara Harapan.
Selain dua sekolah milik GMIM itu, sebelumnya, kerjasama juga telah terjadi antara Yayasan Pelita Harapan dan Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen (YPPK) DR. J.B. Sitanala. Situs ambon.go.id  menyiarkan, pada 10 Januari lalu, bertempat di Gedung Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), kedua yayasan tersebut telah menandatangani MoU. YPPK telah menyerahkan sekolah-sekolah yang berada di kompleks persekolahan Rehoboth, yang terdiri dari SD Kristen I dan II Rehoboth, SMP Kristen Rehoboth dan SMA Kristen Rehoboth, untuk dikelola Yayasan Pendidikan Pelita Harapan selama 13 Tahun. Cita-cita ayahnya, Mochtar Riady untuk berekspansi ke Indonesia bagian Timur, agaknya sementara mewujud.

SEJARAH pendidikan GMIM tak lepas dari sejarah Pekabaran Injil di tanah Minahasa. Tanggal 12 Juni lalu, GMIM memperingati 180 tahun Pekabaran Injil dan Pendidikan di Minahasa. Bodewyn Talumewo menulis dalam majalah Waleta Minahasa (edisi No. 2 thn. I Juni 2010), pendidikan oleh gereja di Minahasa tidak lepas dari semangat pada zendelingnya dalam mengabarkan Injil di Tanah Minahasa.
Menurut catatan Talumewo, di masa zendeling NZG asal Jerman, Johann Friedrich Riedel (1798-1860) dan Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859), pendidikan kepada anak-anak bangsa Minahasa didorong secara optimal. Sebelum era Riedel dan Schwarz, pendidikan hanya sebatas untuk anak pegawai kolonial dan anak-anak orang Borgo. Hanya segelintir anak elit Minahasa yang bisa mengenyam pendidikan di masa itu.
Riedel dan Schwarz tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Mereka menginap di rumah wakil Indische Kerk atau Gereja Protestan Hindia Belanda Ds. Gerrit Jan Hellendoorn. Sekitar seminggu kemudian keduanya diajak turut dalam perjalanan dinas mengelilingi daerah Minahasa. Sesudah itu Riedel melayani daerah Tondano dan sekitarnya dan menetap di Tondano-Toulimambot. Sementara Schwarz melayani daerah Kakas, Remboken, Langowan, Tompaso, Kawangkoan dan Sonder. Schwarz mula-mula berdiam di Kakas kemudian menetap di Langowan.
Kedua zendeling ini menjadikan pendidikan dan pendirian sekolah-sekolah sebagai program utama. Mereka merintis pembinaan pemuda remaja melalui sistem anak piara. “Sistem pendidikan papendangan atau model pendidikan asli Minahasa kemudian diadopsi oleh para zendeling dalam bentuk anak piara. Mereka kemudian disebut moerid-stelsel atau murid yang menaati peraturan tertentu sebagai pedoman,” tulis Talumewo.
Selain sebagai zendeling, Riedel dan Schwarz juga berfungsi sebagai guru. Mereka juga mendidik anak-anak Minahasa untuk menjadi guru. “Para pemuda yang telah cakap menulis, membaca, berhitung, menyanyi, bisa diangkat menjadi guru. Mereka disebut guru angkat,” tulis Talumewo.
Sejak  tahun 1851 telah berkembang pula sekolah-sekolah Kristen atas kegiatan para Zendeling antara lain Riedel, Schwarz. Waktu sekolah disebut Sekolah Genoskap (Genoofschapsscholen). Desa-desa yang belum memiliki sekolah merasa iri dan mendesak Walak mereka, supaya mengusahakan juga sekolah. Dengan ini atas usaha beberapa kepala Walak dididirikanlah sekolah-sekolah yang disebut Sekolah Walak yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Distrik atau Sekolah Negeri.
Waktu itu dalam satu sekolah hanya memiliki seorang guru jebolan pendidikan sistem anak piara dan moerid-stelsel, serta Sekolah Pendidikan Guru Kweekschool. Sejak awal abad XIX, tugas memberikan pelajaran kepada murid yang baru masuk sekolah diserahkan kepada murid-murid tertua. Mereka ini disebut magang. Awal abad XX, magang demikian yang telah mengajar selama 3-5 tahun, diuji pemerintah dan yang lulus mendapat ijasah Kweekeling (Calon Guru). Sesudah 3-5 tahun menjadi Kweekeling, maka diuji pula untuk mendapat ijasah hulponderwijzer (Guru Bantu).
Zendeling NZG giat mendirikan sekolah zending di setiap kampung/negeri yang dianggap sudah mampu dan memenuhi persyaratan. Statistik NZG menyebutkan bahwa untuk tahun 1827 tercatat 7 sekolah NZG dengan anak 300 siswa rintisan Hellendoorn, tahun 1830 ada 9 sekolah, tahun 1832 ada 20 sekolah dengan 700 anak, tahun 1835 ada 25 sekolah, tahun 1836 menjadi 33 sekolah, tahun 1837 ada 40 sekolah, dan berkembang tahun 1840 menjadi 65 sekolah dengan 4.000 anak.
Kegiatan para Hoofden (Kepala-kepala Distrik dan lain sebagainya) di Minahasa dalam rangka memajukan pendidikan juga besar. Mereka mengusahakan sekolah-sekolah negeri milik Distrik yang pendiriannya ditanggung oleh kas negeri. Pada tahun 1844 saja sekolah semacam ini telah berjumlah 12 buah. Walau begitu mutu sekolah ini buruk. Sebab sekolah ini dipimpin oleh guru pembantu dengan kualitas rendah.
Menurut data yang Talumewo kumpulkan, tercatat sebelum Perang Dunia II berkecamuk, tahun 1941 Minahasa dengan 450 buah desa dan penduduk sebanyak 377.000 orang telah memiliki sekolah dasar atau Sekolah Rakyat GMIM sebanyak 201 sekolah. Itu antara lain dari sekolah-sekolah yang ada sampai di masa itu.
            Berefleksi atas kenyataan sejarah itu, Ds. AZR Wenas, Ketua Sinode GMIM pertama asal Minahasa pernah berujar, “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus menjalankan Misinya lepas dari Kua-sa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Menolong Orang yang Sakit dan Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”

GMIM sudah hadir dalam sejarah di Tanah Minahasa dengan semangat mencerdaskan Tou Minahasa. Sekolah-sekolahnya mulai dari taman kanak-kanak. Sekolah Dasar. Sekolah Menengah Pertama. Sekolah Menengah Atas. Semuanya telah berperan bagi usaha pencerdasan peradaban ini. Karena pendidikannya yang tergolong maju, maka GMIM pernah mengirim guru-gurunya ke beberapa daerah sekitar di pulau Sulawesi.
Harry Kawilarang mengenang pendidikan di Minahasa dengan menyebut peran guru-guru dari Minahasa. Para guru itu adalah hasil didikan sekolah-sekolah milik gereja di Minahasa. “Setelah selesai dari sekolah guru di Kawangkoan, Sonder dan Tondano, banyak dari guru-guru turunan Minahasa ini melanjutkan profesi sebagai tenaga pengajar pada berbagai pelosok di gugusan nusantara dari Sabang hingga Merauke, dan dari Lirung hingga pulau Roti,” tulis Kawilarang.
            Almarhum Rosihan Anwar, wartawan senior, ketika menjabat sebagai pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, berujar dalam Ipphos Report tahun 1949 yang memuji kecerdasan orang-orang Minahasa. Dia bilang, bahwa Minahasa adalah, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.”
Phill M. Suluh, eks tentara Permesta dan wartawan mengenang bekas sekolahnya dalam bukunya “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri.” Dia menulis, gedung Gereja Tua GMIM Pniel Kakaskasen di masa Permesta pernah dipakai sebagai ruang kelas SD GMIM karena muridnya banyak. Di masa Permesta, Kakaskasen, kampungnya hancur, porak-poranda. Hanya gedung gereja GMIM Pniel dan Gereja Katolik di wanua itu yang masih berdiri kokoh ketika dia pulang dari gerilyanya di Minahasa Selatan sebagai tentara Permesta awal tahun 1960.
            “Sejak dari kelas III SD sampai tamat 6 tahun, aku menjalani pendidikan di sekolah ini. Bangunan sekolahnya tampak masih ada meskipun sudah tak terawat. Perabotan di dalamnya berserakan dan sudah banyak yang hilang,” kenang Suluh.
            Greity Sumayouw, mahasiswi Fakultas Teologi UKIT dalam skripsinya tentang Sejarah Gereja Wiau Lapi menceritakan tentang bagaimana usaha dari jemaat itu mempertahankan keberadaan sekolah milik GMIM di tengah pergolakan Permesta. Waktu itu, tulis Greity, rakyat wanua Wiau Lapi harus mengungsi ke wilayah-wilayah perkebunan karena perang. Para murid sekolah dasar tidak bisa lagi bersekolah dengan baik. “Tapi, atas inisiatif Alo Sengkey, kepala sekolah SD GMIM Wiau Lapi, sekolah tersebut juga ikut diungsikan ke perkebunan,” tulis Greity. Maka, ibadah dan kegiatan belajar tetap berjalan meski situasi bergolak. 
            Saya juga tentu tak bisa melupakan kenangan waktu bersekolah dulu. Waktu SD, saya sekolah di dua SD GMIM. Di Motoling dan di Kawangkoan. Tiga tahun pertama, saya bersekolah di SD GMIM Motoling. Tiga tahun kedua, pindah ke SD GMIM I Kawangkoan. Kalau SD GMIM Motoling letaknya di jalan menuju wanua Malola. Saya masih ingat, gedung sekolahnyaberbentuk huruf ‘L’. Setiap hari, sekitar 1 km saya berjalan menuju ke sekolah itu. Berapa puluh tahun kemudian, kalau pulang ke Motoling saya tidur di rumah yang cuma berjarak sepuluh langkah dari gedung sekolah itu. Sebab, istri saya, rumah orang tuanya di sebelah SD GMIM itu. Sungguh tak pernah saya bayangkan.
            Saya masih ingat, ketika waktu istirahat kami para murid sering bemain di bagian belakang sekolah. Mengais-ngais tanah mencari undur-undur. Binatang kecil ini kami adu. Berlomba, siapa undur-undurnya yang paling cepat berlari mundur. Bila sudah selesai, undur-undur kami biarkan begitu saja. Kasihan.
            Tanganku pernah keseleo. Gara-gara, saya dan teman bermain motor-motoran. Kami berlari-lari mengelilingi halaman sekolah meniru pengemudi motor. “Brum...brumm...brummm.” Motor-motoran tancap gas.
Suatu saat, pas dalam posisi berbelok, kaki saya tersenggol kaki teman yang menyusul dari belakang. Saya terjatuh. Tangan kiri saya tertindih tubuh teman yang ikut jatuh. Sakit sekali. Saya langsung pulang ke rumah sambil menangis. Oma saya memijit dengan minyak ‘sakti’ bikinannya. Setelah itu dikompres dengan cuka. Tiga hari saya tidak bisa ke sekolah. Akibatnya, tangan saya agak bengkok sedikit.
            Para guru saya di SD GMIM Motoling ada yang galak ada juga yang ramah. Saya ingat bapak guru bernama Ferry Rindo-rindo. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sedikit galak guru matematika kami itu. Tapi, dia sebenarnya baik.
            Selesai kelas tiga saya pindah ke SD GMIM I Kawangkoan. Opa saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit GMIM Bethesda. Kami sekeluarga, termasuk ibu ikut ke Tomohon. Keluarga kami kebanyakan di Kawangkoan. Setelah sembuh, opa menetap di Kawangkoan.  SD GMIM I Kawangkoan berdiri samping Gereja Sion Sendangan, Kawangkoan. Waktu saya SD di sana, bangunan gerejanya masih asli, seperti waktu gedung itu dibangun pada akhir abad 19. Setelah tamat di SD GMIM 1 Kawangkoan pada tahun 1989, saya pulang ke Motoling. Saya masuk di SMP Kristen Motoling. Sekolah ini, juga milik GMIM.
            Saya masih ingat betul petuah ibu ketika hendak kuliah di Fakultas Teologi UKIT sekitar 13 tahun silam. Ibu berpesan, “Biar orang tua maraya, yang penting ngana musti sekolah.” Ini, menjadi motivasi bagi saya untuk bersekolah. Beberapa kali bacirita deng beberapa teman, agaknya petuah ini adalah juga pesan orang tua mereka. Ini spirit sumekolah yang luar biasa. Seandainya petinggi-petinggi BPMS GMIM mau belajar dari sejarah pendidikan GMIM di tanah Minahasa. Di masa bergolak karena perang, jemaat dengan gigih mempertahankan sekolah-sekolahnya. Mereka punya visi jauh ke depan. Itu tentu demi anak cucu mereka, generasi Minahasa yang sekarang hidup di tengah persoalan komersialisasi pendidikan. Para leluhur kita, sadar betul makna sekolah bagi GMIM.