Rabu, 21 Desember 2011

Kopra, Pabrik Sabun hingga Permesta

|0 komentar
Cerita tentang Kelapa di Minahasa


Oleh: Denni Pinontoan

Pada tahun 1920-an, Tanah Minahasa, sudah menjadi daerah kelapa. Di era ini, hampir setiap rumah tangga memiliki kurang lebih 50 pohon kelapa. Tonsea merupakan daerah yang paling subur untuk ditanami kelapa. Kelapa juga banyak ditanam di Manado, Amurang, Tondano, Ratahan dan Kawangkoan. Fenomena itu terjadi kurang lebih setengah abad ketika kelapa mulai dibudiyakan secara massal pada tahun 1870-an.

Namun, bukan berarti budidaya kelapa nanti pertama-tama terjadi tahun 1870-an itu. Tahun 1850-an, Nicolaus Graafland seorang penginjil yang bekerja pada NZG sudah melihat pohon-pohon kelapa yang ditanam sepanjang pantai Minahasa. Tahun 1885 Sidney J. Hickson, seorang naturalis berkebangsaan Inggris melakukan perjalanan ke Minahasa, Sangihe dan Talaud. Di Minahasa dia menyaksikan pohon kelapa yang sudah banyak ditanam.  

Catatan perjalanan Hickson mulai tahun 1885 itu diterbikan dalam bukunya, A Naturalist In North Celebes. Buku ini diterbitkan di London tahun 1889. Hickson mencatat, di tahun kedatangannya, salah satu komoditi ekspor Minahasa adalah kopra. Lainnya adalah kopi, kakao, pala, vanili, dan beberapa rempah-rempah lainnya. Tanaman kelapa, menurut Hickson bagi masyarakat Minahasa pada masa itu adalah tanaman yang punya nilai tinggi. Daun kelapa yang muda, biasanya digunakan untuk keperluan dekorasi pada saat ada acara pesta.

Sebuah buku berjudul Celebes, yang terbit di London pada tahun 1919 melaporkan, di bagian Utara Pulau Sulawesi, kelapa sudah banyak ditanam. Waktu itu, kopra dari Minahasa atau wilayah lain di pulau Celebes diekspor ke New York dan San Fransisco, Amerika. Di sana, kopra produksi antara lain menjadi margarine dan sabun.

Sebelumnya pada tahun 1917, gudang-gudang di Manado dijejali dengan kopra. Harga kopra jatuh. Penyebabnya adalah kurangnya pengangkutan barang ke luar. Selain di pelabuhan Manado, kopra dari Minahasa juga diekspor dari pelabuhan Amurang dan Kema.

Pada tahun 1920, Hindia Belanda mensuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia. Sekitar 1/3 di antaranya berasal dari keresiden Manado. Effendy Wahyono, yang melakukan penelitian sejarah kelapa di Minahasa untuk tesisnya di Universitas Indonesia, dengan judul, ”Pembudidayaan dan Perdagangan Kopra di Minahasa (1870-1942)” menuliskan, alasan orang Minahasa tertarik memproduksi kopra adalah, pertama, adanya permintaan yang tinggi pasar kopra dunia. Kedua, pengelolaahnya relatif praktis. Ketiga, tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.

Berbeda dengan budidaya kopi yang dilakukan dalam sistem tanam paksa, tanaman kelapa ditanam secara sukarela oleh orang-orang Minahasa. Kalau Graafland dan Hickson sudah menyaksikan pohon kelapa yang banyak di Minahasa di pertengahan abad 19, itu berarti budidaya secara massal pohon kelapa sudah terjadi di masa masih berlakunya sistem tanam paksa kopi. Ini yang menarik. Apakah penanaman pohon kelapa yang secara sukarela itu adalah bentuk protes terhadap sistem tanam paksa kopi yang nanti berakhir tahun 1899 itu? Entahlah. Butuh studi khusus tentang ini.

David Hanley mengatakan, kewajiban menanam kopi yang dihapus pada tahun 1899 membuat produksi utama Minahasa beralih ke produksi kopra. ”Tahun 1926 telah menguasai 90 persen dari nilai eksport,” tulisnya.

Menurut Hanley, kelapa sempat membawa kemakmuran bagi rakyat Minahasa di tiga dekade pertama abad 20. Harga kopra di pasaran dunia waktu itu cukup tinggi. Masyarakat Tonsea terutama yang paling merasakan berkat harga kopra dunia tersebut.

Puncak kenaikan harga kopra terjadi pada dasawarsa 1920-an. ”Pada masa itu petani kopra Minahasa banyak menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya seperti membeli kendaraan bermotor (mobil),” tulis Wahyono.

Karena harga kopra lagi bagus-bagusnya dan budidaya kelapa terus meningkat di wilayah keresiden Manado, maka banyak perusahaan perdagangan asing yang membuka cabang-cabanya di wilayah ini. Di Minahasa, sejak tahun 1920-an ada sekitar 10 sampai 12 cabang perusahaan asing. Sebagian besar adalah perusahaan milik pengusaha Belanda. Amerika Serikat, juga tak ketinggalan. Pada tahun 1927, sebuah perusahaan dari Amerika Serikat mulai mengekspor kopra dari Manado ke Pantai Barat Amerika, terutama Los Angeles. Pada tahun 1930-an, sebuah perusahaan Jepang juga beroperasi di Manado. Di masa itu, Manado menjadi salah satu titik temu perdagangan kopra global. Para pedagang biasanya lebih tertarik mengekspor kopra ke Amerika lantaran Amerika berani membeli harga yang tinggi.

Di masa harga kopra meninggi, petani-petani kelapa Minahasa banyak yang memperoleh pinjaman uang dari pedagang perantara dengan jaminan penyerahan kopra setelah masa panen. Banyak pula yang menyewakan kebunnya untuk masa waktu sampai lima tahun. ”Ketika harga kopra turun, petani tidak lagi mampu membayar hutang-hutang beserta bunganya,” tulis Wahyono.

Kebiasaan buruk ini terjadi terus menerus. Akibatnya, banyak tanah yang diambil alih oleh para kreditor untuk pembayaran hutang-hutang. Ini terutama terjadi di wilayah Tonsea, di mana penduduknya dikenal konsumtif. Tidak ada data pasti mengenai jumlah total hutang petani kelapa Minahasa di masa itu. Namun, ada sumber yang memperkirakan, hutang petani kelapa kepada para kreditor berkisar 2 sampai 5 juta gulden.

Depresi besar yang terjadi di Amerika mulai tahun 1929, yang kemudian berlanjut beberapa waktu lamanya sangat berpengaruh hingga di Minahasa. Pasar kopra dunia menjadi lesuh. Masyarakat Minahasa yang menikmati kemakmuran kejayaan harga kopra sebelumnya, tiba-tiba dikejutkan dengan anjloknya komoditi itu. Banyak petani kelapa yang tidak bisa membayar hutangnya kepada para kreditor.

Di masa krisis awal krisis yaitu tahun 1929, harga kopra di Manado turun antara 15 sampai 25 sen per Kg. Di tahun 1938 anjlok, menjadi 13 sen per Kg. Namun, menurut, Hanley, saat itu, penduduk Minahasa masih mampu mengatasi depresi dengan cara mengurangi jumlah pekerja dari Sanger yang digaji untuk memanen kelapa. Selain itu, rakyat Minahasa mulai kembali mengkonsumsi lebih banyak bahan makanan lokal daripada beras impor. Cara-cara ini mampu mengatasi resiko kekurangan makanan. Pemerintah di masa itu juga membuat program yang  membebaskan para petani kopra dari hutang mereka yang semakin menumpuk.

Tapi, cara ini tidak terlalu berhasil. Terutama di Tonsea, banyak petani kelapa yang harus merelakan tanahnya disita oleh para kreditor akibat hutang yang tak mampu dilunasi. Di harian Fikiran yang terbit di Minahasa sering memuat iklan lelang tanah-tanah yang dibeslah dari debitur oleh kreditur. Pada edisi 30 Juli 1932, misalnya hari Fikiran memuat iklan yang berbunyi begini:
”Lelang:1.      Satu kebun kelapa di Tonsea luas 10 bau denan 750 pohon kelapa berbuah
2.      Satu kuintal dengan rumah
3.      Satu kebun di Teteaga luas 60 tektek dengan 60 pohon kelapa berbuah
4.      Satu kebun di Kajawu, Kokolah luas 8 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
5.      Satu kebun di Likupang luas 6 tektek dengan 250 pohon kelapa (ada yang berbuah dan ada yang belum)
6.      Satu kebun di Likupang luas 3 tektek dengan 50 pohon berbuah
7.      Satu kebun di Kokoleh  Kaki luas 6 tektek dengan 300 pohon kelapa berbuah
8.      Satu kebun di Minewanua, luas 3 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
9.      Satu di Minawanua, Kokoleh luas 8 tektek dengan 80 pohon kelapa berbuah
10.  Satu kebun di Kokoleh Kaki luas 6 tektek dengan 70 pohon kelapa berbuah
11.  Satu kebun di Kenari, Baru luas ¼ tektek dengan 10 pohon kelapa berbuah
12.  Satu kebun di Tomi-tomi, Baru, luas ½ tektek dengan 20 pohon kelapa berbuah
Kuintal dan kebun-kebun itu dijual dengan tanaman di dalamnya dan sudah dibeslah menurut kekuatan surat hutang (obligasi) dari Frederik Anah yang tinggal di Batu Tonsea. Eksekusi ini atas permintaan firma Hiap Hong di Manadi, dilakukan oleh Mr. M.R. Rinkel, advocast dan procureur Raad Justitie Makasar”
 
Untuk mengatasi hutang dari pedagang perantara terhadap petani, pemerintah mengeluarkan peraturan kontrak baru yang tertuang dalam Copracontrakten Verordening Manado (Staatsblad 1939, No. 93). Dalam kontrak tersebut diatur syarat kepada para pedagang perantara yang melakukan kontrak dengan petani. Sebaliknya, hak pedagang perantara juga mendapatkan perlindungan.

Pasar kopra dunia lesuh akibat krisis ekonomi global. Dengan demikian berarti pendapatan petani kelapa ikut turun. Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Maka, mau tidak mau, petani kelapa Minahasa mencari bentuk produksi lain yang berbasis kelapa. Dan, itu adalah sabun.

Mengutip J.H.R. Broeder dalam tulisannya “De Inheemsche Zeepindustrie in de Minahasa,” yang dimuat di Economisch Weekblad, 23 Februari 1943, Wahyono mencatat, di tahun 1930 sabun yang diimpor dari Inggris dan China sebanyak 987272 kg. Sabun impor nanti mulai menurun ketika mulai terjadi depresi besar. Menyusul berdirinya pabrik-pabrik sabun lokal untuk memenuhi kebutuhan sabun masyarakat Minahasa. Tahun 1933 sabun yang diimpor turun menjadi 60776 kg. Padahal kebutuhan sabun semakin meningkat.

Di tahun 1931, sudah berdiri pabrik sabun di Minahasa. Pabrik ini lebih dulu ada dari pabrik minyak kelapa. ”Industri sabun merupakan dewa penyelamat bagi petani kelapa setelah harga kopra mengalami kemerosotan akibat depresi,” tulis Wahyono.

Di tahun 1930-1933, negara pemasok sabun terutama di Minahasa adalah dari Inggris Raya. Menyusul kemudian China. Meskipun sebenarnya, menurut Wahyono, China hanya bertindak sebagai pengekspor, produsennya tetap adalah pabrik-pabrik yang sama di Inggris. Seperti Lever Bross, Gossage, Grossgfield. Namun, karena perbedaan valuta dan ongkos angkut ke Manado, dalam banyak hal impor dari China yang lebih menguntungkan ketimbang dari Inggris langsung.

Di selang tahun 1930 sampai 1933 itu, angka impor Sabun dari Inggris dan China terus mengalami penurunan akibat depresi ekonomi global di masa itu.  Produksi sabun di Minahasa sangat dimungkinkan karena bahan mentahnya, yaitu kelapa banyak terdapat di daerah ini. Sebelum berdiri pabrik minyak kelapa, rakyat Minahasa memproduksi sendiri-sendiri minyak kelapanya. Waktu itu hanya kopra yang diekspor. Minyak kelapa terutama digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya untuk masak dan bahan bakar lampu minyak.

Pabrik sabun di Minahasa di masa itu, antara lain terdapat di Sonder. Nama pabriknya Schilstra. Pabrik sabun lainnya terdapat di Wuwuk yang dikelolah dengan sistem koperasi. Pemimpinnya seorang yang bernama Lumy. Bahan mentah minyak kelapa di pabrik sabun ini diperoleh dari produksi minyak kelapa penduduk setempat. Di Manado terdapat dua pabrik sabun milik orang keturunan China yang bernama Tan Kok Tjeng dan Nam Siong.

Tonsea, meski sebagai penghasil utama kelapa dan mengkonsumsi sabun dalam skala besar karena kepadatan penduduknya, tapi pabrik sabunnya nanti dimulai tahun 1934. Pabriknya berdiri di Airmadidi.

Menurut Wahyono, pada awalnya, kualitas sabun yang dihasilkan orang Minahasa tidak terlalu baik dibandingkan dengan sabun impor. Tapi, pabrik-pabrik lokal terus menerus berusaha memperbaiki kualitasnya. Hal ini, antara lain disebabkan oleh tuntutan konsumen yang kian meningkat. Pada masa itu, menurut Wahyono, ”Masyarakat Minahasa sendiri sudah tidak lagi memilih sabun kualitas impor karena merosotnya harga kopra yang telah membuat sulitnya peredaran uang di wilayahnya.” Faktor lain yang membuat sabun produk lokal laku di pasaran karena harga sabun lokal lebih murah terjangkau oleh daya beli masyarakat. 

Menangnya sabun lokal di pasaran Minahasa membuat agen-agen sabun impor terdesak. Pedagang perantara dan firma-firma Eropa yang tidak lagi memiliki agen sabun impor menjadi tertarik untuk memasarkan sabun lokal yang memang laku di pasaran. Pemasaran sabun akhirnya tidak lagi dimonopoli perusahaan-perusahaan impor, tetapi telah menjadi milik bersama masyarakat Minahasa.  Setidaknya, sabun menjadi penyelamat sebagian nasib petani kelapa di Minahasa di masa depresi ekonomi global di era tahun 1930-an itu.

Ini tentu secuil kisah petani kelapa di Minahasa di tengah depresi besar tahun 1930-an. Kisah yang lain adalah ratapan kebangkrutan dan kemiskinan akibat hutang yang menumpuk dan salah urus yang dialami sebagian petani kelapa Minahasa. Merekalah yang di saat harga kopra berjaya lebih memilih berpesta pora dan bergaya dengan mobil baru. Namun, di saat harga kopra anjlok diterjang depresi ekonomi global, mereka hanya bisa menangis di tengah ”kuburan mobil.”  
                                   
Hampir dua dekade kemudian, di tahun 1957 muncul pemberotakan Permesta. Permesta dideklarasikan di Makassar – sebuah kota pelabuhan besar waktu itu – pada 2 Maret 1957. Pada tanggal 8 sampai 2 Mei 1957 diadakan Kongres Bhinekka Tunggal Ika. Kongres ini dilaksanakan untuk  untuk memenuhi Piagam Permesta. Ketua panitianya Henk Rondonuwu. Kongres ini dihadiri sekitar 1500 orang. Mereka perwakilan dari 30 kabupaten se-Indonesia Timur, para anggota DPP Permesta, wakil-wakil daerah di DPR (di Jakarta) dan Konstituante (di Bandung). Presiden dan Wakil Presiden juga diundang. Tapi mereka tidak hadir.

Menarik. Salah satu rancangan pembangunan yang dirumuskan dalam kongres itu adalah pendirian pabrik sabun dan minyak kelapa. Rancangan ini disebutkan bertujuan untuk menggerakkan industri rakyat. Sayang, pabrik sabun belum berdiri, tentara-tentara Permesta sudah harus berperang dengan tentara pusat. Maka terjadilah pergolakan Permesta. Barbara Harvey, peneliti sejarah Permesta mengatakan, salah satu pemicunya adalah keadaan ekonomi rakyat Minahasa yang lemah. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi, yaitu monopoli pusat dalam pembelian dan perdagangan kopra Minahasa.



Selasa, 20 Desember 2011

Warisan Nahkoda Pertama

|0 komentar
Sebagai "nahkoda", dia tahu pentingnya laut bagi negara kepulauan Indonesia.

DULU Inggris dikenal sebagai “Raja Laut”. Armadanya begitu superior. Saking luas wilayah kekuasaannya, tak heran bila muncul semboyan “Inggris, negara di mana matahari tidak pernah terbit dan tenggelam.” Mereka sadar bahwa hanya dengan memanfaatkan kondisi geografis (laut) semaksimal mungkin plus kerja keras, kejayaan bisa diraih.

Berabad-abad silam kerajaan-kerajaan di Nusantara juga menyadari pentingnya laut sebagai penghubung dengan wilayah-wilayah lain. Laut juga membuka cakrawala pemikiran mereka. Informasi dan ilmu pengetahuan dari dunia luar, atau sebaliknya, masuk melalui laut. Kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Makassar, Ternate, Tidore, Samudera Pasai, atau Demak, misalnya, tak lepas dari pemahaman mereka akan laut.

Namun, seiring tenggelamnya kerajaan-kerajaan maritim, budaya maritim seakan sirna. Fokus perhatian beralih ke daratan, hingga kini. Laut terabaikan. Padahal, “jika berbicara tentang sejarah Nusantara, mau tak mau aspek kelautan patut diperhatikan,” tulis AB Lapian dalam naskah pidato pengukuhan guru besar luar biasanya, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, di Universitas Indonesia pada 4 Maret 1992.

Tanpa memperhatikan aspek maritim, lanjutnya, sejarah Nusantara hanya berkisar pada pulau yang terpisah-pisah. “Dengan demikian ada bagian yang besar dari pengalaman dan kegiatan penduduk Nusantara di masa lampau yang lolos dari pengamatan dan penelitian sejarawan bangsa kita,” tulis Lapian dalam Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.

Adrian Bernard Lapian lahir di Tegal, 1 September 1929. Dia putra sulung di antara enam anak dari pasangan Bernard Wilhelm (BW) Lapian dan Maria Adriana Pangkey. Ayahnya, BW Lapian, adalah anggota Minahasaraad (Dewan Minahasa), mewakili distrik kelahirannya, Kawangkoan. Pada 1938 dewan ini mengangkatnya sebagai anggota Volksraad. Ayahnya pernah menjadi kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara/Tengah hingga pejabat (acting) gubernur Provinsi Sulawesi yang berkedudukan di Makassar. BW Lapian dikenal sebagai pejuang Minahasa, sehingga mendapat pengakuan pemerintah sebagai pahlawan nasional.

Lapian kecil punya mimpi untuk pergi berlayar ke Jawa. Ketika sekolah dasar, di Tomohon, dia digigit anjing. Jika anjing rabies, pasien harus dibawa ke Institut Pasteur di Bandung, satu-satunya yang memiliki serum antirabies. Lapian berharap anjingnya rabies. Tapi dia kecewa. Anjing itu dinyatakan sehat. Mimpi berlayar pun sirna. Ketika bersekolah di Louwerierschool, setingkat Hollands Indische School (HIS) atau sekolah berbahasa Belanda (tujuh tahun) untuk penduduk bumiputera, mimpi itu mengembang kembali, jika lulus dengan baik. Tapi Jepang keburu datang.

Pada akhirnya, Lapian berlayar juga. Pernah menjadi wartawan Indonesian Observer, antara lain meliput Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Lapian akhirnya menghabiskan hidupnya di dunia akademik. Lulus dari Universitas Indonesia, Lapian menjadi dosen tidak tetap di Universtitas Gadjah Mada, IKIP Yogyakarta, dan Universitas Sam Ratulangi. Dia juga bekerja di Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim Markas Besar Angkatan Laut –pada 1965 dia menjadi kepalanya. Selama bekerja di sini dia ikut dalam beberapa operasi pelayaran. Di sinilah, “…setapak demi setapak berkembang keyakinan, bahwa sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan sebidang laut di sekelilingnya, harus memiliki segala syarat yang diperlukan untuk menjadi negara maritim yang bermartabat,” tulis Lapian, “Berlayar dan Bermimpi” dalam antologi Guru-Guru Keluhuran karya St. Sularto.

Saat itu sejarah maritim merupakan bidang baru yang kurang populer. Beberapa teman menyarankannya agar mengalihkan ke bidang lain. Tapi, sekali layar terkembang, pantang surut berpulang. Lapian tetap pada pilihannya. Bahkan dia kian aktif mengarungi samudera ilmu sejarah maritim Nusantara. Karya pertamanya berjudul “Beberapa Tjatatan Mengenai Djalan Dagang Maritim ke Maluku Sebelum Abad XVI” dimuat Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (MISI) tahun 1965.

Magnum opus Lapian berjudul Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, lahir pada 1987. Karya ini merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Gadjah Mada. Promotornya, begawan sejarah Sartono Kartodirdjo, memuji disertasi itu.

“Dengan disertasinya tersebut… AB Lapian sekaligus membuka dua lembaran baru, yaitu sejarah maritim dan sejarah kawasan,” tulis Susanto Zuhdi dan Edy Sedyawati dalam pengantar Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian.

Dalam disertasi itu, Lapian memaparkan peran penting orang laut, bajak laut, dan raja laut di perairan Sulawesi dalam kaitannya dengan sistem perairan yang lebih luas (Nusantara). Bukan hanya aspek politik dan ekonomi. Aspek budaya dan psikologis turut membentuk dan dibentuk satuan bahari tersebut. Sampai batas tertentu Laut Sulawesi juga menjadi pemain dalam jaringan global; terpengaruh dan mempengaruhi fenomena di luar dirinya.

“Studi ini kiranya dapat merupakan usaha awal untuk mendekati dan mempelajari kawasan ini secara menyeluruh,” tulis Lapian dalam disertasinya.

Dalam koridor sistem bahari, fenomena bajak laut jelas tak bisa dikesampingkan. Konsep bajak laut di Nusantara, menurut Lapian, tak selalu bisa disepadankan dengan konsep pirate (Inggris dan Prancis), piraat atau zeerover (Belanda), atau pirata (Italia, Spanyol, dan Portugis). Di Nusantara, seringkali bajak laut mendapat dukungan dari masyarakat pesisir. Mereka dianggap pahlawan yang menyelamatkan masyarakat dari gangguan luar. Dan dalam praktiknya, batasan antara bajak laut, orang laut, dan raja laut sangatlah tipis. Seringkali, orang laut sekaligus berperan sebagai bajak laut, atau bajak laut naik jadi raja laut atau sebaliknya. Yang pasti, ketiganya memainkan peranan penting di perairan di Sulawesi, bahkan Asia Tenggara.

Disertasi itu, juga karya-karya Lapian lainnya, mengukuhkan reputasinya sebagai begawan sejarah maritim. Tak berlebihan bila sejarawan Malaysia Shaharil Talib, dalam konferensi International Association of Historians of Asia (IAHA) ke-15 di Jakarta pada 1998, menjulukinya “Nahkoda Pertama Sejarawan Maritim di Asia Tenggara”.

Karena keahlian dan dedikasinya, dia memperoleh predikat Ahli Peneliti Utama LIPI dan Sejarawan Utama.

Tak ada nahkoda yang tak singgah. Pun demikian dengan Lapian. Usia jualah yang menghentikan pelayarannya. Tumor otak membuat kemampuannya berkomunikasi dan berbicara terganggu. Meski sempat mendapat perawatan di rumah sakit, jiwanya tak tertolong lagi. AB Lapian menghembuskan nafas terakhir pada 19 Juli lalu.

Selain dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, AB Lapian juga pendidik yang sabar. Di mata Susanto Zuhdi, Lapian “selalu membantu memberikan ide-ide, menunjukkan sumber-sumber, dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata celaan yang membikin gentar peserta didik.”

Lapian meninggalkan warisan berharga tentang betapa pentingnya orientasi kelautan. “Sejak 1957 kita telah menyatakan diri sebagai negara kepulauan, suatu archipelagic state. Kata asal archipelago secara harfiah berarti ‘laut utama’, jadi paradigma harus dibalik. Bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut, melainkan laut utama yang bertaburan dengan banyak pulau –lebih dari 13.000,” tulisnya dalam “Bermimpi dan Berlayar”.

Lapian kemudian mengutip Alfred Thayer Mahan –perwira angkatan laut Amerika Serikat, geostrategist, dan pendidik, yang ide-idenya tentang pentingnya laut mempengaruhi kekuatan angkatan laut di seluruh dunia– bahwa negara yang berpotensi menjadi sebuah kekuatan maritim harus berpenduduk banyak, tapi yang lebih penting lagi adalah jumlah penduduk yang berorientasi ke laut (soft power). Selain itu memiliki hard power dalam bentuk angkatan laut yang tangguh dan armada niaga yang besar –dua hal yang butuh biaya besar sehingga belum bisa direalisasikan Indonesia. “Sebaliknya, untuk mengembangkan soft power, kita secara relatif tidak usah mengeluarkan dana yang besar, bisa mulai dengan mengubah kurikulum sekolah yang mendekatkan generasi mendatang dengan hal ikhwal kemaritiman,” tulis Lapian.

Jika masih meyakini nenek moyang kita orang pelaut, warisan Lapian semestinya mendapat perhatian. Selamat berlayar, Adrian Bernard Lapian. [MF MUKTHI]


tulisan ini dikutip dari http://www.majalah-historia.com/berita-475-warisan-nahkoda-pertama.html, (download, 21 Desember 2011)

Selamat Berlayar Professor A.B. Lapian, ‘Nakhoda Maritim Asia Tenggara’

|0 komentar

Oleh: Achmad Sunjayadi

“Bagus,” jawab pria itu sambil tersenyum ketika saya mengutarakan niat ingin meneliti zeerovers (bajak laut) yang tercantum dalam Dagh Register milik VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). “Apalagi jika saudara bisa membaca sumber-sumber lain dari bahasa aslinya. Saya sendiri hanya membaca sumber sekunder,” sambungnya lagi dengan nada merendah. Saya tidak yakin dengan kata-katanya mengingat pria itu adalah seorang guru besar yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis dan Portugis. Pria itu adalah Professor A.B. Lapian. Disertasinya yang berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX dipuji oleh Professor Sartono Kartodirdjo sebagai karya cemerlang. “Only the best is good enough”, tulis Professor Sartono Kartodirdjo yang juga menjadi promotor Lapian.

Ketika itu saya baru pulang dari Belanda dan mendapatkan banyak bahan mengenai bajak laut sehingga tertarik untuk menelitinya. Sebelum kembali ke Makassar, JJ Rizal mengajak saya menghadiri seminar mengenai VOC dan Indonesia di Jakarta. Sebelumnya ketika masih di Belanda, Professor Blusse dari Universiteit Leiden di ruang kantornya mengatakan bahwa dia akan ke Jakarta menghadiri sebuah seminar. Rupanya seminar itu yang dia maksud.

Usai pertemuan dengan Professor A.B. Lapian inilah yang menumbuhkan niat saya untuk kembali ke kampus dan menekuni sejarah. Namun, rupanya saya tak sempat menimba ilmu dari beliau secara langsung. Saya hanya berkesempatan ‘berdialog’ melalui karya-karyanya dalam bentuk artikel di berbagai buku dan kumpulan artikel yang belum dibukukan.

Karya-karya beliau memang luar biasa. Professor Lapian tidak hanya membahas sejarah maritim (pelayaran) yang menjadi magnum opusnya, revolusi kemerdekaan hingga meletusnya gunung Krakatau dan Tambora pun beliau angkat menjadi tulisan menarik.

Pertemuan berikutnya terjadi di Metromini 640, jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu. Dengan baju kemeja putih lengan pendek dan tas hitam, sosoknya tampak masih segar dan kuat. Kami hanya mengangguk. Beliau duduk di bagian depan, saya di belakang. Ketika itu saya baru pulang mengajar di Erasmus Taalcentrum di Kuningan. Memang, seperti Onghokham, Professor A.B. Lapian ini lebih suka naik transportasi umum. Ketika hendak turun di perempatan yang menuju arah Universitas Nasional, Professor A.B. Lapian sempat menengok ke arah saya sambil menganggukkan kepala dan tersenyum. Saya balas anggukannya sambil merasa heran apakah beliau masih ingat seorang anak muda kurus yang sok tahu ingin meneliti bajak laut masa VOC (Wallahu alam)

Hari Selasa, 19 Juli 2011, Professor A.B. Lapian ‘Nakhoda Sejarah Maritim Asia Tenggara’ yang pada 5 Juli 2011 lalu dianugerahi gelar Sejarawan Utama telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya namun tidak dengan karya-karya dan jasa-jasanya. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Namun, ‘kapal’ harus terus berlayar.

Cot di Bukit Tareran

|0 komentar
Gambar diambil dari http://www.talumewo.8m.com/permesta/tritunggal_Permesta.html


Cerpen Karya Greenhill Weol, sastrawan, director Mawale Cultural Center

Semuanya siap di posisi. Semua larut dalam ketegangan masing-masing. Semua diam. Hanya raung rie-rie di kejauhan yang sekali-kali naik-turun mengusik peka telinga. Semua mata mengarah ke tikungan jalan. Laras-laras juga menujuk ke arah itu. Senjata-sejata sudah dikokang sejak setengah jam lalu, semenjak scout terakhir kami kembali dengan terengah-engah dengan laporan “Tentara Pusat sudah hampir melewati Wuwuk! Lima belas menit lagi giliran kita”. Kulirik jam tanganku. Pukul tiga lewat lima. Ini terlalu lama, pikirku. Seharusnya mereka sudah di sini seperempat jam lalu. Pasukan kami yang di tempatkan di desa sebelah tidak seberapa jumlah dan persenjataanya, hanya lsekitar sepuluh orang, lima tentara regular dan sisanya anak-anak sekolah lanjutan yang diberi senjata. Tidak mungkin mereka bisa bertahan terlalu lama melawan lapis baja. Lagipula letusan senjata sudah tak menggema lagi sejak lebih duapuluh menit. Mereka bertugas hanya untuk memperlambat gerak musuh agar kami bisa bersiap lebih lama lagi, bisa membuat pertahanan yang lebih sulit di penetrasi. Aku tak tau berapa lama kami juga bisa bertahan namun setidaknya sekarang ada delapan belas tentara terlatih lengakap semi otomatik, sekitar sepuluh laskar rakyat dengan bedil dan satu pom-pom mengawal cot ujung kampung Rumoong Atas.

“Komandan, dinamit di jembatan Tunan sudah selesai dipasang” sebuah suara berbisik pelan. Lima orang tentara bergerak hati-hati ke depan. Dua kearah pekuburan seberang jalan tepat di bawah cot, tiga menganbil posisi di semak depan. Jembatan bikinan Belanda walaupun tua perlu perlu penanganan khusus, salah penempatan peledak, bergeming pun tidak. Jembatan Pineleng contohnya, karena tak cermat diledakkan Cuma hancur sebagian. Hanya setengah hari diperlukan tentara Pusat untuk merekonstruksinya. Sungai tunan bertempat di ujung sebelah kampung ini. Jembatan di atasnya peninggalan kolonial. Pasukan Karundeng memasang peledak di sana hampir dua jam. Dia memang ahlinya. Pensiunan KNIL ini sudah meledakkan hampir sepuluh jembatan. Kelima orang anggota regunya juga tentara terlatih. Mereka anggota pasukan Ular Hitam yang dulunya bertugas di wilayah pantai Bolaang Uki, yang bertugas menjemput dan mengawal kiriman senjata dari Tawao. Setelah Kotamobagu jatuh, mereka ditarik mudur dan bergabung ketitik-titik pertahanan kami di selatan. “Jangan jauh-jauh dariku”, aku menanhannya pada waktu ia hendak merayap maju ke parit di depan.

Tentara Pusat datang dari arah bawah, arah Tumpaan, dengan kekuatan dua tank dan dua panzer, serta satu truk dan infantri yang jumlahnya kami tak tau pasti. Setelah sebulan mulai memborbardir Amurang, seminggu lalu mereka berhasil mendaratkan pasukan dan merebutnya, dan sekarang moncong senjata mereka mulai diarahkan ke pedalaman. Mereka mulai menjelajah ke atas. Bukit Tareran adalah wilayah pembatas antara pesisir pantai dan pegunungan. Dari arah selatan, di tempat inilah pertahanan terdepan kami, “Orang Gunung”, sebagai last line of defence. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, dikala Malesung bersengketa dengan Mongondouw, tempat ini sudah melegenda sebagai tempat pembantaian serdadu-serdadu musuh. Bahkan konon, Bukit Tareran adalah jelmaan dari tumpukan jasad pasukan Mongondouw yang jatuh korban. Kami hanya bertahan.

Musuh tak pernah melewati garis ini. Pasukan gabungan walak-walak se- Minahasa selalu mampu mempertahankan batas. Tetapi itu dulu. Sekarang, ceritanya lain. Tidak ada tentara gabungan. Aku telah meradio Kawangkoan minta tambahan pasukan, namun katanya cadangan sudah dikirim ke Tondano. Pasukan disana lagi kewalahan menangkis gempuran musuh dari dua titik sekaligus, dari arah Tonsea Lama dan dari Tomohon. Andai saja si Mongdong tidak menyerah segampang itu, mungkin Pusat masih sejauh Tinoor dan akan ada pesediaan tenaga untuk menjaga front selatan. Utusan yang kukirin ke Motoling pun sampai detik ini belum kembali. Kabarnya disana keadaan lagi genting-gentingnya. Pusat beusaha untuk memotong garis komunikasi dan aliran logistik pasukan kami yang bergerilya di hutan-hutan Mongondow dengan menguasai selatan Minahasa. Dengan begitu mereka mengisolasi wilayah PERMESTA menjadi hanya di dataran tinggi. Jadi, dengan kekuatan yang tak lebih dari tiga regu dan persediaan amunisi yang terbatas, kami kelihatannya harus benar-benar memberikan semua yang kami punya. Sejak dua hari lalu parit-parit pertahanan telah digali. Jalan diblokir dengan drum-drum bekas dan sebuah bis tua. Cot dibentengi dengan karung-karung pasir. Sayang, kami tidak punya ranjau darat. Jika punya berapa unit saja kami... “Mereka tiba!” seru seorang tentara di parit terdepan membuyar lamunanku. Benar. Sayup-sayup suara derit rantai dan gir mulai terdengar. Semua kelihatan menahan napas...

PEMUDA MINAHASA DAN PERUBAHAN ZAMAN

|0 komentar
Berdiskusi, salah satu kegiatan orang muda Minahasa hari ini

Oleh: Fredy Sr. Wowor, Sastrawan, Pekerja Teater dan Dosen Tetap Fakultas Sastra UNSRAT

Salah satu masalah mendasar yang kerap kali menghantui kaum muda minahasa adalah masalah kepercayaan diri. Masalah kepercayaan diri ini, menurutku terkait sekali dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh para penguasa dari setiap zaman di sepanjang lintasan sejarah orang Minahasa.

Pada zaman kompeni-hindia belanda misalnya, kita disebut sebagai orang-orang alifuru yang berarti orang-orang yang tidak beradab. Usaha pembentukan citra kita sebagai orang yang tidak beradab terutama dilakukan dengan mengeksploitasi leluri-leluri atau kisah-kisah masa lalu kita terutama yang terkait dengan soal asal usul yaitu kisah Lumimuut dan Toar. Kisah Lumimuut dan Toar sebagai persetubuhan antara ibu dan anak yang semula hanya merupakan salah satu versi dari sekian versi yang ada di dalam leluri-leluri para walian di seluruh wilayah Malesung kemudian ditetapkan oleh para ahli dari eropa sebagai versi yang dominan. Hal ini jelas tidak bisa dilepaskan dari politik kebudayaan kaum orientalis yang senantiasa menetapkan bahwa barat beradab dan timur tidak beradab, barat paling maju dan timur paling terbelakang. Politik kebudayaan yang senantiasa menempatkan segala hal pada posisi oposisi biner. Wacana yang memang menjadi landasan dari politik imperialisme.

Pada zaman awal kemerdekaan, orang minahasa disebut sebagai antek-antek atau kaki tangan penjajah. Orang-orang yang makan roti belanda. Citra ini dibangun dengan landasan pemikiran bahwa selama masa penjajahan Belanda, orang minahasa menikmati status lebih dibandingkan bangsa-bangsa lain di masa itu. Hal ini dibuktikan dengan melihat banyaknya orang minahasa yang terpelajar dan kemudian menjadi pegawai di kantor-kantor milik pemerintah atau menjadi tentara. Kedudukan-kedudukan ini menempatkan orang minahasa secara ekonomi lebih mampu.
Pada era pemerintahan orde lama dan orde baru, orang minahasa juga mendapat status baru sebagai kaum pengkhianat. Ini terkait dengan peristiwa piagam Permesta yang telah mengakibatkan peperangan dan korban baik manusia maupun materi. Politik pencitraan dimasa ini sangat terkait dengan usaha sistematis untuk membatasi peran orang minahasa di bidang sipil dan militer.

Pertanyaan kemudian yang bisa dimunculkan adalah mengapa harus ada usaha-usaha pembunuhan karakter terhadap orang minahasa dan bagaimana sebenarnya perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman ?

Menurutku, adanya usaha-usaha pembunuhan karakter ini justru sangat terkait dengan kehadiran kaum muda. Munculnya generasi baru di setiap zaman berarti munculnya motor penggerak perubahan dari sebuah zaman yang baru. Munculnya generasi baru sangat menentukan kemajuan dan masa depan Minahasa, untuk itulah maka generasi baru ini harus dibuat kehilangan jati dirinya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan rasa percaya dirinya. Sebab generasi yang telah kehilangan rasa percaya dirinya akan senantiasa hidup dalam kebimbangan dan tidak bisa lagi menentukan sikap. Ia akan selalu ikut arus tidak perduli arus itu akan membawanya ke dalam jeram kehancuran.

Adapun perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman adalah sebagai berikut:
Pada zaman colonial, kaum muda minahasa banyak yang menjadi guru dan sangat berperan dalam proses pendidikan di seluruh wilayah nusantara. Dalam perkembangan kemudian, kaum intelektual yang dengan sadar mengambil kelebihan dari pengetahuan barat ini menjadi pelopor ideologis maupun praktis bagi perjuangan melawan penjajahan colonial belanda. Kita bisa menyebut antara lain, Ward Kalengkongan, ahli budaya yang kemudian menjadi sahabat dekat dan guru ideology dari Douwes Dekker Tokoh Nasionalis pendiri Indische Partij yang menuntut Hindia diperintah oleh Orang Hindia – Indie voor de Indier. F.D.J Pangemanann, pengarang dan pelopor pers, J.H. Pangemanan, pelopor pers dan pendiri Rukun Minahasa di Semarang. Sam Ratulangi, pelopor pers, futurolog. Ketua indische vereniging (Perhimpunan Indonesia). Arnold Mononutu, wakil Perhimpunan Indonesia di Prancis.

Pada zaman kemerdekaan, kita bisa menyebut antara lain J.F Malonda, sastrawan dan filsuf, penulis buku Membuka Tudung Filsafat Purba Minahasa. Giroth Wuntu, penulis roman Perang Tondano, H.M Taulu, penulis sejarah Minahasa dan Kisah pingkan Matindas (Bintang Minahasa), Jappy Tambayong (Remi Silado) Seniman serba bisa
Pelopor puisi Mbeling. Benni Matindas, penulis karya filsafat setebal seribuan halaman berjudul Negara Sebenarnya. Harry Kawilarang, wartawan dan penulis buku tentang terorisme internasional.

Pada penghujung era Orde Baru juga muncul gerakan budaya melalui kegiatan sastra,teater dan musik melalui Teater Kronis Manado, KONTRA, dan Teater Ungu. Gerakan budaya ini kemudian bermuara pada apa yang sekarang dikenal sebagai Mawale Movement : Gerakan Membangun Tempat Tinggal. Gerakan yang bertolak dari penulisan karya sastra berbahasa Melayu-Manado dan juga bahasa minahasa, eksperimentasi teater dan musikalisasi puisi serta pembangunan basis dan jaringan kebudayaan di seluruh Sulawesi Utara lebih khusus lagi Minahasa, Minahasa Selatan Minahasa Utara, Tomohon dan Minahasa Tenggara.

Apa yang bisa dijadikan permenungan dari kisah kaum muda Minahasa dari zaman dahulu sampai zaman sekarang adalah semangat untuk senantiasa menuntut pengetahuan yang lebih maju dan sikap kritis serta semangat kepeloporan untuk melakukan perubahan. Si Tou Timou Tumou Tou.


Rabu, 14 Desember 2011

Puisi-puisi Benni E. Matindas

|0 komentar
DI BALIK BUKIT-BUKIT

di balik bukit-bukit sana
telah lahir.

bergegas.
coba memahami ketakpahammu
atau, ya, pergi saja
ke bagian paling keras dari biji syakwasangka,
sekiranya noktah khianat sukar tanggal dari retina,
baca keras-keras tentang hakmu
lalu teriakkan lagi
kita jauh lebih berdaya dari pagar desa
kita jauh lebih dari urusan cemar, suci, urusan ibadat — bahkan!

di balik bukit-bukit 
urusan kita sedemikian penting,
kecuali itu,
waktu pun sebegitu singkatnya, di palungan Bayi sudah langsung dipalang
dicekik
dipaku diracuni dihunjam tombak

di balik bukit-bukit sana, tebing berlumut
urusan kita: tadahkan lidah
(tak perduli serapah masih membasah sekujur,
atau kita masih pulang dengan kekudusan yang sundal)



MAZMUR JIWA TERGADAI

ada
sepotong sukacita
erat kugenggam.
kita menerkam ia!!
ketika
 sedikit, amat sedikit ia mengintai
dari timbunan bongkah-bongkah harap yang kandas
dari endapan cinta yang berkarat. Dan asing.
dari galaunya undang-undang yang berpacu dengan pelanggaran

(sungguh, malam ini, kita enggan berkisah
tentang korupsi yang nyaris jadi kurikulum wajib sekolah kehidupan
apalagi tentang demokrasi yang diintip lewat lobang laras bedil)

sukacita ini terlalu lemah
lilin nanti tidak lagi berarti Natal
lilin adalah cacimaki ketika listrik mati.
sukacita ini terlalu duka
esok, natal adalah kelemahan yang meronta
yang beramai-ramai kita perkosa!

natal adalah arus dendam
tatkala birahi membentur kehampaan,
atau riangnya bocah piatu bersepatu baru
atau nasi-jaha separoh arang
atau harum lilin terbakar; yang pasti
bukan senggama daging yang dahsyat.

seperti juga yang sudah
dendam itupun kita lanjutkan
di natal nanti
tanpa palungan
tanpa gembala
tanpa nyanyian malaikat
tanpa emas tanpa kemenyan tanpa mur tanpa
do’a

tanpa Bayi Yesus

malah tanpa jiwa kita sendiri
kerna Bayi Yesus adalah Surat Gadai bagi jiwa-
jiwa kita yang meregang bisu
menuntut penebusan



KEPADA IBU MARIA

malam ini Bunda tampaknya gundah
Yesus tidak minta
untuk kita memperingati kembali kelahiranNya
namun
memperingatkan kita untuk dilahirkan kembali dalamNya.

ada yang terlepas dari sana. Entah apa
ada yang terkelupas dari sini. Damai
ada yang datang membelenggu. Hidup
ada yang menguap dan sirna. Hidup
ada yang jauh tertinggal
ada yang mengepung!

helai-helai daun putih kini robek, Bunda
darah ‘lah jadi lambang kemenangan
abortus menjadi ijazah kehidupan
buah, bahkan ularnya, sudah ditelan manusia

wajah Anak Domba rusak tertimbun di sampah
letih, dan berdarah
jari-jemari bergerak lemah
sesekali terhenti,
diam
ketika kita kembali membuang ampas-
ampas sampah
di situ.
Eli, Eli, lama sabakhtani



KISAH SIKLUS SINTERKLAS

rombongan Sinterklas tiba.
di mulut lorong kanak-kanak bertempiar ketakutan
tapi nyatanya berjingkrak riang, “Klas! Klas…!!”
bahkan berlarian buntuti mobil Sinterklas.

seperti tahun-tahun yang sudah,
Sinterklas memang hanya datang untuk rumah pagar tembok tinggi putih,
tunggu di luar bocah-bocah telanjang kaki
telanjang jiwa
membayangkan: kado besar bergambar kucing,
                               anak orang kaya dielus Sinterklas,
                               dipotret bersama,
                               nyanyi sahut-sahutan.

gadis kecil pulang timpang
kakinya luka tersandung saat dihalau Pit Hitam menebar kacang dan gula-gula
gadis kecil sukacita, di saku ada lima kacang dan dua permen
itu cukup buat ia percaya betapa kaya, welas asih, pemberi, dan riangnya, Natal.
malamnya dalam tidur ia membagi kacang ribuan Pit
Hitam kerontang kelaparan di Ethiopia
dan menyisipkan permen hanya ke saku Pit yang sore tadi,
seraya berbisik:
                               “Jika belum kenyang,
                                  jangan kau makan sinterklasmu,
                                    telan saja laparku


(Puisi KISAH SIKLUS SINTERKLAS ini sudah ditambahi beberapa kata sambung pada naskah aslinya agar bersifat balada.)



DI UJUNG KEHADIRAN

derak tanah tanah kering, perahan niat yang
kusam jatuh ke ranggas belukar, muntahan iba yang
angkuh meremas silsilah, leleh syahwat yang
merana
kehilangan getar
beku
mengatup.

—     orang sekampung meluap
dengan parang, arit, sosoroka, dan jerat
bergerak ke setiap jurusan
merampasi setiap tanda-tanda hidup
dengan alasan suci
dan setipis pasti.

serak puing puing arang, bergayut sawang yang
jijik menghadang niat setiap arah,
pagi tekun menyusun muak (tak lupa sisikan jam-jam untuk perang)
malam terhenyak menghitung makna.

—     kekasih,
masih mungkinkah
kita selusuri sepi lorong-
lorong dekat sebuah kandang ternak
untuk Tangis
Kanak-
Kanak


Benni Matindas, pakar filsafat, penulis, dan penyair. Kini tinggal di Jakarta.

Catatan: Puisi-puisi Natal ini ditulis tahun 1979-1985. Pernah terbit dalam buku antologi sajak “Tadah Lidah” (Jakarta: Penerbit Inti Sarana Aksara, 1985). Moga menjadi berkah.

Peluk Cium Buat yang Pergi

|0 komentar
SUASANA di rumah kediaman Gubcrnur Sulawesi Utara, di Bumi Beringin, Manado, kabarnya tegang pada 20 Oktober pagi. Willy Lasut, Gubernur Sul-Ut itu, berkeras tak mau menghadiri upacara serah terima jabatan. "Sebaiknya tidak, karena saya toh tak akan menandatangani naskah serah terima itu," katanya kemudian kepada pembantu TEMPO di Manado.

Mendagri Amirmachmud yang sudah bersiap memimpin upacara itu dan melantik Pj. Gubernur Sul-Ut Brigjen Erman Harirustaman, mencoba membujuk Lasut, tapi gagal. Untung suasana tegang itu mereda ketika Panglima/Laksusda Rudini menghampiri Willy Lasut, memeluknya dan menurut cerita Lasut "menangis". Begitu juga Pangkowilhan III Letjen Leo Lopulisa. Maka berlangsunglah upacara serah terima jabatan itu tanpa Lasut. Amirmachmud berkata kepada hadirin ketidak-hadiran Willy Lasut itu karena sakit. "Memang benar Willy Lasut saya lihat sakit. Saya izinkan untuk tidak hadir dan naskah timbang terima saya lihat sendiri sudah ditandatangani," katanya.

Ruangan sidang utama DPRD Sul-Ut terasa henin. sekalitun hanya lari 40 kursi anggota DPRD yang kosong. Penjagaan tampak ketat di luar gedung. Bahkan 3 hari sebelum upacara itu di Manado dan luar kota nampak keadaan siaga. Selain petugas Brimob dan pasukan ABRI, juga Mahasamra (Resimen Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi) berjaga-jaga. Langsung dipimpin Edu Posumah, komandan Mahasamra, mobil-mobil penumpang umum yang memasuki Manado dari Minahasa digele. Apa yang mereka cari, entahlah.

Tapi dua hari Sebelum Erman diangkat. beredar pamflet "Ganyang Korupsi, Hidup Lasut." Willy Gaius Alexander Lasut memang kabarnya masih penasaran kenapa dia sampai diberhentikan menolak untuk membuat surat permohonan berhenti, seperti dilakukan Brigjen Moenafri, Lasut mengatakan "ingin melihat sendiri tanda tangan Presiden dalam surat keputusan yang asli." Jika ini yang dikehendakinya, ia keliru.

Seorang pejabat tinggi Sekneg, yang mengetahul, menjelaskan setiap Keppres memang ada aslinya. "Tapi itu disimpan dalam lemari besi," katanya. Dan yang bersangkutan hanya mendapat "petikan" yang oleh Sekneg disalin sesuai aslinya, sedang "salinan" disampaikan kepada pihak-pihak yang dianggap perlu. Itu juga berlaku buat Willy Lasut, yang berdasarkan Keppres No. 176/M Tahun 1979, diberhentikan dengan hormat sebagai Gubernur Sul-Ut.

Begitulah palu sudah diketukkan, dan Willy Lasut sudah diberhentikan. Sementara ini dia masih diizinkan tinggal di Bumi Beringin, rumah instansi bagi gubernur dan pejabat penting lainnya di Manado. Ia juga diberi fasilitas menggunakan dua mobil, telepon dan keperluan lainnya. "Tapi saya jua tahu diri, dong. Saya akan segera mencari rumah di Manado karena anak-anak sekolah di sini," katanya. Duda dengan 5 anak dan kakek dari 2 cucu itu juga lagi mencari pekerjaan sekarang. Kembali ke Hankam? Presiden dalam keputusan 176/M itu, antara lain menyebutkan "mengembalikan PATI tersebut ke Departemen Hankam". Tapi kepada TEMPO Lasut yang berusia 53 tahun itu, berkata: "Saya sudah purnawirawan sejak 1 Oktober 1978. Mana hisa kembali ke Hankam?" Kini dia merasa "lega" sudah. Tapi, katanya, "sehagai seorang yang mempunyai rasa tanggungjawab sosial, saya masih mempunyai kemampuan untuk mencurahkan daya tenaga dan pikiran untuk kepentingan umum."

Akan halnya Brigjen Moenafri, Gubernur Sulawesi Tengah yang siang itu juga melakukan serah-terima jabatan dengan Kol. Eddy Djadjang Djajaatmadja, disaksikan Mendagri Amirmachmud, berjalan lancar dan tenang. Penjagaan memang ada, oleh sepasukan Polri dan Hansip. Dan Moenafri, mengenakan stelan jas warna coklat, selesai upacara itu, membalik ke arah hadirin, memberi hormat. Kontan pecah keplok di gedung DPRD Sul-Teng di Palu. Mendagri Amirmachmud sendiri, seusai upacara, memeluk dan mencium Moenafri Tak kelihatan Ny. Moenafri, yang kabarnya lagi sakit di Jakarta. Dibandingkan dengan Willy Lasut, nasib Moenafri agaknya lebih kelihatan dalam waktu dekat ini. "Kemungkinan penugasan lain di bidang non-Hankam buat bekas gubernur Sul-Teng itu nampaknya masih terbuka," kata seorang pejabat tinggi Hankam.

Willy dan Moenafri pergi

|0 komentar
MENDAGRI Amirmachmud akhirnya mengumumkan nasib dua bawahannya: Gubernur Sulawesi Utara Willy Lasut dan Sulawesi Tengah Moenafrie. "Setelah konsultasi dengan Menhankam, saya menghadap Presiden, yang menyetujui menarik kedua gubernur itu," kata Amirmachmud di Bina Graha, selepas menghadap Presiden Sabtu pagi lalu. Mendagri tak memperinci alasannya "tapi Keppresnya sedang dalam proses administrasi minggu ini." Moenafrie sendiri memang sudah menyampaikan surat permintaan berhenti, 22 September lalu.
Sekalipun menganggap kabar penarikannya itu "laksana petir di siang bolong". Tapi Willy Lasut sampai ia diberhentikan belum mengajukan permohonan serupa. "Tapi demi kepentingan pribadi mereka, pembangunan daerah dan kepentingan nasional, keduanya ditarik," kata Amirmachmud. Siapa penggantinya? Feisal Tamin, jurubicara Depdagri, tak mau bilang. Cuma dia tidak membantah ketika disebutkan nama Mayjen Erman Harirustaman, Dirjen Sospol Depdagri sebagai pengganti Lasut. Sedang Eddy Djadjang Djajaatmadja, bekas walikota Jakarta Pusat, akan menjadi Cubernur Sul-Teng. Erman, pernah menjadi Kepala Staf Kodam XIII/Merdeka (1961-1963) ketika Soenandar Prijosudarmo, kini Gubernur Jawa Timur, menjadi Panglima di sala.

Tapi menarik bahwa Erman, setelah menjadi Dirjen paling lama di Depdagri, sejak 1971, akhirnya direlakan juga untuk menjabat daerah yang sering "ramai" cengkeh itu. Adapun Eddy Djadjang, terakhir diperbantukan di Depdagri sebagai Sekjen MAKSI (Musyawarah Antar Kotamadya Seluruh Indonesia) agak di luar dugaan tampil sebagai gubernur baru. Segalanya tampak berjalan cepat. Juga serah-terima jabatan, yang diperkirakan akan berlangsung sebelum 23 Oktober ini juga. Kalau benar, maka keduanya bisa menghadiri pertemuan antar gubernur 23-27 Oktober di Jakarta, sebagai gubernur baru. Yang agaknya disayangkan: penarikan kedua gubernur itu telah berlangsung tanpa konsultasi dengan DPRD setempat. Tapi seperti kata Amirmachmud, "demi kepentingan yang lebih besar, DPRD bisa saja dilewati." Dan menurut Mendagri sengaja tak dikeluarkan penjelasan untuk menjaga kemungkinan timbulnya kegoncangan. Sampai pekan lalu orang di luaran masih saja menduga-duga apa sebab sebcnarnya kedua gubernur itu diganti. Lasut sendiri dilantik menggantikan H.V. Worang 21 Juni tahun lalu.

Ketika Mendagri mengumumkan penarikan kedua gubernur itu, illy Lasut sedang di kampung halamannya, desa Tulap Kecamatan Eris yang kaya cengkeh itu, di plnggir danau Tondano. Dia sempat dekat dengan sanak familinya. Di desa Seretan, dekat Tulap, Willy yang dielu-elukan itu juga bicara di balai desa. Tampaknya ia menggunakan kesempatan terakhirnya sebagai gubernur buat pamitan. Sebelumnya ia keliling daerah, misalnya meninjau jembatan di Manado Utara kemudian menuju Bitung lalu menginap di desa Kapataran yang juga kaya cengkeh di Kabupaten Minahasa. Dua tiga hari setelah pulang ke Manado, Lasut memang turba. Malam-malam ia tampak melihat-lihat Pusat Perbelanjaan Manado. bersandal jepit dengan satafi batik, ia hanya ditemani seorang stafnya. ienin pagi lalu ia masih sempat menghadiri serah terima jabatan kepala RSU "Gunung Wenang" Manado, dari dr. Winsy Warrouw kepada dr. Tandayu. Di beberapa tempat yang ia kunjungi, Lasut hampir selalu membeberkan duduk-soalnya secara terbuka. Bahkan di RSU "Gunung Wenang", ia bicara agak lebih terperinci.

Menurut Lasut, penarikan dirinya bersumber dari "fitnah dan isyu yang secara terus-menerus disebarkan oleh sekelompok kecil di Manado yang kemudian makin berkembang sampai di Jakarta." Fitnah itu meliputi 57 macam, di antaranya "punya isteri gelap, korupsi dan anti Islam." Bahkan katanya lagi, beberapa pejabat tinggi di Jakarta sampai termakan oleh fitnah tersebut. "Tapi what can I do, kalau memang keputusan atasan seperti itu?" ujarnya.

9 TESIS UNTUK GERAKAN MAHASISWA MINAHASA

|0 komentar
Oleh : Fredy Sreudeman Wowor


I

Kelemahan gerakan mahasiswa hari ini adalah terpusatnya control dan isu di dan dari Jakarta (baca : pusat kekuasaan), akibatnya cendrung terjadi manipulasi yang berujung pada dinomorduakannya kepentingan daerah. Hal ini berdampak langsung pada menurunnya posisi tawar mahasiswa dan kepentingan daerah (Sulut-Minahasa). Ini berarti penurunan daya hidup di daerah secara sistematis.
II

Pemusatan gerakan mahasiswa di Jakarta (Pusat Kekuasaan) menjadikan gerakan mahasiswa cendrung terkooptasi kepentingan politik partai yang berebut kekuasaan dan cendrung menjadikan daerah sebagai wilayah komoditi suara dan konflik.
III

Kenyataan situasional ini mengisyaratkan kebutuhan akan adanya gerakan mahasiswa alternatif  yang dapat menembus kebuntuan yang telah menekan daya hidup kita sebagai Tou Minahasa. Mahasiswa Minahasa adalah salah satu bagian dari Tou Minahasa. Mereka adalah kaum intelektual yang berdiri di garda terdepan dalam usaha peningkatan daya hidup Tou Minahasa.

IV
Usaha meningkatkan daya hidup ini, tidak bisa tidak  harus bertumpuh pada keyakinan bahwa tidak ada yang lebih mengerti kebutuhan hidupTou Minahasa selain dari Tou Minahasa itu sendiri.

 V
Dorongan untuk menyerahkan masa  depan Tou Minahasa kepada orang lain sama artinya dengan menyerahkan hidung kita untuk dipasang tali seperti sapi : merelakan diri kita untuk menjadi budak.  

VI

Merelakan diri kita sendiri untuk menjadi budak berarti menolak hakekat hidup kita sebagai manusia khususnya sebagai Tou Minahasa :
PUTE WAYA CITA
TOU PELENG MASUAT
CAWANA SE PARUKUAN
CAWANA SE PAKURUAN
ARTINYA :
(SAMA SAMUA TORANG)
(MANUSIA SETARA SEDERAJAT)
(NDA ADA YANG TORANG MOBASOJA AKANG)
(NDA ADA YANG TORANG MOTAKO AKANG)

VII
Gerakan Mahasiswa Minahasa lahir  sebagai gerakan alternatif  dengan dasar pemikiran bahwa Tou Minahasa Hidup dan Mau Terus Hidup. Tou Minahasa musti hidup sebagaimana harusnya Tou Minahasa --
Tou : Tumo’u To’u

VIII
Gerakan Mahasiswa Minahasa tumbuh  untuk memberi  kembali arti menjadi Tou Minahasa bahwa kita berhak menentukan cara mengolah tana dimana kita hidup dan kita juga berhak untuk menentukan masa depan dari kehidupan kita.

IX
Peran dari Gerakan Mahasiswa Minahasa adalah memberikan gagasan dan menjadi pelopor atau pembuka jalan dalam penentuan masa depan dari kehidupan ini. 

Menuju termonologi baru

|0 komentar
CATATAN KEMERDEKAAN:
Menuju termonologi baru

Oleh
Daniel Kaligis


SEORANG kawan nasionalis pernah mengirim “kibar merah-putih” lewat jejaring sosial setahun silam; Lambang negara tercabik di atas tumpukan sampah kota besar, di sana modernisme memutar roda-roda gila kehidupan bersama asap knalpot serta dentang logam pembangunanisme, industrialiasi, juga keraguan. “Untuk sebuah kemegahan,” dengus nafas memacu neuron-neuron yang bersuara via produktivitas dan efisiensi.


Kibar itu, memaki kemiskinan; sekian masa pertontonkan kekumuhan. Tampak cabik, berdebu dan pengap; Di situ seakan hadir aroma lumpur selokan, tajam menusuk hidung. Lumut dan jamur  menjalari sekeliling sampah yang sekian lama tak dibereskan. Bau itu ‘mungkin saja’ mengapung bila hujan datang mengguyur; lainnya hanyut jauh, sisanya kering krontang bersama berkas-berkas hari terik. Cakrawala ibu negara kita terbakar, matahari politik.


Kenangan lama kembali; basah di benak, pengalaman masa lalu. Hitung masa edar yang sudah berulang puluhan kali. Di dapur berlantai tanah persiapan itu dimulai. Sarapan sesudah membasuh badan kerempeng. Nasi mengepul dari belanga yang masih berada dekat perapian, berpindah ke atas piring; lauk sisa semalam, teri goreng dengan saus pedas, disendok ke atas nasi yang masih hangat. Lemak tidur menjingga itu meleleh, aromanya membuat lapar menjadi lengkap. Smokol, supaya siap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa di tiap Agustus, ada upacara dan berbagai atraksi di ibukota kecamatan.


Beberapa menit menjelang pukul sembilan. Barisan pengibar bendera berderap menuju tiang. Sementara, peserta upacara menanti, tegang. “Hormaaaaat grrrrraaaak!” Kaki rapat, telapak tangan kiri dikepal, wajah terangkat di bawah topi, tangan kanan didekatkan ke dahi. Indonesia Raya lalu mengalun dalam penghormatan yang khusuk. Anak-anak bangsa yang setia, pada puluhan ketika menyihirnya menjadi merdeka dengan tanda kutip; Sejumlah pulau digambarkan kitab sejarah untuk konstruksi teritori di bayang-bayang konstitusi yang hari ini dipertanyakan kebenarannya. “Merdeka itu seperti apa?.” Jawablah sendiri-sendiri.

Dari kawasan Orchard catatan ini coba saya terakan, manakala iklan negara di tv lokal Singapore memberitakan tentang barikade payung yang akan dikibarkan oleh begitu banyak manusia, menggambarkan bendera negeri itu akan berkibar di hari kemerdekaan negara bekas Straits Settlement (koloni) Inggris dan sekarang sudah menjadi lokomotif ekonomi Asean itu. Oh iya; hari kemerdekaan Indonesia dan Singapore, sama-sama di bulan Agustus setiap tahun. Indonesia, kakak yang “mengaku” lewat proklamasinya di 17 Agustus 1945, namun pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda nanti terjadi pada 19 Desember 1949. Singapore punya pengalaman sendiri,  keluar dari Malaysia dan menjadi sebuah republik pada 9 Agustus 1965.


Di atas Mass Rapid Transit yang kencang berlari meninggalkan pemandangan gedung-gedung bertingkat, lalu laut yang indah tanpa sampah, saya coba mencari panduan tentang Singapore dari google. Ada beberapa catatan di bawah ini. Rupanya, Singapore modern didirikan Thomas Stamford Raffles. Awalnya wilayah itu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu. Berdasarkan tulisan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menyatakan, ketika Singapore dibersihkan, bukit yang terdapat di situ telah dikenali sebagai bukit larangan. Di sana ditemukannya sebuah prasasti yang tak teridentifikasi dan telah kabur. Prasasti Singapura itu menunjukkan negeri itu telah menjadi sebuah pusat administrasi jauh sebelum tibanya pihak Inggris. Prasasti itu telah dimusnahkan oleh seorang insinyur Inggris. Namun, terdapat nota mengenai sebuah salinan tulisan tersebut yang telah diantarkan ke London tetapi gagal ditafsirkan.

Di antara abad enambelas dan kurun abad sembilanbelas, Kepulauan Melayu secara berangsur-angsur menjadi milik penjajah dari Eropa. Portugis tiba di Melaka pada tahun 1509. Dan pada abad tujuhbelas, Belanda telah menguasai kebanyakan pelabuhan utama di Kepulauan Melayu. Belanda memonopoli semua perdagangan rempah-rempah yang pada saat itu merupakan bahan perdagangan penting. Eropa termasuk Inggris, cuma mempunyai hak perdagangan yang kecil.

Pada 1818, Thomas Stamford Raffles telah dilantik menjadi gubernur di salah satu pelabuhan Inggris yaitu di Bengkulu, Sumatera. Thomas Stamford Raffles yakin bahwa Inggris perlu mencari jalan untuk menjadi penguasa dominan di rantau ini. Salah satu jalan ialah dengan membangun sebuah pelabuhan baru di Selat Melaka. Thomas Stamford Raffles berhasil menyakinkan East Indies Company untuk mencari pelabuhan baru di rantau ini. Thomas Stamford Raffles tiba di Singapura pada 29 Januari 1819. Dia menjumpai sebuah perkampungan Melayu kecil di muara sungai Singapore yang diketuai oleh seorang Temenggung Johor.

vivo city menjelang malam

Hari ini, pemandangan yang semraut adalah berjubelnya manusia, namun semua paham pada apa itu “Q”, tak saling mendorong, sopan dan tertib. Kaki-kali berlari dari ruang-ruang bawah tanah menyusuri lorong-lorong kokoh, terus bergulir dari eskalator dan lift, berpindah dengan konstanta yang selaras menujuh perobahan. Sekeping pengalaman yang boleh saya resapi di bawah rindang pepohonan di depan One Fullerton, di mana tugu Singa “muntah air” itu terlihat megah.

Beberapa kutipan di atas untuk dilupa, boleh saja. Namun, bagi saya, seperti ada jurang tercipta dalam benak, dengan tegas ini sebuah pembanding bagi Indonesia, yang adalah “kakak” dalam tataran “usia”, dan lebih dulu umumkan proklamasi merdekanya pada dunia.

Juang berdarah-darah, kemudian modifikasi sejarah secara kejam dan menempatkan rakyat sebagai tertuduh setiap kesempatan. Babad yang menjadi aneh bin ajaib, seperti mimpi-mimpi yang terus menggejala ketika sosialisasi pembangunan itu meratatanahkan para miskin, menjadi jampi-jampi yang mengusir setan betina “gender” dalam kerubutan paternal angkuh saling mencakar demi proyek-proyek. Kemerdekaan hari ini masih vis a vis dengan skenario sistem dalam memainkan uang sogok membeli kedaulatan rakyat.

Hanya sebuah kenang. Kibar waktu yang teramat kasib. Perjalanan masa silam tuju masa kini dengan segala romantikanya. Dari klasik menuju sebuah terminologi baru, entah apa itu. Namun, dari selayang kembara, termonologi itu berwujud. Di sana, memimpikan, merdeka tanpa kekumuhan. Merdeka adalah sebuah hasrat untuk berpindah dari kemalasan menuju turbulensi yang tak pernah berhenti selama jiwa dikandung badan. Merdeka adalah revolusi mindset yang menghasilkan karya-karya tak terbatas, bahwa kemanusiaan adalah “panglima” yang berjalan bergandengtangan dengan pembangunan dan lingkungan hidup. Dirgahayu mimpi-mimpi, merdekakanlah pemikiran.

Marina Bay, First of August, 2011